Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Everyday Life

Sepertinya, Kita Tidak Berdiri di Bawah Langit yang Sama

"Baru pertama kali saya lihat langsung langit yang bersih, lalu bintang-bintangnya kelihatan. Indah banget," katanya. Saat bercerita, matanya berkaca-kaca menerawang momen itu. Seakan itu salah satu pengalaman paling berharga pada masa-masa awal kedatangannya ke Australia. Lelaki pekerja keras ini mulai dimakan usia. Tubuhnya sudah agak bungkuk. Rambut putih juga mulai mengusir kegelapan di kepala. Namun geraknya masih lincah dan tampak kedua kakinya masih kokoh dipakai berjalan jauh. Sejauh perjalanannya dari Jakarta hingga kini menjadi warga negara Australia.

D'Bodats

Saya tergabung di sebuah grup WhatsApp favorit saya yang bernama persis seperti di judul. Sudah dapat diduga, nama grup ini terinspirasi dari kata “bodat” yang dalam bahasa Batak berarti monyet. “Bodat” ini konon sering dipakai untuk mengumpat atau memaki orang lain. 

Bocah Wingi Sore

Perihal meremehkan orang muda tampaknya jadi gejala umum. Bukan, ini bukan tentang Pilpres yang bising itu. Ini tentang refleksi saya menjadi bagian dari kelompok ‘muda’ di dalam organisasi yang dipimpin "golongan senior." 

Pulang ke 2 senti

Punya rambut gondrong? Tak pernah sedikitpun terpikir oleh saya, sampai tiba-tiba pandemi melanda seluruh dunia. Biasanya saya punya rambut 2 cm saja. Panjang sedikit, potong. Namun pada momen pandemi itu saya biarkan saja rambut tumbuh, tanpa benar-benar bermaksud mau gondrong. Hal yang tak saya duga, punya rambut gondrong ternyata menghadirkan pengalaman sosial yang menarik. Bagaimana ceritanya?

ChatGPT dan Saat yang Tepat untuk Berhenti

Beberapa pekan terakhir Kompas merilis hasil investigasi mereka tentang praktik kotor di perguruan tinggi. Mereka membongkar berbagai modus kecurangan yang dilakukan para akademisi, khususnya penggunaan joki untuk menulis karya ilmiah. Persoalan ini kronis. Sebagian besar kemudian menyalahkan sistem yang memang mengunggulkan formalitas di atas segala-galanya.

Di Semarang Saya Punya Ibu, Budhe, Mak’e, dan Nama-Nama Lain yang Tak Pernah Terbayangkan Sebelumnya

Salah satu pengalaman aneh sekaligus menyenangkan ketika berada di tempat baru adalah memberi nama. Memberi nama tempat, penjual, dan apa-apa yang perlu. Anda pernah melakukannya juga, kan? Cobalah diingat-ingat. Kalau belum, cobalah. Ini hal yang tak penting tapi penting sih. Heheh.

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Kerja Bakti: Bukan Kewajiban, tapi Diminati?

Sumber: www.semarangkota.go.id Tujuan dari kerja bakti itu baik. Selain membuat lingkungan bersih dan nyaman, interaksi antarwarga juga terjadi sehingga lebih guyub. Bahkan ada juga yang mengatakan kerja bakti adalah tempat praktik nilai-nilai Pancasila. Namun saya meyakini satu hal: tidak setiap warga itu menikmati kerja bakti. Sama dengan pendapatmu?

Perihal Menilai

Saya sering dengar kata-kata macam “Sebaiknya kenali dulu luar dan dalam, baru bisa menilai. Jangan baru kenal atau baru lihat sudah buru-buru menilai.”

Menolak (Istilah) Penggusuran adalah Juga Melawan

“Saya menolak itu kata penggusuran. Kata yang benar itu pembongkaran, karena mereka memang seharusnya pindah!” ujarnya sangat tegas. Bau amis menari-nari di lubang hidung ketika sepeda motor kami memasuki perkampungan nelayan di bagian utara Kota Semarang (21/06/19). Kami melintas di depan Rumah Apung, yang didirikan (atau lebih tepatnya diapungkan) di wilayah yang sering terkena banjir air rob.

Kepunahan Manusia dan Kepulihan Bumi

Sumber: colourbox.com  “Kapan manusia akan punah? Bagaimana caranya?” “Kapan bumi akan musnah? Ataukah bumi akan pulih?”

Lingkaran Setan Media Sosial

Tampaknya anggapan bahwa media sosial itu beracun ada benarnya. Maka tak heran banyak orang mengkampanyekan detoks digital, yang salah satunya adalah log out sejenak dari akun-akun media sosial. Atau lebih dari itu, menghapus akun media sosial, meng-uninstall aplikasi tersebut dari telepon genggam, lalu hidup tanpa media sosial.

Seminggu di Paropo

Akhir tahun 2018 kemarin saya ‘pulang kampung’ ke tanah Batak; tanah kelahiran bapak mertua. Makan daging anjing dengan sayur kol? Tidak. Saya pilih minum tuak dengan buah duren. Ditemani asap tembakau dari berbagai rokok merek pabrikan yang dihisap bapak-bapak di kedai. Semua itu saya santap sambil menikmati nada bicara dari penduduk Desa Paropo, dekat Danau Toba. Bagi saya yang tak paham bahasa Batak, suara yang muncul dari mulut mereka tak ubahnya lagu. Saya sering dengar orang Batak bilang kalau suara macam Judika itu sebenarnya banyak dimiliki oleh orang-orang Batak. Terutama mereka yang sering nongkrong di kedai-kedai di desa. Biasanya para laki-laki nongkrong di kedai sambil minum tuak, lalu pegang gitar untuk nyanyi bersama. Lihat saja di Youtube ; persis seperti itu. Ajaibnya, suara mereka seperti otomatis terbagi jadi tiga – padahal tanpa latihan. Sependek yang saya lihat dalam beberapa hari, jumlah kedai di Desa Paropo ini terhitung banyak. Dapat dikatakan, setiap se...

Untung Pakai BPJS Kesehatan (Bagian 1)

via sportsmd.com Saya Ryan Sanjaya, warga negara yang biasa-biasa saja. Sebagai warga negara yang biasa, saya turut sok-sokan memberi komentar-komentar di medsos kalau ada kebijakan pemerintah yang menurut saya merugikan. Nah, supaya adil dan seimbang, kali ini saya akan membagikan cerita “kepuasan” saya sebagai warga negara, yaitu menjadi peserta BPJS Kesehatan (selanjutnya saya sebut BPJS saja).

Kejenakaan Kerja di Jalur 2 Kilometer

via www.kompas.com Beberapa bulan ini ban sepeda motor menggelinding ke rutinitas jalur yang berbeda. Bukan lagi Jalan Godean hingga Babarsari. Ataupun Jalan Godean hingga Bulaksumur. Tetapi Jatingaleh hingga Pawiyatan Luhur. Jarak tempuhnya hanya sekitar 2 kilometer.

Kritik atas Seorang Pebisnis di Facebook

via www.limitless.agency “Pokoknya kalau mau memulai bisnis, niatmu harus baik dulu. Mantapkan dalam hati kalau niatmu itu untuk membantu orang , bukan untuk cari untung,” ujar pakdhe. Sebetulnya saya tak kenal dengan sosok ini. Kulitnya gelap seperti saya, dengan garis muka yang keras. Meski dia menyebut dirinya sendiri dengan pakdhe (baca: bapak gedhe/kakaknya bapak), sebenarnya umur dia belum tua. Saya perkirakan 30 akhir atau 40 awal.

Waktu dan Apa-Apa yang Ditunggu

via Kasuaris.com “Kamu selalu main aman, kan?” tanya saya serius. Kami bersahabat sejak sebelas tahun lalu. Baru tiga tahun terakhir ini dia mengungkapkan bahwa dia mencintai pria; sama seperti dirinya. “Hahahaha.. pertanyaanmu. Aku rutin periksa kok di sini,” jawabnya. Obrolan kami berlanjut hangat, lengkap dengan pisuhan (Jawa: umpatan) khas Jogja yang bersahabat. Dulu kami tinggal bersama di sebuah asrama, lalu kuliah bersama juga di kota pelajar itu. Kini kami beda pulau.

Beli Isi Cutter

via www.3claveles.com Beli isi cutter adalah kesia-siaan yang tiada duanya di dunia. Barangkali tidak bagi Anda, tapi jelas benar bagi saya. Bagaimana tidak, seumur hidup ini belum ada lima kali ganti isi cutter. “Sekalian beli isi,” pikir saya tiap kali beli cutter. Nyatanya, belum sampai ganti isi, cutter itu sudah menghilangkan diri entah di mana. Pernah saya lalu bikin prakarya pakai isi cutter telanjang hanya dibungkus kaos kaki tebal di tangan. Hasilnya, saya harus mengemut (baca: mengulum. Halah) jari saya yang mengucur darah karena dicium ujungnya yang tajam. Akhirnya, saya beli cutter lagi. Baru. Murah. Tajam? Jelas. Begitu sampai rumah, gantian isi cutter yang menghilangkan diri. Takut kehabisan cutter saya kehabisan isi, akhirnya saya beli lagi. Satu pak ada enam isi cutter. Begitu seterusnya kesia-siaan ini turut saya lestarikan.

“nda..”

via initempatwisata.com “dab” yang digusur “nda” —sebuah catatan supra merah itu tak lagi menggilas jalan godean. tidak juga menyayat aspal jakarta seperti tiga tahun lalu denganmu. dia kini ngeden menapaki tanjakan dan turunan licin di karangrejo hingga pawiyatan luhur. “seperti perjalanan ke basecamp pendakian..” katanya. bagaimanapun jalanan di sana dan di sini masih sama saja. pagi padat, sore tersendat. bersama pekerja yang terpaksa meninggalkan bantal pagi-pagi betul. mereka yang pulang lalu tergesa bercinta meski bau debu-asap. juga bersama sopir-sopir angkutan yang gemar senggol sana-sini. meninggalkan pisuhan seiring rem yang berhasil menghenti laju. soal burjoan, dia bukan raja di sini. adalah warteg, yang menancapkan bendera dengan mantap. tak jadi soal. telur dadar-sayur-kering tempe adalah mewah. bolehlah hapus sejenak istilah “nastel” di kamus. jatingaleh tak pernah seperti besole raya yang bersahabat meski sunyi. kendaraan besar melintas tiap ...