10 September malam, ketika
notifikasi aplikasi obrolan di handphone berbunyi.
“Jay, kalau berkenan
tanggal 6 aku sama Gultom mau naik Gede. Siapa tau kita bisa mengabadikan foto
lagi biar kayak orang-orang kekinian. Hehe..”
Dennis,
kawan semasa SMA menghubungi dengan kata-kata itu. Meski sedang meriang dan
banyak kekhawatiran soal kekuatan fisik, saya sulit menolak ajakan itu.
Sedangkan Gultom, adalah kawan SMA juga. Kami bertiga beberapa kali satu
rombongan dalam pendakian, salah satunya ke Merapi.
14 September malam (masih
meriang), akhirnya ajakan tersebut saya terima dengan semangat. Energi saya
jadi melimpah ruah ketika tahu bahwa sahabat-sahabat saya yang lain (Bayu dan
Gida) juga ikut dalam pendakian kali ini. “Sekalian reuni,” pikirku.
Celakanya,
meriang ini masih berlanjut lama. Untungnya, saya merasa betul-betul sembuh
kurang dari seminggu jelang tanggal yang kami sepakati.
Atas
kebaikan Bayu dan Dennis, serta jasa baik om Yohanes, semua logistik kelompok,
urusan transportasi, dan perijinan sudah beres semua sejak sebelum saya
berangkat dari Semarang. Betul-betul malaikat penolong !
6 Oktober pagi, setelah saya
memacu sepeda motor ke kampus untuk presensi sidik jari, saya segera pesan
Go-Jek untuk ke Stasiun Tawang, Semarang. Di sana sudah menunggu kereta untuk
mengangkutku ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta.
Sampai
di Jakarta, saya menuju ke kantor Heni (kekasih) untuk sekalian menjemputnya
pulang ke kos. Atas kebaikannya pula, saya bisa cari logistik, tali, serta
pinjaman gelas dan sendok. Malam hari sekitar pukul 21 baru saya ke rumah Bayu
yang kami sepakati sebagai titik kumpul.
Singkat
cerita, kami sampai di basecamp Gunung Putri sekitar pukul 4 pagi menggunakan
mobil om Yohanes. Total kami berangkat 6 orang: Gultom, Dennis, Bayu, Gida, Adi
Bleki, dan saya sendiri. Di sana kami langsung disambut orang dalam, lalu
diberi tempat untuk rebahan sejenak sambil persiapan.
Berakhirnya
sarapan adalah awal dari perjuangan pendakian ini. Kami awali pendakian ini dengan
berdoa, memohon keselamatan dan perlindungan supaya semua kembali dengan utuh,
sehat, dan selamat.
7
Oktober 2017 | 07.30 | Basecamp Gunung Putri
Jalur
awal-awal yang kami lalui cukup menyenangkan. Tenaga masih penuh, pikiran masih
segar. Tak lama berjalan, kami sampai di pos registrasi. Petugas memastikan
kami tak bawa senjata tajam, tissue basah, dan shampo/sabun. Akhirnya kami
lanjut berjalan.
Teman-teman
saya keren sekali. Bawaan mereka banyak dan berat. Sementara itu, saya bawa
satu tenda dengan saya letakkan di atas kerir. Candaan dan hinaan yang kami
lontarkan tidak membuat beban itu jadi ringan, tapi sepertinya cukup ampuh
untuk mengalihkan pikiran.
Kami
berhenti beberapa kali untuk atur napas dan menstabilkan detak jantung. Pada
beberapa pos yang ada bangunannya dan ramai dengan pendaki, kami berhenti cukup
lama untuk buka snack dan minum.
Jalur
ini unik juga, di sepanjang jalan kami beberapa kali menemui pedagang makanan
dan minuman. Akhirnya menjelang pukul 11 kami beli nasi uduk dingin seharga
Rp10 ribu untuk makan siang. “Lumayan kan, daripada kita buka kompor trus
masak,” kata Bayu.
Saya
tak ingat tepatnya di pos apa kami berhenti untuk makan. Yang jelas di sana ada
banyak pendaki juga.
Jalur
yang membekas di ingatan adalah dari jalur tiga ke jalur empat. Tanjakan di
depan rasanya tidak habis-habis. Sangat menyiksa paha dan mental saya—dan
beberapa teman saya barangkali. Tapi target kami tidak muluk-muluk saat itu.
Kami hanya ingin sampai Surya Kencana untuk buka tenda sebelum gelap.
Kami
lalu sampai di pos empat. Rombongan saat itu terbagi dua. Tentu saja, saya
masuk rombongan belakang. Selesai istirahat sebentar, kami lanjut untuk jalan
ke pos berikutnya, yaitu Surya Kencana.
Sementara
itu kabut mulai datang, bersama dengan awan mendung.
7
Oktober 2017 | 16.15 | Alun-Alun Surya Kencana
Mendekati
Surya Kencana, jalur terasa begitu landai. Otot-otot kaki mulai merasakan
nikmatnya berjalan, setelah dari tadi dihajar tanjakan. Sayangnya, gerimis
mulai datang. Hujan semakin menjadi ketika kami berteduh di warung dekat Surya
Kencana.
Dengan
berbagai pertimbangan, kami memilih untuk tidak menunggu hujan reda, tetapi
langsung pakai mantol untuk lalu bangun tenda. Beruntung, kami menemukan tempat
yang sangat ideal untuk buka tenda di tengah hujan.
Udara
dingin saat itu sangat menggigit. Ditambah air hujan yang tak kunjung henti,
yang bikin sepatu, pakaian, dan kerir kami basah semua. Kami bangun tenda
dengan kondisi yang sudah mulai gelap. Jari-jari ini sudah mati rasa, tubuh
sudah menggigil semua.
Teman-teman
saya ini sangat cekatan bikin tenda. Hanya dengan sedikit debat, dua tenda
sudah berdiri dan siap untuk ditempati. Satu tenda untuk tiga orang.
Tenda
satu berisi Bayu, Dennis, dan Adi Bleki. Tenda satunya lagi Gultom, Gida, dan saya
sendiri. Ketika tenda selesai dibangun, kami segera masuk untuk menghangatkan
diri. Kondisi tubuh jadi jauuuh lebih baik setelah masuk tenda.
Kami
lalu segera masak untuk menghangatkan diri. Sambil masak itu saya bilang,
”Kapok. Aku kapok naik gunung. Ini terakhir.”
Gultom
menimpali, “Iya, aku juga yang terakhir.”
“Kenapa?”
“Ya,
kayaknya udah bukan masanya. Dulu waktu kuliah udah sering main-main naik
gunung gini. Kali ini juga karena pengin kumpul aja, kebetulan Dennis ajak naik
gunung.”
Hanya
selang beberapa jam selesai makan dan beres-beres. Suara dengkuran bersahutan
di tenda sebelah, disusul oleh tenda saya.
8
Oktober 2017 | 05.30 | Alun-Alun Surya Kencana
Saya
terbangun karena ingin buang air kecil. Saat keluar tenda, akhirnya saya melihat
pemandangan Surya Kencana yang selama ini saya impikan. Kharismanya betul-betul
ada. Sunyi. Dingin. Luas.
Dennis
kebetulan juga bangun. Kami lalu segera beli minuman hangat di salah satu
warung dekat sana. Kami juga beli nasi uduk dari penjual yang naik dari bawah
jam 3 pagi. Luar biasa. Kami hampir habiskan waktu 9 jam untuk naik, penjual
ini cukup dengan tiga jam.
“Nggak
pakai istirahat ya, pak?”
“Pakai,
bang. Tapi bentar doang.”
Aktivitas
berikutnya dapat ditebak: foto-foto. “Kapan lagi bisa sampai sini?” pikirku.
Usai
foto-foto kami segera kembali ke tenda untuk menjemur peralatan, fly sheet, dan
apa-apa yang bisa dijemur. Kami menunggu sambil sarapan.
Sekitar
pukul 8.30 semua barang bawaan sudah di pundak kami. Kami siap untuk berangkat
ke puncak untuk lalu turun ke bawah lewat jalur Cibodas. Untuk turun ke
basecamp Cibodas kami memang harus lewat puncak terlebih dahulu.
Mula-mula
kami jalan dengan cukup cepat melintasi Surya Kencana, karena jalannya memang
landai. Pada salah satu papan petunjuk ada tulisan “Gunung Putri 6 km” dan
“Cibodas 12 km.”
What?
Tidak salah? Tidak. Celaka. Saya masih harus jalan kaki 12 km untuk sampai
bawah lagi !
Perjalanan
ke puncak tak kalah melelahkan. Sepertinya tenaga sudah terkuras seharian
kemarin. Dengan bobot bawaan yang—rasanya—hampir sama, jalur ke puncak yang
katanya dekat itu rasanya tetap jauh.
8
Oktober 2017 | 10.30 | Puncak Gede
Rombongan
kami terbagi tiga. Sama seperti sebelumnya, saya berada di urutan terakhir.
Sampai di puncak saya jajan lagi beli minuman hangat.
Tak
lama-lama di sana, kami pun segera turun. Kira-kira pukul 11.
Pemandangan
kawah di Gunung Gede ini luar biasa. Kita benar-benar hanya setitik kecil. Biar
saya ceritakan. Di sebelah kanan menganga kawah Gunung Gede yang masih
mengeluarkan asap. Sementara di sebelah kiri jauh di bawah saya melihat
Alun-Alun Surya Kencana yang masih menyisakan rindu.
Perjalanan
turun ini tak kalah menguji mental. Pertama, tanjakan setan. Saya tak mengira
tanjakan setan itu semengerikan itu. Betul-betul mengerikan. Hilang
keseimbangan sedikit, hilang pijakan sedikit, lecet adalah keniscayaan. Patah
tulang adalah risiko kecil. Kematian bisa jadi menghadang.
Tak
selesai di situ, mental saya kembali diuji ketika tahu bahwa untuk sampai bawah
ini masih melewati 9 pos. Ya Tuhanku ! Saya kapok naik gunung !
8
Oktober 2017 | 14.30 | Kandang Badak
Sampailah
kami di Kandang Badak sekitar pukul 14.30. Kami berhenti cukup lama untuk makan
siang di sana.
“Kira-kira
berapa jam lagi sampai bawah?” tanyaku kepada seorang pendaki.
“Tiga
jam. Landai kok, bang.”
Baiklah.
Sambil memegangi lutut kiri yang nyeri sekali, akhirnya kelompok kami kembali
berjalan. Ternyata betul, jalannya memang landai, tetapi... medannya adalah
batu-batu. Itu mengerikan.
Makin
mengerikan ketika melewati air panas. Kami harus pilih pijakan batu yang tidak
terkena air sambil berpegangan tali di sebelah kanan. Di sebelah kiri adalah
air terjun yang tidak kelihatan karena uap air yang sangat banyak. Ngeri.
Persis dunia dongeng. Konon, di tempat itu sebenarnya banyak pendaki yang
terpeleset lalu meninggal. Tetapi tidak banyak diekspos.
Hari
semakin gelap dan kadang-kadang gerimis.
8
Oktober 2017 | 17.00 | (tidak tahu nama posnya)
Akhirnya
hujan betulan datang, tidak hanya gerimis. Beruntung kami sampai di sebuah pos
yang sudah ramai pendaki ketika hujan baru saja datang.
“Ini
pos terakhir kan?”
“Hahaha..
bukan. Nanti masih ada pos 1 lagi.”
Bangsat,
pikirku.
Kami
memutuskan untuk lanjut jalan dengan pakai mantol dan senter untuk penerangan.
Belum lama jalan dan menapaki batu-batu, kami disuguhi pemandangan
yang—sebetulnya—bagus, yaitu jembatan yang sangat panjang. Sayang, hari saat
itu mulai gelap dan hujan, jadi tidak sempat terpikir untuk ambil foto.
Di
perjalananan setelah pos tadi mental saya sudah benar-benar habis. Frustasi.
Dari tadi sudah berjalan kok tidak segera sampai. Pos terakhir akhirnya kami
lewati begitu saja supaya bisa segera sampai bawah.
Setelah
berjalan dengan kesabaran luar biasa dan seperti tanpa ujung (karena gelap), akhirnya
kami menemukan tempat yang terang benderang. Kelegaan luar biasa mendatangi.
Kami
harus berjalan lagi cukup jauh untuk kemudian sampai di terminal. Om Yohanes
sudah menunggu di situ bersama teman-teman komunitas sependakiannya.
8
Oktober 2017 | 19.00 | Terminal Cibodas
Akhirnya
sampai. Saya basah kuyup. Segera saja pesan teh panas untuk sekadar
menghangatkan badan. Dengan kondisi seperti itu, kami kembali ke Jakarta dengan
kendaraan yang sama, tetapi dengan pengalaman yang berbeda.
***
Pendakian
ini sangat berkesan. Pertama, untuk pertama kalinya saya injakkan kaki saya di
puncak gunung di luar Jawa Tengah. Kedua, ternyata saya masih bisa jalan sampai
puncak. Awalnya saya ragu karena kondisi fisik yang tentunya menurun dibanding
ketika masa pertama kali ke puncak Lawu 10 tahun lalu. Ketiga, kami, yang
terakhir naik gunung waktu itu masih berstatus sebagai mahasiswa, kini naik
kembali dengan status bekerja. Entah apa istimewanya, tetapi itu berkesan.
Beberapa
hal yang perlu saya catat dalam pendakian ini adalah 1) persiapan fisik yang
perlu lebih lama; 2) selalu bawa turun sampah sekecil apapun; dan 3)... saya
tidak tahu harus kapok naik gunung atau tidak. Nyatanya, hanya perlu waktu 3
hari untuk menghilangkan pegal di kaki. Hanya perlu waktu seminggu untuk
merindu lagi pada gunung. Haruskah ucapan di Alun-Alun Surya Kencana itu saya
tarik? Atau semesta sudah telanjur mendengarkannya?
No comments:
Post a Comment