27 November 2015

Sesosok Hitam di Kamar yang Rapi

Selasar lantai tiga kampus tiga Universitas Atma Jaya Yogyakarta kala itu tampak sepi. Di kursi-kursi panjang itu terlihat beberapa mahasiswa berpakaian atasan putih dan bawahan hitam. Beberapa dari mereka memegang setumpuk kertas putih dengan muka gelisah yang ditenang-tenangkan. Namun siapa mengira, ada perjuangan “hidup-mati” rentetan mahasiswa dalam ruangan-ruangan di sana.

Sendirian mencari sesosok makhluk hitam yang sedang disidang, aku tak kunjung menemukannya. Hingga akhirnya terlihat tas hitam yang kukenal. Anehnya, tak ada yang menjaga tas itu. Sangat lain dari mahasiswa lain yang sedang sidang, si pemilik tas tak ada yang menunggu. Aku yakinkan diri untuk duduk di sebelah tas itu. Lima menit kemudian keyakinan terbukti benar.

Pintu ruangan depanku persis terbuka perlahan. Makhluk hitam membuka pintu dengan agak gemetar dan pucat. Wajahmu kala itu sangat kampret. Serius.

“Gimana, bos?”

“70 persen, bos. 70 persen aku ngulang sidang,” katamu sambil geleng-geleng kepala. Bibir yang pucat kering itu tersenyum kecut.

“Ah, taik.”

***

Itulah dirimu, Gida. Pemuda Jakarta Pamulang satu ini memang seringkali terlihat tak percaya diri dengan kemampuannya. Ujung-ujungnya kau lulus sidang skripsi dengan revisi. Revisinya banyak? Tidak. Materi revisi itu sebenarnya sudah ada di tulisanmu. Hanya saja kau tak mampu menunjukkan ketika ditanyai dosen penguji. Bukan begitu ceritamu?

Kau memang banyak menyembunyikan kemampuan. Satu-satunya yang dibuat menonjol adalah ketika bermain sepak bola. Kemampuan berlari, menggiring, dan menjebloskan bola ke gawang lawan jangan lagi diragukan. Tapi itu dulu, enam hingga sembilan tahun yang lalu. Ketika kita sama-sama masih nyantri di Muntilan. Ketika fisik masih prima dan otot perutmu terukir jelas. 

Sekarang? Bisa lari keliling Tambakboyo seputaran saja kita patut bersyukur. Lantas kita syukuran dengan bergelas-gelas es kopi dan asap pekat. Tak lupa kita menertawakan nasib naas kita, bersama Dicky dan Bayu, dua kekasih setiamu itu.

Hampir sepuluh tahun mengenalmu, aku tahu apa yang lebih darimu. Kamarmu selalu rapi, bung. Setidaknya bila dibandingkan dengan kamarku.

“Sebenarnya nggak rapi, bos. Cuma yang berantakan itu gue tutupin,” ujarmu merendah.

Namun memang aku melihat banyak tirai ungu di mana-mana. Tirai yang kau buat sendiri dari seprei bekasmu. Seprei beraroma sp*rma kadaluarsa dan keringat lelaki dewasa.

Kamarmu yang rapi itu selalu jadi tempat tidurku. Di kontrakan kalian dulu, selalu ada ruang luas di bagian tengah yang bisa kupakai tidur. Namun aku selalu pilih merebah di kamarmu. Dengan bantalmu yang agak keras, aku selalu terlelap. Semilir halus angin dari kipas kecil di ujung kamar turut menyumbang lelapku itu. Lalu pagi-pagi sekali aku membangunkanmu—yang semalaman tidur di sampingku.

Oh ya. Puji Tuhan, lubang pantatku masih baik. Entah dengan milikmu.

***

Sejak semester pertama di asrama, kita sudah akrab. Seingkatku, kau teman pertama yang menginap di rumahku. Lalu suatu saat kita beli MP3 player di Ramai. Barang itu masih tergolong mewah dan populer kala itu. Lumayan, bisa untuk menemani mencuci dan setrika baju di asrama. Dari lagu-lagu yang kau jejalkan, aku tahu kita sama-sama penikmat Sheila On Seven.

Lagu-lagu Sheila lalu sering jadi lagu pengiring kisah cinta kita masing-masing. Tentang cinta yang tumbuh tanpa kendali di ladang orang. Kau dengan dia (dan dia), aku dengan mereka dia yang lain lagi. Di kamarmu yang rapi itu kau sering bercerita sambil aku memetik gitar lagu Sheila. Kalau aku yang bercerita, cerita itu kututup pula dengan lagu-lagu mereka. Hingga kini, banyak lagu Sheila yang membuatku teringat masa-masa di kamar tidurmu.

Kamarmu itu ruang serba guna, bung. Kamarmu tak hanya tempat kau berjibaku dengan gadis-gadis lugu. Atau tempat singgah Bayu sepulang dari kantor, sebelum dia ke kamarnya sendiri. Sebenarnya, kamarmu tak lebih dari tempat sampah berton-ton abu daun kita berbanyak. Abu yang muncul bersama dengan permainan kartu yang bikin kita tertawa hingga perut sakit. Abu yang sama yang menemani omong kosong kita tentang masa depan.

Ya, tentang masa depan. Tentang umur berapa kita masing-masing akan meninggalkan masa lajang. Tentang sepeda motor BSA yang akan kau beli sebelum uangmu habis untuk beli susu anak. Juga tentang hal penting macam: bagaimana menyembunyikan folder film porno di komputer kita. Kau menamainya “semi”, sedang aku menamainya “project.”

***

Soal kekuatanmu yang lain, aku sudah tahu sejak dulu. Kau adalah pendengar yang baik. Setidaknya bila dibandingkan denganku. Aku hanya bisa tertidur ketika Chaki curhat. Ketika Chaki selesai bercerita lantas aku bangun dan bertanya (atau menyimpulkan?), “Dadi sajane masalahe wis rampung to?” Ya bagaimana lagi. Lampu kamar kala itu sengaja mati, dan satu-satunya cahaya adalah dari lilin kecil yang kita nyalakan di tengah.

Serius. Kau kadang juga lebih dari sekadar pendengar yang baik. Bagiku, kedua telingamu adalah tempat terbaik untuk mengisahkan drama-drama percintaan remaja yang asu bajingan marai sedih aku alami. (nyumet sik...) Pertama-tama kau akan memahami sudut pandangku. Kedua, kau akan menyatakan pandanganmu. Ketiga, kau akan memberikan masukan. Semua itu kau lakukan tanpa sedikitpun aku merasa sikap kita berhadap-hadapan.

Hingga kini kau masih menawarkan diri jadi pendengar yang baik. Jarak kita saat ini terpaut 550an kilometer. Secara berkala kau menanyai bagaimana kabarku, juga bagaimana kabar ibuku yang sedang sakit. Aku juga sering menanyaimu. Setelah kau berhasil menjalankan nadzarmu untuk donor darah setelah lulus sidang, bagaimana kisah pencarian kerjamu?

Berkali-kali aku bilang kalau pekerjaan itu jodoh. Mau sebagus apa kualitas dan kapasitas seseorang, ya dia tak akan diterima kalau perusahaan tak butuh. Barangkali dari perspektif ajaran agama, kita hanya bisa berjuang keras dan memohon agar Tuhan memberikan yang terbaik. Sebenarnya tanpa berjuang keras pun Tuhan akan memberikan yang terbaik—kalau Dia memang berkenan.

Contohnya?

Seperti yang aku alami ini, bung. Aku tak pernah berjuang keras menjadi orang super baik, tapi dia memberikan kepadaku kalian, teman-teman yang sangat baik. Kau adalah satu dari mereka yang baik-baik itu, bung. 

Maka angkat dagumu segera! Kamu orang berhati baik yang akan selalu mendapat hal baik di hidupmu. Soal hari ini usiamu sudah seperempat abad, mari kita berbahagia. Semogalah kebahagiaan itu selalu jadi santapanmu setiap hari.

Selamat ulang tahun !

16 November 2015

Jangan Baca, Anda Berisiko Sakit Hati

cerita kali ini nylekit, dungu, nyinyir, dan beraura negatif. anda-anda yang tidak siap sakit hati lebih baik berhenti baca sampai di sini.

02 November 2015

Maaf, Sandalnya Sedang Pergi

Maaf, Sandalnya Sedang Pergi

bukanlah muntilan, apalagi merapi,
yang membuat kita jalan di atas
sandal yang sama

sandal itu butut, bau, dan tiap
sudutnya punya tanda kalau kita
berjalan lewat medan yang kasar,
berat, dan tak kenal ampun

kadang berendam di air sejuk
lalu dihajar di panas aspal kota
lantas mendarat di mulut kita
yang kian pandai mengumpat

sebilah sandal tak pernah kekal,
layaknya tiap hal kecil di sudut
semesta ini

kini kau berganti sandal,
melompat anggun ke kaki lain
yang lebih kuat,
lebih hangat

lantas aku lelehkan sandal
pakai air mata mendidih,
sambil belajar terbang

2015

bangun tidur

01 November 2015

Ijinkan Aku Mengingatmu

Ijinkan Aku Mengingatmu

dengan air mata bisu
dengan lambaian tangan
yang enggan mengeluh

berkemaslah, kenangan,

pergilah.

2015

Baca Tulisan Lain