Cerita ini diawali ketika beberapa kawan melakukan penelitian di Desa Wisata Sidoakur yang terletak di Jalan Godean. Akhirnya saya ngikut, sekalian isi waktu.
Perjalanan yang dimulai dari kawasan Kotabaru berakhir di rumah Mas Andi di lokasi penelitian. Kami berbincang tidak lama, cukup untuk mencari tahu gambaran umum desa dengan title wisata ini. Kemudian kami diantar ke rumah seorang bapak yang giat membuat pupuk organik.
Bapak ini membuat pupuk menggunakan beberapa alat. Salah satu alatnya adalah drum bekas di atas. Meski bertuliskan “KERTAS”, namun drum bekas ini adalah tempat membuat briket dari sampah daun.
Sampah daun dimasukkan ke dalam drum, dibakar dan ditunggu hingga semua menjadi abu. Abu ini yang dipadatkan dan akan dibuat menjadi briket yang bisa dimanfaatkan. Lihat, hebat bukan komitmen mereka terhadap sampah?
Komitmen terhadap sampah juga nampak dalam poster hijau di atas. Berapa lama mereka dapat konsisten terhadap komitmennya? Atau jangan-jangan poster ini hanya sama seperti tempelan iklan di sebelahnya? Hmm..
By the way, tempat sampah berwarna hijau ini ada di setiap rumah warga. Sampah-sampah organik diletakkan, ditutup, dan ditunggu hingga beberapa waktu untuk menjadi pupuk.
Di halaman rumah bapak tadi ada beberapa tempat pembuatan pupuk kompos. Foto di atas adalah salah satunya.
Daun kering dicampur dengan bahan-bahan tertentu, didiamkan selama beberapa waktu, kemudian menjadi pupuk yang siap digunakan. Seperti tanah berwarna coklat, itulah pupuk yang siap digunakan.
_____________________________________________________________
Menarik untuk diketahui, di samping rumah bapak ini ada rumah kecil bertuliskan “LAB ORGANIK” tempat membuat pupuk cair. Ini adalah beberapa isi di dalamnya:
______________________________________________________
Satu lagi yang menarik dari sekitar tempat tinggal bapak ini, yaitu banyak ditemui “karpet” hijau yang licin..
Satu lagi yang menarik dari sekitar tempat tinggal bapak ini, yaitu banyak ditemui “karpet” hijau yang licin..
“Karpet” ini dengan teraturnya menyelimuti batu hingga..
tanah.
Selain itu ada banyak lubang yang sengaja dibuat di halaman (kalau tidak salah namanya biopori), salah satunya:
Di luar rumah bapak, saya sempat berjalan-jalan. Ketika berjalan saya banyak melihat realitas di dalam desa ini dan mencoba mengabadikan pekerjaan domestik yang nampak dari luar.
Kaos yang dijemur di pinggir-pinggir jalan. Dijemur di tempat seperti ini memungkinkan banyak debu yang menempel kembali ke kaos yang sudah dicuci.
Sama kejadiannya dengan handuk yang dicuci dan kemudian dijemur begitu saja di pagar depan rumah..
Di sisi lain, rasanya “tidak sah” bila mengunjungi desa namun tidak melihat tatanan alam (baik yang alami maupun oleh manusia) di dalamnya..
daun.. |
bunga.. |
bunga (lagi).. |
rambutan... |
(sensor merk) ^^ |
hijau, kecil, ginuk-ginuk... |
alternatif cabang... |
Itu tadi sekilas perjalanan yang baru saja saya lewati. Masih ada banyak perjalanan lagi, banyak gambar yang juga bisa tercipta. Semoga komitmen tidak berhenti di sini dan tidak berhenti di mereka.
sayang masih banyak jemuran yang bergelantungan di pinggir jalan
ReplyDeletepotensi desa masih belum digali secara maksimal dan juga masih perlunya penataan di wilayah tersebut