via www.kompas.com |
Beberapa
bulan ini ban sepeda motor menggelinding ke rutinitas jalur yang berbeda. Bukan
lagi Jalan Godean hingga Babarsari. Ataupun Jalan Godean hingga Bulaksumur.
Tetapi Jatingaleh hingga Pawiyatan Luhur. Jarak tempuhnya hanya sekitar 2
kilometer.
Ban itu
menemani mata melihat realitas yang berbeda. Masyarakat khas pesisir dan
kawasan niaga yang—katanya—lebih cuek daripada masyarakat di Yogyakarta. Juga
aktivitas perkotaan yang khas dan terlalu jenaka untuk sekadar dilewatkan di
kepala.
Bekerja
rupanya memang membuat waktu berdiskusi dengan diri menjadi semakin langka.
Melalui gadget kecil di tangan ini, orang-orang bisa dihubungi dalam hitungan
menit. Hampir semua obrolan juga soal pekerjaan.
Bicara
soal pekerjaan, jalur 2 kilometer itu rupanya menyimpan cerita jenaka yang
kelam. Tak perlulah tertawa, karena jenaka adalah kata lain untuk menggambarkan
keanehan. Juga, barangkali, bukan kesalahan, karena kebenaran toh bisa dimanipulasi.
Ketika underpass dan fly over Jatingaleh sedang dibangun, kemacetan parah terjadi di
sekitarnya. Saat itu jelang libur lebaran. Pada jam-jam pulang kantor, sering
terlihat mobil menepi di tengah kemacetan karena mesin yang terlalu panas.
via radarsemarang.com |
Kemacetan
itu lalu jadi ladang pekerjaan untuk segelintir orang-orang muda. Mereka jadi
semacam “pak ogah” yang mengatur arus lalu lintas. Dari pagi hingga malam, tak
peduli cerah ataupun hujan. Uang-uang 500 hingga 2 ribu rupiah bisa mereka
dapatkan dari setiap pengendara yang merasa terbantu.
Mereka
bawa bendera dan peluit. Mereka mempertaruhkan keselamatan diri dengan
pekerjaan dadakan itu dengan berdiri di lalu lintas yang pada dan tergesa-gesa.
Khas perkotaan.
Suatu
kali saya duduk-duduk iseng di dekat mereka berkumpul. Ternyata masih anak-anak
usia tanggung. Membawa sepeda motor yang sudah divariasi sedemikian rupa.
Biasanya selain bawa bendera dan peluit, mereka juga bawa rokok dan plastik
hitam berisi minuman. Samar-samar tercium bau alkohol setiap kali plastik hitam
itu “diputar” di kalangan mereka.
Seringkali
juga mereka marah dan membentak pengendara yang tidak patuh atas aba-aba
mereka. Entah dari mana mereka bisa merasa mendapatkan hak untuk mengatur lalu
lintas kala itu.
Lucunya,
setelah proyek selesai dan jalanan kembali lancar (dan jauh lebih lancar
rasanya) mereka masih ada di beberapa titik. Mereka berdiri dari pagi di dekat
tempat putar balik di bawah fly over dan
di dekat pintu keluar tol Jatingaleh dari arah timur.
Sebagian
pengendara terganggu, sebagian terbantu, dan sebagian yang lain barangkali tak
peduli. Namun, baiklah, mereka sudah menganggap diri bekerja dengan cara
seperti itu.
Beberapa
minggu ini di Jalan Karangrejo Raya, masih di dekat Jatingaleh, sedang
dilakukan proyek pembuatan saluran air. Jalan yang tidak terlalu besar itu
menjadi sempit karena galian yang dilakukan di sisi selatan dan utara.
Penyempitan itu diperparah dengan beroperasinya alat berat di jalan tersebut.
Dapat
ditebak, antrean kendaraan roda empat lalu sering mengular di ruas jalan itu.
Pagi, siang, sore, malam, rasanya sama saja.
Ilustrasi via republika.co.id |
Lucunya,
lagi hampir setiap titik kemacetan itu ada saja warga yang membawa kotak.
Singkat kata, mereka meminta sumbangan dari pengendara yang melewati kemacetan
itu. Mulut mereka tersumpal peluit untuk mengatur arus lalu lintas.
Begini.
Jalan itu adalah milik pemerintah, bukan milik warga setempat. Pengaspalan juga
dilakukan oleh pemerintah—melalui kontraktor yang menang tender barangkali.
Setiap orang berhak untuk melintasi jalan itu, tak lain karena jalan adalah bagian
dari fasilitas umum.
Mengapa
mesti ada warga yang berdiri di tengah kemacetan sambil bawa kotak? Apa
maksudnya pengendara diminta untuk mengisi kotak itu dengan uang yang
didapatkan dari hasil bekerja?
“Kalau
nggak mau ngasih ya tinggal lewat aja. Itu kan sukarela. Tidak perlu ribet
mikir.”
Hehehe..
Iya
juga, sih. Kita bekerja, mereka juga menganggap diri sedang bekerja. Mereka
juga menganggap pantas dapat uang dari kegiatan itu. Sebagian pengendara juga
terbantu karena mereka mengatur arus lalu lintas.
“Nah,
kan. Lantas apa lagi persoalannya?”
Ah,
tidak ada soal. Pekerjaan itu—begitu pula pekerjaan ini—adalah bagian dari
kejenakaan sehari-hari kita juga. Telan saja lah.
Jatingaleh
22.11.2017
No comments:
Post a Comment