28 October 2012

Alternatif

Barangkali memang setiap negara tidak bisa tidak melakukan hubungan-hubungan dengan negara lain. Setiap hubungan yang dijalin bisa saja memiliki motif yang berbeda satu dengan yang lainnya, begitu juga dengan perbedaan yang terjadi pada efek dari hubungan-hubungan tersebut. Harapan utama yang tentu diinginkan setiap hubungan adalah datangnya keuntungan dari kedua belah pihak, maka menjadi menarik ketika terjadi hubungan yang tidak seimbang, hanya menguntungkan satu pihak, dan kemudian disebut dengan istilah kolonialisme.


Kolonialisme yang menyebar bagai wabah di hampir seluruh negara dunia ketiga ini dikaji dalam Electronic Colonialism Theory (ECT). Teori ini mencoba menjelaskan bagaimana kolonialisme pada era posmodern ini dilakukan melalui media --terutama media elektronik. McPhail (2006:23) menuliskan: “ECT focuses on the global media influence on how people think and act.” Dengan demikian efek dari hubungan tersebut tidak hanya berhenti pada sisi kognitif saja, namun berlanjut pada tindakan dari khalayak penikmat media.

Kolonialisme berkaitan erat dengan hegemoni. Seperti yang dituliskan Storey (1993:119) “hegemony is maintained (and must be continually maintained) by the dominant class(es) or group(s) making concessions to the subordinate classes or groups”. Dalam konteks ini kelas dominan terletak pada negara maju, sedangkan kelas subordinat adalah negara-negara dunia ketiga. Hegemoni yang dilakukan oleh negara maju ini secara singkat meniadakan pilihan lain bagi khalayak pada negara dunia ketiga.

Seperti yang sudah sedikit disinggung di atas, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ETC telah menunjukkan efek pada ranah budaya. Salah satu budaya yang nampak terlihat dan menunjukkan keberhasilan dari negara maju adalah budaya konsumtif dalam masyarakat negara dunia ketiga. Budaya konsumtif ini berkaitan dengan selera masyarakat, dan perusahaan raksasa media dari negara maju inilah yang sedikit banyak membentuk selera masyarakat melalui program televisi, film, internet, atau video game.

Dalam kasus-kasus tertentu, masyarakat dari negara dunia ketiga yang –entah secara sadar atau tidak- diarahkan seleranya ini mencomot secara langsung budaya barat yang disampaikan melalui media elektronik yang telah disebutkan. Pencomotan secara asal ini merupakan keberhasilan dari kolonialisme yang dijalankan melalui media. Hal ini menjadi permasalahan yang memprihatinkan ketika banyak terjadi kasus kriminalisme yang merugikan banyak pihak terkait dengan “kekagetan” budaya yang dialami.

Dari uraian singkat di atas sebenarnya sudah nampak bahwa hubungan antarnegara yang tidak bisa ditolak ini merugikan negara dunia ketiga sekaligus menguntungkan negara maju. Kritik ini sebenarnya sudah ada sejak media elektronik mulai berkembang secara pesat di negara-negara berkembang. Untuk itu dibutuhkan solusi untuk menanggapi kritik yang demikian. Solusi yang relevan dalam permasalahan komunikasi internasional ini sudah dimunculkan juga sejak ilmu komunikasi mulai berkembang. Menurut saya solusi yang dapat diambil adalah dengan gerakan media literacy.

Konsep media literacy menekankan pada aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan memaknai serta menyerap pesan media.Dengan kata lain, gerakan media literacy ini bertujuan untuk “mencerdaskan” masyarakat dalam menyikapi media. Dalam konteks ini program media yang perlu dicermati adalah program televisi luar negeri dan yang diadopsi menjadi program televisi di Indonesia, konten-konten dalam internet, film-film barat, iklan yang mempengaruhi budaya konsumtif di Indonesia, dan sebagainya.

Potter (2001) dikutip dalam Jurnal Ilmu Komunikasi mendefinisikan media literacy  sebagai: “A perspective that we actively use when exposing ourselves to the media in order to interpret the meaning of the message we counter. We build our perspective from knowledge structure. To build our knowledge structures, we need tools and raw material. The tools are our skills. The raw material is information from the media and the real world. Active us means that we are aware of the messages and are consciously interacting with them.”

Penekanan dari definisi yang dikutip di atas terletak pada struktur atas pengetahuan tentang media. Struktur pengetahuan itu sendiri dibentuk atas keahlian dan informasi dari media maupun dari dunia nyata. Pengetahuan tidak lain harus didapat dari proses komunikasi yang disampaikan kepada individu, pengetahuan akan informasi dalam media ini harus diakui merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan.

Menurut sumber yang sama, media literacy merupakan suatu kontinum. Dalam artian, tidak ada seorangpun yang benar-benar melek media, begitu juga dengan tidak ada seorangpun yang benar-benar tidak melek media. Artinya khalayak tidak mengakses media dengan pikiran kosong, ada ingatan-ingatan atau pengalaman yang mampu menentukan sikap mereka terhadap konten media.

Dengan kemampuan dasar seperti ini, maka seharusnya media literacy dapat digerakkan lebih jauh demi menanggulangi dampak buruk dari media. Media literacy yang ditopang oleh kekuatan para ahli media diharapkan mampu membawa pemikiran-pemikiran kritis pada khalayak penikmat media. Tentu saja khalayak tidak diharapkan hingga menjadi seperti pengamat media yang mampu mengkritisi suatu program menggunakan teori-teori terkait, namun cukup untuk mampu memilah dengan bijak mana program acara yang tidak perlu untuk disaksikan.

Pemikiran-pemikiran kritis ini yang dapat dimiliki oleh khalayak ini menurut saya mampu membentuk ‘ruang’ di antara media dan khalayak itu sendiri. Ruang tersebut memberi jarak antara khalayak dengan media, dengan kata lain ruang tersebut menjadi pemisah antara realitas subjektif dengan realitas media. Karena ada jarak di antaranya, maka khalayak mempunyai kesempatan lebih untuk tidak hanyut dalam tayangan media.

Dikatakan bahwa orang dengan tingkat media literacy yang rendah akan sulit mengenali ketidakakuratan pesan, keberpihakan media, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi atau satire dan sebagainya. Maka dibutuhkan tingkat media literacy yang cukup untuk mampu melihat media dari sisi lain.

Jika dikaitkan dengan konsep hegemoni yang diusung oleh Gramsci, saya menganalisis bahwa dari media literacy ini nantinya bisa saja muncul gerakan atau usaha-usaha untuk melakukan perlawanan atas hegemoni yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa media. Dengan kata lain, bisa jadi media literacy adalah awal dari counter hegemony atas media-media mainstream.

Perlawanan dalam konteks ini bukanlah persaingan dalam mencari penonton yang mempengaruhi rating program dan pada akhirnya mempengaruhi jumlah iklan dan harga iklan, bukan juga persaingan untuk menunjukkan bahwa suatu institusi media lebih besar dari yang lain. Perlawanan dalam konteks ini bukan berarti persaingan atau bahkan melawan secara frontal dan ditabrakkan di depan muka. Perlawanan berarti memberanikan diri menciptakan alternatif baru bagi khalayak.

Kata kunci yang perlu diperhatikan adalah alternatif. Memberi alternatif berarti memberikan pilihan lain pada khalayak (diasumsikan bahwa hegemoni media meniadakan pilihan lain untuk khalayak). Menjadi alternatif berarti menawarkan sesuatu yang berbeda dari yang sudah-sudah. Media yang menggunakan logika pasar (profit oriented) akan menggunakan segalam macam cara untuk memperoleh keuntungan yang besar, hingga terkadang suatu program dibuat format yang seragam, alur cerita film yang mudah ditebak, dan sebagainya.

Menurut saya munculnya media alternatif ini berdiri atas dua asumsi. Asumsi pertama adalah orang tidak dapat tidak mengakses media, sedangkan asumsi kedua adalah media membawa efek yang kadang tidak diharapkan oleh orang-orang, misalnya efek dari terlalu banyak iklan dan efek dari adegan seksual dan kekerasan yang vulgar. Untuk itulah media alternatif hadir, bukan untuk menggeser minat masyarakat, tetapi menyadarkan masyarakat bahwa selera masyarakat bisa saja dibentuk oleh media, dan bahwa ada kebenaran lain selain dari media mainstream yang sudah ada.

Menjadi alternatif bukan perkara mudah, sebab menjadi alternatif menuntut untuk mempelajari pula sesuatu yang bersifat mainstream tanpa menerapkannya dalam karya alternatif tersebut. Dengan memiliki pilihan-pilihan yang lain, pemahaman khalayak mengenai suatu isu mampu menjadi lebih komprehensif sebab ditilik dari berbagai sudut pandang.


Referensi
McPhail, Thomas L.2006.Global Communication: Theories, Stakeholders, and Trends.United Kingdom: TJ International Ltd.
Storey, John.1993.An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture.Great Britain: Biddles Ltd.
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 1, Nomor 2, Desember 2004 oleh Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain