18 September 2016

Tiga Tahun Lagi

via kolatinformant.com


“Sepuluh tahun setelah lulus SMA, ceritakan pada saya apa yang telah kalian lakukan pada hidup kalian,” kata seorang bruder sekitar 8 tahun yang lalu.

Barangkali tidak banyak yang ingat dengan kata-kata itu. Yang jelas saya tidak sedang mengada-ada biar tulisan ini berbumbu. Seingat saya, kalimat itu terucap ketika beliau sedang bicara di bangsal Asrama Putera.

Saat itu muncul pertanyaan yang biasa saja: kenapa harus sepuluh tahun?

Saya lalu membayangkan, mungkin karena sepuluh tahun setelah lulus SMA, usia kami sekitar 28. Usia itu adalah pertengahan usia 25 dan 30.

Dengar-dengar usia 25 adalah usia rawan, ketika keputusan-keputusan besar serentak mendatangi: mulai dari karir hingga pasangan hidup. Dengar-dengar juga usia 30 adalah penentu, atau menjadi semacam target, bahwa pada usia itu kita sudah menemukan kemapanan atas keputusan yang kita ambil saat usia 25.

Namun, setelah saya pikir lagi, saya memaknainya secara berbeda. Kini saya sudah menyelesaikan satu tahap pendidikan tinggi di usia 25. Perjuangan saya saat ini adalah mencari tempat hinggap yang paling sesuai untuk mengembangkan hidup.

Sementara puluhan hingga ratusan teman seusia saya sudah mulai membangun karir mereka sejak dua hingga tiga tahun yang lalu.

Sementara juga, belasan teman seusia saya baru saja lulus sarjana. Mereka masih perlu mengikuti tes-tes masuk perusahaan untuk bisa bekerja—yang barangkali butuh waktu juga. Beberapa dari mereka juga sudah membangun bisnis sejak masih kuliah.

Nah, inilah yang saya refleksikan dari perkataan bruder tadi. Asumsinya, sepuluh tahun setelah lulus, kami sudah bekerja. Barangkali ada yang baru bekerja 3 tahun, atau mungkin sudah 7 tahun. Berapapun durasinya, posisi kami diasumsikan sama: sudah bekerja.

Ini bukan soal jabatan, gaji, bisnis, ataupun posisi ya. Ini soal waktu. Kami akhirnya selesai bersama di SMA, dan mengawali bersama di bangku kuliah. Namun kami mengakhirinya dalam waktu berbeda, dan mengawali masa setelah kuliah juga dengan waktu yang berbeda.

Bila dilihat dalam jangka waktu puluhan tahun, selisih tiga tahun tidak begitu berarti. Barangkali itulah yang dimaksud bruder pada waktu itu.

Tiga tahun lagi, sekitar bulan sembilan atau sepuluh, saya akan memenuhi permintaan bruder—meskipun dengar kabar kalau sekarang beliau sudah menjadi awam.


Tiga tahun lagi, mau jadi apa kita?

Baca Tulisan Lain