via www.collegexpress.com |
“Itulah azab yang harus diterima oleh
orang yang kerja di sistem riba..”
“Itu yang bego suaminya. Tau istrinya
stress kerjaan kok didiemin aja. Diajak jalan-jalan kek. Gak becus amat jadi
suami..”
Persoalan yang ada pada
fenomena penggunaan Internet di Indonesia ada begitu banyak. Kalaupun tidak
banyak, sifatnya mendalam dan akut.
Selain soal rendahnya
kemampuan mengidentifikasi hoaks, persoalan yang mengusik belakangan ini adalah
soal penghakiman, kutukan, atau barangkali ada istilah lain yang lebih pas
untuk itu.
Dua kutipan di atas
adalah komentar yang saya temukan di Facebook. Komentar itu menanggapi berita
tentang seorang karyawati bank yang bunuh diri di Jakarta dengan cara melompat
dari lantai 10. Kebetulan, korban tersebut adalah warga Yogyakarta. Beberapa
teman saya mengenalnya dengan baik.
Alih-alih berempati dan
membahas soal penanganan depresi, segelintir (atau justru sebagian besar)
warganet justru menghakimi korban dan orang-orang dekat korban. Bagi saya, itu
kejahatan.
Orang-orang barangkali
bisa berkata “terserah orang mau bilang apa” dan ungkapan-ungkapan sejenisnya,
tetapi itu tak menyelesaikan persoalan. Sependek yang saya amati, ada dua
persoalan bertingkat yang menjangkiti sebagian warganet. Pertama adalah
persoalan rendahnya pengetahuan dan empati. Kedua adalah persoalan pengungkapan
pendapat itu sendiri di dunia maya.
Tak tahukah warganet
bahwa depresi itu tidak bisa disepelekan? Penanganan orang depresi tidak dapat
diselesaikan dengan memeluk korban depresi lalu mengatakan “rileks sajalah,
hidup hanya sekali, dibikin hepi saja..” Tidak. Itu terlalu lugu dan
sederhana—jika tidak dikatakan konyol.
Tak tahukah warganet
kondisi psikologis orang-orang terdekat korban bunuh diri? Apakah warganet tak
punya kemampuan untuk mengimajinasikan berada pada posisi-posisi tertentu untuk
mengolah kepekaan persepsinya? Terlalu sulitkah untuk membayangkan sahabat
terdekat bunuh diri? Pasangan? Saudara?
Berkata sinis dan tidak
hormat, atau lebih dari itu: mengutuk pakai dalil agama, kepada korban dan
orang-orang terdekat adalah realitas yang menjangkiti warganet. Kita tak bisa
mengelak lagi atas tuduhan ini. Buktinya banyak dan bertebaran di mana-mana.
Barangkali persoalan ini
berakar pada terbatasnya pengetahuan dan gagal dalam berempati. Tentu akan
sangat ironis ketika kita sadar bahwa persoalan ini muncul dari masyarakat yang
konon berkarakter komunal, agamis, menjunjung tinggi sopan santun, dan
mengagungkan “rasa” dalam bertindak.
Soal yang lebih parah
adalah soal pengungkapan di dunia maya. Tidakkah warganet punya kebijaksanaan
dalam diri untuk menyaring apa-apa yang perlu diutarakan di dunia maya? Tak
cukup luaskah pikiran mereka untuk menampung segala hal hingga semua-muanya
harus diungkapkan dalam dunia maya?
Konsep “kebebasan
berpendapat” tidak selayaknya digunakan untuk membenarkan dua kutipan di atas.
Konsep itu barangkali lebih tepat digunakan dalam konteks politik, mengenai
warga yang kini lebih mampu bersuara dibandingkan dengan era pembungkaman ala
Orde Baru.
Jika suara-suara kutukan
dan tidak berempati itu terdengar santer di media sosial, mana deskripsi yang
lebih tepat untuk menggambarkannya: orang-orang bodoh yang bersuara keras atau
orang-orang bijak yang memilih diam?