22 November 2017

Kejenakaan Kerja di Jalur 2 Kilometer

via www.kompas.com

Beberapa bulan ini ban sepeda motor menggelinding ke rutinitas jalur yang berbeda. Bukan lagi Jalan Godean hingga Babarsari. Ataupun Jalan Godean hingga Bulaksumur. Tetapi Jatingaleh hingga Pawiyatan Luhur. Jarak tempuhnya hanya sekitar 2 kilometer.


Ban itu menemani mata melihat realitas yang berbeda. Masyarakat khas pesisir dan kawasan niaga yang—katanya—lebih cuek daripada masyarakat di Yogyakarta. Juga aktivitas perkotaan yang khas dan terlalu jenaka untuk sekadar dilewatkan di kepala.

Bekerja rupanya memang membuat waktu berdiskusi dengan diri menjadi semakin langka. Melalui gadget kecil di tangan ini, orang-orang bisa dihubungi dalam hitungan menit. Hampir semua obrolan juga soal pekerjaan.

Bicara soal pekerjaan, jalur 2 kilometer itu rupanya menyimpan cerita jenaka yang kelam. Tak perlulah tertawa, karena jenaka adalah kata lain untuk menggambarkan keanehan. Juga, barangkali, bukan kesalahan, karena kebenaran toh bisa dimanipulasi.

Ketika underpass dan fly over Jatingaleh sedang dibangun, kemacetan parah terjadi di sekitarnya. Saat itu jelang libur lebaran. Pada jam-jam pulang kantor, sering terlihat mobil menepi di tengah kemacetan karena mesin yang terlalu panas.

via radarsemarang.com

Kemacetan itu lalu jadi ladang pekerjaan untuk segelintir orang-orang muda. Mereka jadi semacam “pak ogah” yang mengatur arus lalu lintas. Dari pagi hingga malam, tak peduli cerah ataupun hujan. Uang-uang 500 hingga 2 ribu rupiah bisa mereka dapatkan dari setiap pengendara yang merasa terbantu.

Mereka bawa bendera dan peluit. Mereka mempertaruhkan keselamatan diri dengan pekerjaan dadakan itu dengan berdiri di lalu lintas yang pada dan tergesa-gesa. Khas perkotaan.

Suatu kali saya duduk-duduk iseng di dekat mereka berkumpul. Ternyata masih anak-anak usia tanggung. Membawa sepeda motor yang sudah divariasi sedemikian rupa. Biasanya selain bawa bendera dan peluit, mereka juga bawa rokok dan plastik hitam berisi minuman. Samar-samar tercium bau alkohol setiap kali plastik hitam itu “diputar” di kalangan mereka.

Seringkali juga mereka marah dan membentak pengendara yang tidak patuh atas aba-aba mereka. Entah dari mana mereka bisa merasa mendapatkan hak untuk mengatur lalu lintas kala itu.

Lucunya, setelah proyek selesai dan jalanan kembali lancar (dan jauh lebih lancar rasanya) mereka masih ada di beberapa titik. Mereka berdiri dari pagi di dekat tempat putar balik di bawah fly over dan di dekat pintu keluar tol Jatingaleh dari arah timur.

Sebagian pengendara terganggu, sebagian terbantu, dan sebagian yang lain barangkali tak peduli. Namun, baiklah, mereka sudah menganggap diri bekerja dengan cara seperti itu.

Beberapa minggu ini di Jalan Karangrejo Raya, masih di dekat Jatingaleh, sedang dilakukan proyek pembuatan saluran air. Jalan yang tidak terlalu besar itu menjadi sempit karena galian yang dilakukan di sisi selatan dan utara. Penyempitan itu diperparah dengan beroperasinya alat berat di jalan tersebut.

Dapat ditebak, antrean kendaraan roda empat lalu sering mengular di ruas jalan itu. Pagi, siang, sore, malam, rasanya sama saja.

Ilustrasi via republika.co.id

Lucunya, lagi hampir setiap titik kemacetan itu ada saja warga yang membawa kotak. Singkat kata, mereka meminta sumbangan dari pengendara yang melewati kemacetan itu. Mulut mereka tersumpal peluit untuk mengatur arus lalu lintas.

Begini. Jalan itu adalah milik pemerintah, bukan milik warga setempat. Pengaspalan juga dilakukan oleh pemerintah—melalui kontraktor yang menang tender barangkali. Setiap orang berhak untuk melintasi jalan itu, tak lain karena jalan adalah bagian dari fasilitas umum.

Mengapa mesti ada warga yang berdiri di tengah kemacetan sambil bawa kotak? Apa maksudnya pengendara diminta untuk mengisi kotak itu dengan uang yang didapatkan dari hasil bekerja?

“Kalau nggak mau ngasih ya tinggal lewat aja. Itu kan sukarela. Tidak perlu ribet mikir.”

Hehehe..

Iya juga, sih. Kita bekerja, mereka juga menganggap diri sedang bekerja. Mereka juga menganggap pantas dapat uang dari kegiatan itu. Sebagian pengendara juga terbantu karena mereka mengatur arus lalu lintas.

“Nah, kan. Lantas apa lagi persoalannya?”

Ah, tidak ada soal. Pekerjaan itu—begitu pula pekerjaan ini—adalah bagian dari kejenakaan sehari-hari kita juga. Telan saja lah.

Jatingaleh
22.11.2017

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain