28 February 2016

BeHa Lima Ribuan

Adalah sebuah grup jual beli barang bekas di Facebook. Saya iseng masuk grup ini, siapa tau ada barang menarik. Rupanya bukan saja barang menarik, tetapi perilaku berkomunikasi yang menarik dari beberapa anggota grup. Ini baru satu, lain kali saya update lagi :)

06 February 2016

The Hidden Harmony

I was baptized at Rome Catholic church when three months old. Until now I pray using Catholic tradition, and never use another religion tradition. But live as minority in the middle of Moslem make me know some of their tradition, include how they pray five times a day.

05 February 2016

Menguliti Dodit

Belakangan ini saya agak gila. Utang tulisan yang cukup banyak justru membuat saya malas untuk melunasinya. Maka saya sering buka Youtube, cari hiburan, siapa tahu bisa mengurangi stress. Saya cari dengan kata kunci “Dodit” untuk cari hiburan. Mengapa Dodit? Ya bagi saya, dia adalah standup comedian paling lucu. Mungkin karena lucunya beda dengan yang lain-lain. Mereka yang lain itu lucu ala Betawi, atau ala Jakarta, yang bagi saya kadang enggak lucu.

Setelah menonton banyak video Dodit manggung di mana-mana, saya menemukan beberapa hal yang jadi pola materi standup-nya Dodit.

Pertama, meninggikan diri. Ini konteksnya juga bercanda. Misalnya dia tanya “Ada yang sudah kenal saya?” Kalau audiens jawab “Belum” Dodit akan bilang “Sana beli tivi” atau jawaban sejenisnya. Intinya, dia mau bilang kalau dia sering masuk tivi. Selain main beberapa film, skarang Dodit juga muncul di acara serial komedi bertema ojek di Net. Dulu juga sering dibahas soal jumlah followernya di Twitter yang sekarang sampai 453K.

Meninggikan diri ini penting bagi Dodit. Mengapa? Dengan anugerah perawakan dan penampilan yang dia miliki, itu yang jadi salah satu sumber lucunya. Coba bayangkan kalau yang bilang begitu adalah para presenter tivi, atau artis berwajah indo yang berwajah tampan dan dadanya bidang. Kan malah malesi.

Kedua, merayu wanita. Ini sudah jadi andalannya sejak awal standup di Kompas TV. Kita pasti akrab dengan kata-kata macam “Ya, kamu..” sambil mengacungkan bowl biola ke arah penonton wanita. Sering juga dia membahas wanita yang duduk sebelahan dengan kekasihnya. Lalu kalau Dodit baru saja masuk panggung biasanya dia juga mengedipkan sebelah mata ke arah suatu sudut, tentu disambut teriakan histeris para wanita. Tak lupa dia bilang “Love you” dengan entengnya.

Kalau Dodit manggung di kota-kota, dia tak hanya begitu. Biasanya dia minta satu atau dua wanita untuk maju di panggung. Ada yang hanya ngobrol, ada yang diminta untuk nyanyi bareng Dodit ketika bawa gitar. Foto bareng? Itu pasti. Sebagian selfie, sebagian difoto orang lain. Tak jarang penonton wanita itu tak segan berpelukan dengan Dodit.

Ketiga, Dodit bawa gitar, tak selalu biola. Sejak awal audisi di Kompas TV, Dodit konsisten bawa alat musik biola. Ada sih satu-dua penampilannya dia tak bawa apa-apa. Namun biola adalah ciri khas yang dia bangun sejak awal, dan menurut saya dia memang menguasai alat musik itu. Nah, dari panggung ke panggung Dodit sering main gitar. Tentu saja dia main gitar sambil nyanyi. Lagu-lagunya diulang, ya itu-itu saja. Misalnya “Terlatih Patah Hati”nya The Rain feat Endank Soekamti, yang bagian liriknya diganti “..dan semua yang pergi, tanpa sempat aku cicipi..”

Keempat, Dodit mencela kota tempat dia manggung. Tentu saja ini juga bercanda, karena konteksnya standup comedy di panggung. Misal, dia manggung di Sragen. Dia menyebut kota ini bagus, karena hanya luruuus saja lalu selesai. Atau ketika manggung di Karanganyar dia menyebutkan daerah-daerah di Karanganyar yang (namanya) dianggap ndesit. Namun yang pasti dia menyebut daerah yang dipakai untuk pacaran mesum, atau bahkan tempat prostitusi.

Beberapa kali dia juga mencela gedung yang digunakan untuk standup. Misal, gedung ini bagus, tapi angker. Gedung ini bagus, tapi WCnya pesing. Dia bilang, “Tadi saya nelek di sana. Tapi teleknya pas diguyur nggak mau masuk.”

Kelima, bawa materi mesum. Materi mesum atau porno masih jadi andalannya untuk meramaikan suasana. Misal, dia sering tiba-tiba di awal atau tengah penampilan dia nanya ke salah satu audiens, “Mbak, kok lihatin aku sampai kayak gitu? Ndelokke manukku ya?” (ngeliatin tititku ya?) begitu katanya. Ada juga materi tentang suster di sini yang tidak seprofesional suster di Jepang. Anda kehilangan konteks? Cobalah ketik “suster jepang” di Google, anda akan menemukan jawab.

Keenam, menceritakan sakit jantung koroner yang pernah menimpanya. Sakit yang membuatnya harus opname selama 16 hari ini diceritakan dengan kemasan komedi. Misalnya, dia menyebut sakit jantung ini sebagai sakit yang berkelas, sakit typus itu enggak level. “(sakit) jantung dong, bikin mati..” katanya. Suatu saat dia juga cerita detil bagaimana sakit jantung itu membuat dirinya tidak boleh mengejan ketika BAB. Entah lucu atau menjijikkan, itulah materi-materi yang dibawa Dodit.

Oh ya, sakit inilah yang katanya membuat dia harus duduk ketika di panggung. Katanya bisa terlalu lelah. Saya enggak tahu ini sungguhan atau tidak. Kalaupun sungguhan, saya enggak bisa membayangkan bagaimana dia harus sering duduk ketika syuting film atau serial.

Ketujuh, ini yang penting, dalam beberapa kali kesempatan dia meminta audiens untuk tidak merekam penampilan dirinya dan konsentrasi saja pada gurauan yang dia luncurkan. Katanya dia merasa diduakan kalau audiens menonton sambil merekam. Namun belakangan saya menemukan jawabnya. Mereka yang merekam itu biasanya mengupload di Youtube. Kalau buanyak orang mencari namanya di Youtube, nanti mereka akan tahu kalau materi guyonan Dodit di panggung-panggung itu ya sekitar itu-itu saja.

Ini tentu berbeda bila dibandingkan waktu kompetisi di Kompas TV. Setiap penampilan ada tema dan biasanya cerita yang dibawa Dodit baru. Ada tuntutan untuk menghadirkan cerita yang baru.

Bukan, ini bukan kritik. Setahu saya memang membangun materi standup itu tak mudah, tak semudah artis-artis yang cangkeman di ILK, atau acara-acara guyonan lain. Di mana-mana juga seorang standup comedian membawakan materi-materi yang mirip. Bagi saya tidak masalah, yang penting otentik, itu muncul dari kreativitas dirinya sendiri. Terlebih adalah bagaimana memunculkan kesan bahwa cerita atau materi semacam itu hanya pantas dibawakan oleh dirinya, bukan oleh orang lain.

Oh ya, selain mengkritik banyak hal, Dodit juga pernah mengkritik dirinya sendiri. Misalnya, dia pernah bilang kalau materi porno itu murahan. Namun dia terus saja membawakannya. Yah, namanya juga acara komedi, mau kritik sepedas apapun kalau diikuti dengan tawa Dodit ya jadinya dianggap bercanda. Tidak serius. Tidak perlu ditanggapi dengan kata, atau perbuatan. 

Ada yang menangkap materi lain yang dibawakan Dodit? Barangkali saya luput menangkap buanyak materi. Saya bukan pengamat komedi, apalagi komedian. Saya hanya orang yang senang menonton Dodit (di Youtube) dan kebetulan punya waktu untuk menuliskannya. Sukses selalu Dodit!


04 February 2016

Tetap Tegar Walau Terkilir

Tahun 2006 saya ikut organisasi Pelajar Pecinta Alam van Lith (Papala VL). Mottonya: tetap tegar walau terkilir. Nah, kegiatan di Papala itulah yang membuat saya hingga—paling tidak—awal tahun 2016 ini masih naik gunung. Namun ini bukan soal naik gunung, ini soal sepatu tracking.

Berdasarkan pantauan (baca: kepo) dari media sosial, Papala masih rutin mengadakan pendakian bersama. Sekarang teman-teman Papala keren. Gear pendakiannya bagus dan komplit, sepatunya juga sepatu tracking semua. Sungguh, ini pujian, bukan sindiran. Karena bagaimanapun sepatu tracking itu kan memang didesain untuk keamanan pendaki.

Dulu seingat saya (semoga saya salah ingat) hanya ada satu (atau dua) teman seangkatan yang punya sepatu tracking. Artinya, sepatu tracking itu barang mewah. Bahkan setahu saya pernah ada kakak kelas yang pinjam sepatu tracking punya teman saya. Apakah itu berarti teman seangkatan kakak kelas saya tidak ada punya sepatu tracking? Entah.

Kami dulu naik gunung pakai sepatu olah raga biasa, bukan sepatu tracking. Saya beli Reebok yang lagi didiskon 70 persen, sebagian pakai sepatu lari, sebagian yang lain pakai Converse biasa. Tentu saja solnya licin dan bagian atasnya tak melindungi pergelangan dari risiko terkilir.

Saya tidak tahu mengapa bisa berbeda begini. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, dulu sepatu tracking harganya mahal, sekarang lebih terjangkau. Barangkali 10 tahun yang lalu kegiatan pendakian belum sangat populer seperti sekarang—pasca 5 cm. Karena sudah jadi tren lalu banyak variasi sepatu tracking, baik model maupun harga, yang memperebutkan pasar.

Kedua, sepatu tracking mudah dicari. Kembali ke tren tadi, pilihan model dan harga banyak. Beberapa tahun terakhir toko outdoor di Jogja juga jadi banyak sekali. Bisa milih mau beli di mana, model gimana, merek apa, harga berapa, ori atau kw :) Itu di media sosial juga banyak yang jual kalau mau beli online.

Tiga, anak-anak van Lith yang sekarang berasal dari keluarga kaya. Beli sepatu tracking itu mah kecil, hanya seperberapanya dari uang sekolah. Sedangkan kami dulu ngirit, beli parafin buat masak-masak aja urunan--padahal harganya Rp8000/8 keping di Pasar Muntilan.

Barangkali masih banyak kemungkinan lain yang tidak saya tahu. Namun apapun itu, saya berharap semua pendaki berangkat dari tempat tinggal dengan selamat, pulang juga selamat. Sepatu tracking adalah salah satu upaya mencapai keselamatan itu, masih ada banyak upaya lain.

Saya sendiri baru beli sepatu Rei tahun 2010, sampai sekarang masih dipakai meski sudah sedikit robek. Kalau masih rutin naik gunung, mending beli sepatu tracking, gaes. Jangan bilang enggak ada uang. Setiap bulan ada kau habiskan setengah juta rupiah buat kau hisap, masak buat beli sepatu enggak ada uang :)

Ingat, selain utamakan selamat, jaga juga kelestarian ekosistem gunung. Minimal matikan bara api dan bawa turun sampahmu. Mari mendaki lagi.

Baca Tulisan Lain