24 February 2017

Surat tentang Tante

:  dibaca pelan-pelan saja

Rasanya seperti dicemplungkan dalam beberapa adegan film “50 First Date” versi Jawa. Masa-masa awal jalan bersama gadis ini diisi dengan menunaikan tiga ibadah wajib. Satu, saling cerita soal apa-apa yang turut mengantar diri hingga sampai di masa ini. Dua, bicara soal impian dan rencana di masa depan. Tiga, mengingat-ingat apa yang telah kami lakukan selama sepuluh tahun terakhir.

Belakangan, yang terakhir ini rupanya butuh banyak energi. Adegan yang ingin kami munculkan tersendat-sendat bak nonton Youtube di persawahan Godean. Celakanya, sebagian detil adegan hanya tersimpan di benak diri ini saja, tidak di benaknya. Alhasil, seringkali ada cerita yang perlu direka ulang dalam kata guna memancing ingatan. Kadang berhasil, tetapi lebih sering tidak. Itu bedanya dengan film yang tadi.

Melalui deretan kata ini, ijinkan sahaya berbagi sedikit. Semoga tuan puan sudi membaca.

Adalah gadis itu, yang pertama kali saya ajak keluar malam-malam. Berdua saja. Satu dekade lalu. Sepeda motor Astrea yang bertenaga. Hawa dingin dan romantisme lampu kota Yogyakarta. Alun-alun Kidul, Mirota Kampus, hingga bintang-bintang yang mengintip dari halaman Candi Ganjuran.

Dalam perjalanan ke Alun-alun Kidul kami melewati rumah-rumah lawas. Daerahnya sepi. Gelap. Berseberangan dengan benteng putih tinggi tinggalan penjajahan Belanda. “Rumahnya bagus ya,” katanya di jok belakang.

Lalu sepasang remaja itu bercerita tentang rumah impian. Cerita yang tiba-tiba berhenti begitu saja ketika sampai tujuan. Kami lantas duduk di tikar, di atas rerumputan basah, sambil menyeruput ronde. Di depan sana wisatawan sedang menutup mata sambil berjalan di antara dua beringin. Mitosnya, segala harapan akan terkabul ketika berhasil melakukannya.

Saat itu, sekadar berharap saja sudah gemetar lutut.

Singkat cerita, sahaya jadi salah satu tempat teraman untuk narasi sedih dan keluh kesahnya. Sering telinga ini jadi yang pertama; barangkali juga satu-satunya. Sore hari di depan ruang band. Jumper abu-abu yang basah untuk menyeka air mata. Siang hari di depan kapel, dekat menara air. “Kamu orang pertama di van Lith yang tahu cerita ini,” katanya setengah berbisik.

Selama bertahun-tahun kemudian, cerita-cerita hidupnya dititipkan pada sepasang telinga lain. Selama itu pula ada cerita hidup milik hati lain yang dititipkan pada telinga ini.

Delapan tahun setelah pertama kali kenal, semesta mempertemukan kami di Ibu Kota. Selepas mencatat kata-kata Bapak Menteri di dekat Monas, sahaya diminta meluncur ke Cilandak. Kami lalu mencari kamar sewa untuknya yang dalam hitungan hari sudah masuk kerja. Berdua saja. Sepeda motor Supra yang masih ‘greng’ meski usang. Asap knalpot pekat. Langit Jakarta yang gelap dan buram.

Tak lama, perpisahan singkat terjadi. Lapo Codian Mayasari dan pemuda bersuara merdu dengan gitarnya. Tuak yang manis dan kecut, tetapi sahaya suka. Rumah Uda di Lubang Buaya yang sepi. Berdua saja. Berpamitan diam-diam pada empunya rumah.

Kali itu tidak bicara rumah impian. Namun, gentar belum beranjak pergi.

Dua tahun berlalu. Kami berangkat rombongan ke Sendangsono di bulan lima. Di mobil, rambut kepalanya tak bisa terlepas dari tangan kotor ini. Ada listrik yang menyengat dan bikin gelisah tiap kali dua benda itu terhubung. Entah bagaimana harus menyebutnya.

Esoknya, dinding kokoh gereja Kotabaru meruntuhkan pertahanan. Batas-batas persahabatan terkoyak oleh angin entah. Tanpa kata, apalagi meminta, ini mata tak bisa lepas dari semua yang melekat padanya.

Dalam perjalanannya ke Ibu Kota, sahaya menemukan nada suara yang berbeda di ujung telepon. Suara sedikit manja yang bersaing deru mesin kereta. Sejak saat itu, malam tak pernah terlewati tanpa panggilan suara. XL Axiata adalah kongsi paling beruntung. Mereka punya dua pelanggan lama yang kini rajin isi pulsa mereka banyak-banyak.

Obrolan tentang rumah impian kembali terjadi. Seakan menyambung kalimat sepuluh tahun lalu yang enggan diberi titik. Kali ini ragu-ragu pergi jauh-jauh. Karena tak ada yang lebih aman selain menangis dan tertawa rumah sendiri. 

Semoga rumah ini tetap terawat dan jadi tempat yang ideal untuk menumbuhkan sabda-sabda yang telah ditabur-Nya. Amin? Amin. (*)

Selamat ulang tahun, gadis dua enam. Semoga kian tangguh merawat dunia, selalu jadi bahagia di mata-mata yang suram, dan tetap bersyukur atas segala talenta yang dititipkan. Saranku, segeralah punya hobi baru. Merepotiku, mungkin?


18 February 2017

Kesaksian: Majikan Saya Orang Jepang, Tewas Dibakar Ketika Naik Mobil di Tengah Kerusuhan ‘98

via Okezone News

Catatan penulis: cerita ini saya dengar dari seorang penjual angkringan di Yogyakarta. Saya tidak bisa memastikan keakuratan cerita tersebut.

Penjual angkringan dari Wonosari itu baru satu setengah tahun kerja di Jakarta. Berbekal ijazah SMP, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang pebisnis di daerah Pondok Indah. “Saya tidak tahu bisnisnya apa, tetapi dia kaya. Orang Jepang,” tuturnya soal sang majikan.

Jakarta, dan Indonesia secara umum, saat itu memang keterlaluan. Krisis ekonomi membuat harga barang melambung terlampau tinggi. Dia awalnya bekerja di sebuah bengkel, tapi bengkel itu bangkrut. Hubungan pertemananlah yang membuatnya bisa bekerja di rumah orang Jepang itu. Untungnya dia betah karena tak merasakan langsung dampak krisis. Makanan tersedia di rumah, juga tidak ada margin keuntungan yang dikejar karena gajinya dibayarkan bulanan.

Namun, seperti tak bisa ditolak, tibalah masa-masa kelam itu. Entah berawal dari mana (atau dari siapa!) kebencian terhadap orang Tionghoa menyebar luas di kalangan orang “pribumi.” Kebencian itu sebegitu hebatnya hingga membakar nalar dan menghanguskan nurani. Kondisi demikian, ditambah perut yang kian hari kian kosong, membuat salah satu tragedi kemanusiaan di Jakarta tak bisa dicegah.

***
via backupblog77.blogspot.com

Pada suatu malam, berita tentang kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Jakarta sudah terdengar. Sasarannya adalah orang Tionghoa. Rumah-rumah mereka diserbu. Mereka yang terlihat di jalanan dibantai tanpa ampun. Dibakar hidup-hidup ataupun disabet pedang. Toko-toko mereka dijarah. Para perempuan ditelanjangi dan diperkosa secara bergilir dengan terang-terangan, sebelum akhirnya dibunuh juga dengan keji.

Paginya, dengan perasaan was-was, sang majikan nekat minta diantar oleh sopir untuk pergi ke kantor. “Sopir itu orang Pacitan, mas. Dia awalnya sudah ragu-ragu, karena semalam masih rusuh di mana-mana. Bapak [majikan] kan orang Jepang, wajahnya kayak Cina, bisa ikut dibantai juga,” katanya.

Sembari tak henti menyebut nama kebesaran Allah, majikan dan sopir meluncur mempertaruhkan nyawa di jalanan Jakarta. Lantas tragedi itu tak bisa dihindari. Di tengah perjalanan mobil mereka dihentikan oleh kerumunan yang membawa bensin. Melihat wajah oriental, bensin langsung diguyurkan ke mobil lalu disulut. Sang majikan dan sopir terjebak di dalam mobil. Mereka hangus terbakar.

Kabar soal itu cepat sampai di rumah. Seketika aura rumah menjadi sangat berbeda. Sang istri, juga orang Jepang, langsung membayar gaji para pekerja di rumahnya saat itu juga. Dia minta dirinya dan anaknya dilindungi sambil berlinang air mata. Pada suatu kesempatan yang baik, dia lalu bisa diantar sambil dijaga ke bandara untuk kemudian terbang ke luar Indonesia.

***
via myrepro.wordpress.com

Penjual angkringan lalu tiba kembali di Wonosari yang adem ayem. Tak hanya bawa uang, dia juga bawa memori mengenaskan dari Ibukota. Soal darah, pemerkosaan, air mata, isak tangis, dan tubuh-tubuh bergelimpangan yang tak jelas akan diapakan.

Menurutnya, kejadian paling mengerikan adalah pembakaran sebuah gedung pusat perbelanjaan berlantai tiga. Sekelompok warga yang seperti kesurupan itu membakar lantai satu. Asap dan apinya membaut ratusan orang di lantai satu hingga tiga mati lemas lalu terpanggang. Bukan orang Tionghoa saja yang jadi korban. “Campur-campur,” tegasnya.

“Itu pelakunya enggak bisa diusut mas?” tanyaku. “Kayaknya enggak mas. Wong itu kerusuhan kok. Kacau banget. Pelakunya banyak, rakyat Indonesia. Jawa, Flores, Batak, gabung jadi satu,” jelasnya sambil menyalakan rokok.

Barangkali pandangannya agak bias soal istilah rakyat, pribumi, Cina, dan semacamnya, tapi itulah realitas yang ada di benak banyak orang. Baik atau buruk, benar atau salah, etis atau tidak, realitanya memang itulah yang terkonstruksi di benaknya.

“Kalau pelakunya termasuk orang Jawa dan itu atas nama rakyat, panjenengan ikut mbantai gak mas?” tanyaku. Lugas. Bodoh juga, barangkali. Karena kalau iya, saya berhadapan dengan pembunuh keji. Minum teh yang diaduk oleh tangan berlumuran darah nyaris dua puluh tahun lalu.

“Enggak mas. Tapi saya ikut diajak njarah,” jawabnya (saya jadi sedikit lega). Penjarahan toko-toko tak terhindarkan dari kerusuhan itu. Warga yang anonim itu memasuki toko-toko besar, mengeluarkan isinya, mengambil segala yang bisa diambil. Membawa pergi apa-apa  yang bernilai cukup tinggi dan bisa dibawa pakai tangan.

“Kebanyakan pada ambil alat elektronik yang bisa dibawa, mas. Kalau saya malah ambil susu. Hla itu susunya dibuang di jalan-jalan, saya kumpulin aja. Itu kalau diminum tiap hari, empat bulan baru habis mas,” ujarnya sambil menunjukkan seberapa tinggi tumpukan susu yang dia kumpulkan. Kira-kira setinggi pinggangnya.

“Waktu itu panjenengan umur berapa?”

“Tujuh tahun, mas.”

“Berarti belum mudeng ya waktu itu rusuh?”

“Belum, mas. Tapi saya sering dengar istilah ‘Cina singkek’ di sekolahan. Lagian kayaknya Jogja enggak rusuh mas.”

“Menurut panjenengan, bakal ada kerusuhan lagi nggak mas soal ras tadi? Kan ramai lagi tuh di Jakarta,” saya balik bertanya.

“Hahaha.. iya. Sekarang apa-apa mahal, tapi semoga enggak terjadi [kerusuhan] lagi. Sing penting aman, selamet. Urip kuwi ora golek banda, tapi golek selamet,” katanya yang tiba-tiba terdengar bijak.

***

Sementara pembeli mulai ramai berdatangan karena hujan mulai reda. Mahasiswa senang makan di angkringan sambil nongkrong, sementara mahasiswi memilih untuk beli ‘nasi kucing’, lauk, dan minuman yang diplastik.

“Hati-hati, mas. Besok mampir lagi,” ucap penjual angkringan seiring kakiku memutar pedal. (*)


Tulisan ini lanjutan dari tulisan sebelumnya.

14 February 2017

Resep Awet Muda a la Penjual Angkringan

“Saya sudah bilang ke gadis itu, dia nggak percaya. Datanglah dia ke rumah, istri saya yang menemui. Nama kebun binatang ramai dilemparkan istri, saya cuma ketawa aja di luar rumah,” tuturnya sambil menahan geli.

[catatan obrolan dengan penjual angkringan]

Tak biasanya, Jalan Magelang sore itu terasa menanjak. Barangkali karena bukan setang sepeda motor yang kugenggam, tapi sepeda kayuh. Otot paha mulai berteriak meski baru meluncur lima kilometer.

Jelang maghrib, langit menggelap. Merdunya azan dari mushola kampung Kutu terasa lirih. Deru mesin dan knalpot selalu memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Celakanya, awan mendung juga kalah oleh air yang dibawanya. Menyerah. Gerimis jadi pembuka hujan deras yang menerjang tak lama kemudian.

Berbelok ke timur menyusur selokan Mataram, sepedaku mencari tempat berhenti. Angkringan di ujung jembatan kemudian jadi tempat berteduh. “Lumayanlah, habis sepedaan dan kehujanan, bisa mampir cari teh hangat,” pikirku.

Terpal jingga masih bersih, gerobak kayu juga tanpa noda. Ceret murahan kas angkringan hinggap dengan mengkilap di atas tungku arang.

“Saya baru buka seminggu. Gerobaknya sudah sebulanan, tapi jualannya baru seminggu,” tutur sang penjual tanpa ditanya.

Aku menduga dia berumur 20-an akhir atau 30-an awal. Dengan badan kecil dan potongan klimis khas anak muda, dia terlihat cekatan membuat teh panas yang kupesan. Bagiku, yang masih tertarik wanita, paras penjual ini tampan.

Kisah demi kisah kemudian meluncur lancar bak hujan yang kuhindari sore itu. Dia mengeluh soal harga cabai yang naik gila-gilaan, belum ditambah harga bawang putih dan daging sapi yang kian tak masuk akal. Kenaikan harga itulah yang membuatnya meninggalkan dagang bakso lalu menyeberang jadi penjual angkringan.

“Harga semangkok nggak bisa nutup harga bumbu [dan bahan baku]. Kalau harga dinaikin, pasti juga enggak laku. Akhirnya baru setahun jualan bakso, saya mundur. Padahal sewa gerobak dan warung sudah lima tahun bayar di muka,” keluhnya.

Sebelum jualan bakso, dia sudah menjalani sekian deret pekerjaan. Di Yogyakarta, maupun di Jakarta. Dari penjual mie ayam, pegawai bengkel, hingga pembantu rumah tangga pernah dia jalani.

Singkat cerita, saya lalu penasaran berapa umurnya. Jawabannya cukup mengejutkan. “Maaf ya mas, tapi saya rasa umur panjenengan masih setengah umur saya,” katanya menggunakan bahasa Jawa halus. Lanjutnya,”Umur saya empat puluh dua.”

Aku tertawa setengah tak percaya. Umurnya terlalu senja untuk wajah yang sedemikian cabe-cabean. Belum selesai mulutku tertawa, aku kembali dibuatnya terperangah. “Enggak percaya to mas? Saya ini juga sudah jadi simbah, cucu saya tiga belas bulan.”

Penasaran, lalu kukorek lagi soal ini. Aku yakin aku bukan orang pertama yang tak percaya dengan kata-katanya. Hingga dia juga cerita soal permasalahannya dengan sang istri gara-gara Facebook.

Suatu kali akunnya di-add oleh seorang gadis. Tampaknya gadis itu naksir hingga terkintil-kintil. Hahaha! Didorong rasa penasaran, gadis itu ingin menemuinya. “Padahal saya sudah bilang kalau sudah punya anak istri, tapi dia enggak percaya dan ngotot datang,” ujarnya geli.

Suatu sore, datanglah gadis nekat itu ke rumahnya. Sendirian. Celakanya, dia ditemui oleh sang istri yang tanpa ampun mengumpat dan mengusirnya. Nama penghuni hutan yang diingat istrinya meluncur deras ke muka si gadis.

Mata penjual angkringan terlihat geli dan berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Namun tiba-tiba matanya jadi lebih geli lagi ketika dia bicara soal kemarahan istrinya yang tak kunjung reda. Segera setelah gadis itu beranjak pergi, dia merebut handphone android murahan milik suaminya, lalu merendamnya dengan kasar ke dalam bak mandi.

Suara tawa kami memenuhi ujung jembatan. Kadang juga terbawa angin yang menyusup di antara gerobak dan terpal. Sesekali dia menyeka air mata saking gelinya. Kubiarkan saja kami tertawa lepas meski tak benar-benar tahu alasannya.

Ah, barangkali itu caranya agar tetap terlihat muda.

Baca Tulisan Lain