Skip to main content

Lawatan Taiwan: Pengalaman Pertama ke Luar Negeri


Untuk pertama kalinya saya melawat ke luar negeri, yaitu Taiwan. Rasanya? Biasa saja. Sebenarnya saya tak pernah sekalipun memikirkan negara itu sebagai tempat tujuan pergi saya. Hanya ada dua kata yang muncul di benak saya tatkala dengar kata Taiwan, yaitu: Cina dan F4.

Belakangan, saya baru tahu kalau secara politis Taiwan dan Cina itu bermusuhan. Indonesia tidak punya kedutaan di Taiwan, tetapi memiliki perwakilan dagang. Itu karena pemerintah menerapkan sistem One China Policy kalau tidak salah.

Saya berangkat rombongan bersama orang-orang sefakultas. Sebagian tidak ikut karena ada kegiatan lain yang tak bisa ditinggalkan. Dari Semarang, saya pergi ke Taiwan naik maskapai penerbangan AirAsia. Transit selama sekitar 5 jam di Kuala Lumpur, Malaysia, kami lalu pindah pesawat yang lebih besar untuk mendarat di Taipei.

Kesan saya, bandara di dua kota itu besar dan bagus. Mungkin memang begitu standardnya, saya saja yang belum pernah masuk bandara selain Adi Soetjipto, Adi Soemarmo, dan Soekarno-Hatta.

Pengurusan tiket relatif mudah karena ada panitia dari fakultas. Total tiket dan visa sekitar Rp6.5 juta. Kalau anda beli pakai kartu kredit tertentu, barangkali bisa dapat potongan, jadi bisa lebih murah.

Sebelum berangkat saya sudah titip untuk menukarkan uang rupiah ke NT. Saat itu 1 NT setara dengan Rp480. Jadi kalau saya menukarkan uang Rp2 juta, maka saya mendapatkan sekitar 4.166 NT.

Taiwan adalah negara empat musim. Meski ada musim dingin, tapi tidak ada salju di sana. Hanya saja suhunya memang rendah. Sebelum berangkat saya memastikan di sana sedang musim panas. Jadi bawa pakaian yang tipis-tipis saja.

Meskipun begitu kota Taipei yang saya kunjungi dua hari terakhir punya suhu yang lebih rendah dan angin yang lebih besar daripada Taichung.




Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.