08 December 2010

Istilah dalam Jurnalisme*

Yellow journalism
Yellow journalism bukanlah merupakan sebuah aliran jurnalisme, melainkan sebuah julukan yang diberikan oleh The New York Press kepada dua koran besar di kota New York pada awal tahun 1987, yaitu New York World dan New York Journal. (Nurudin, 2009:230) Konon kedua koran tersebut dijuluki demikian sebab warna kertas yang digunakan memang berwarna kuning, kertas berwarna kuning adalah kertas yang murah. Di kemudian hari, yellow journalism digunakan sebagai julukan terhadap produk-produk jurnalisme yang menekankan berita-berita yang sensasional, tidak sebanding dengan substansinya.



Lebih lanjut, Nurudin menuliskan bahwa yellow journalism adalah jurnalisme pemburukan makna. Melalui gambar dan judul yang bombastis, berita kriminal, cerita bergambar, dan cerita dunia khayal, yellow journalism mencoba mencari pembeli dalam jumlah yang besar. Konsumen dari jurnalisme ini adalah kalangan menengah ke bawah yang tingkat pendidikannya tidak tinggi. (Nurudin, 2009:233)

Dengan penekanan pada sensasi berita tanpa menekankan substansinya, menurut saya profesionalisme jurnalisme ini patut dipertanyakan. Berita-berita yang ditampilkan dalam jurnalisme ini dapat dikaitkan pula dengan nilai kelayakan berita. Karena mengejar sensasi semata, nilai kelayakan berita dalam yellow journalism hampir dipastikan tidak terpenuhi.

Convergent Media
Convergent Media (konvergensi media) mempunyai makna bergabungnya media telekomunikasi tradisional dengan sistem internet. Kunci dari konvergensi adalah digitalisasi, kerena seluruh bentuk informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke dalam satuan bit. (www.scribd.com/doc/3323133/Konvergensi-Media)

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet, menjadi dasar atas konvergensi media seperti ini. Contohnya adalah media cetak yang juga memiliki halaman web, radio yang dapat didengarkan melalui web, dan sebagainya. Internet memang mempermudah manusia untuk mendapatkan informasi melalui berbagai media sekaligus.

Konvergensi media yang berujung pada internet menimbulkan perubahan dalam jurnalisme. Media cetak yang dikenal dengan ulasan yang mendalam dan seimbang menjadi sedikit bergeser dengan yang ada di versi internet. Media cetak yang ada di internet mempunyai jenis penulisan berita yang berhenti pada kulit, dan mengalami update dalam waktu yang relatif singkat.


Embedded journalism
Istilah ini jika diartikan dalam bahasa Indonesia kurang lebih menjadi jurnalisme kelekatan. Embedded journalism refers to news reporters being attached to military units involved in armed conflicts. (http://en.wikipedia.org/wiki/Embedded_journalism) Maknanya adalah kegiatan jurnalisme dengan mengikuti pihak militer atau kepolisian ketika meliput suatu perang atau kerusuhan.

Dengan mengikuti pihak militer, jurnalis dibawa ke medan pertempuran yang sebenarnya. Khalayak dibawa kepada suatu realitas di dalam kamera ataupun dalam suatu tulisan yang menggambarkan keadaan tersebut. Kelemahan jurnalisme ini adalah adanya keterbatasan informasi, sebab dalam kondisi darurat seperti perang misalnya, pihak yang berhak memberikan informasi untuk diberitakan kepada public adalah pihak militer sendiri. Asumsinya adalah pihak militer bukan pihak yang bebas kepentingan, mereka mempunyai kepentingan termasuk berkaitan dengan pemberitaan pers.

Ruperth Murdoch
Keith Rupert Murdoch (lahir pada 11 Maret 1931 di Melbourne) adalah pemilik News Corporation, salah satu perusahaan media terbesar dan paling berpengaruh di dunia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Rupert_Murdoch) Dia memiliki jaringan bisnis media mulai dari buku, majalah, radio, stasiun televisi, televisi kabel, internet, dan sebagainya.
Kepemilikan media yang begitu besar ini sering pula dinamakan dengan konglomerasi media. Konglomerasi media ini dapat saja menimbulkan suatu monopoli atas perusahaan-perusahaan media lainnya. Monopoli di dalam media menimbulkan ketidakseimbangan dalam memberitakan suatu isu, sebab bagaimanapun juga media tidak bebas dari kepentingan. Kepentingan yang dianut pemilik modal inilah yang akan mempengaruhi arah jurnalisme yang dibawa pada suatu media.

Self cencorship
Bila diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi sensor diri. Artinya, pers harus melakukan sensor diri, mempertimbangkan baik buruk terhadap berita yang akan dimunculkan. (Nurudin, 2009:340) Berita yang dimuat dalam suatu media tentu harus menghindari unsur SARA dan hal lain yang bersifat provokatif.

Lebih lanjut, Nurudin juga menuliskan bahwa sensor ini merupakan kebalikan dari sensor yang dilakukan oleh pihak lain, contohnya adalah pemerintah. Di satu sisi, sensor diperlukan untuk membatasi gambar-gambar atau tulisan mana yang layak untuk dimuat di media dan diketahui oleh publik. Tetapi di sisi lain, sensor dalam hal tertentu justru membuat kegiatan jurnalisme menjadi tidak jujur sebab ada suatu realitas yang ditutupi dan tidak ditunjukkan yang sebenarnya kepada masyarakat sebagai khalayak.

Dateline
Nurudin (2009:336) mendefinisikan dateline dengan menunjuk tempat asal berita dan tanggal kejadian, tetapi juga bisa menunjukkan tanggal penerbitan surat kabar. Penulisan dateline pada umumnya terletak di bagian awal, untuk membentuk konsep daerah di mana terdapat informasi yang sedang diberitakan.

Menurut saya, selain untuk memenuhi syarat dasar suatu berita (5W+1H) penulisan dateline juga digunakan sebagai bentuk ‘promosi’ atau pembentukan citra sebuah kota atau tempat yang ditulis. Kota yang berita perekonomian atau berita secara umum baik dan aman mengandung potensi bagi wisatawan untuk berkunjung, atau mengundang para investor untuk memajukan kota tersebut. Di sinilah peran jurnalisme berkaitan dengan tanggungjawab sosial yang diembannya.

Byline
Jurnalisme byline adalah jurnalisme yang menekankan bahwa dalam penulisan berita nama penulisnya harus ditulis lengkap, dan bukan sekadar inisial namanya saja. (Nurudin, 2009:338) Penulisan nama lengkap ini umumnya berada di antara judul dengan paragraf awal artikel yang dibuat oleh orang tersebut.

Jurnalisme byline memiliki empat kelebihan, yaitu pertanggungjawaban, kepercayaan, kompetisi, dan keuntungan institusi. (Nurudin, 2009:211-212) Pertanggungjawaban penulis berita menuntut wartawan untuk berhati-hati dalam mencari data dan mencantumkannya dalam berita. Kepercayaan media kepada wartawan akan muncul, dan wartawan yang diberi kepercayaan tentu akan semakin meningkatkan kualitasnya dalam jurnalisme. Berita yang bagus, akurat, aktual kemudian menjadi tujuan utama para wartawan dan meningkatkan kompetisi di antara mereka sendiri. Kemudian bila ada kesalahan, maka tanggungjawab bisa langsung diserahkan kepada penulis berita, dan ini menjadi keuntungan bagi institusi.

Firewall
Firewall atau tembok-api adalah sebuah sistem atau perangkat yang mengizinkan lalu lintas jaringan yang dianggap aman untuk melaluinya dan mencegah lalu lintas jaringan yang tidak aman. Umumnya, sebuah tembok-api diterapkan dalam sebuah mesin terdedikasi, yang berjalan pada pintu gerbang (gateway) antara jaringan lokal dan jaringan lainnya. (http://id.wikipedia.org/wiki/Firewall)

Sistem ini dibuat atas dasar konvergensi media yang sudah disebutkan di atas, bahwa media-media tradisional mempunyai “versi” dalam internet. Karena data dan informasi yang berada di internet semakin banyak dan tak terhingga, maka firewall dimunculkan untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan terutama oleh korporasi media.

Investigative reporting
Dalam bahasa Indonesia menjadi reportase investigasi. Investigasi adalah upaya penelitian, penyelidikan, pengusutan, pencarian, pemeriksaan, dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk mengetahui/membuktikan kebenaran atau bahkan kesalahan sebuah fakta yang kemudian menyajikan kesimpulan atas rangkaian temuan dan susunan kejadian. (http://www.scribd.com/doc/13087126/Investigasi)

Dengan kata lain, reportase investigasi memberikan pemberitaan yang mendalam kepada khalayak dengan data dan analisis data yang matang. Kita dapat mengatakan bahwa kualitas berita yang baik ditentukan pula oleh kualitas investigasi yang dilakukan oleh jurnalis. Bahkan ada ungkapan bahwa investigasi adalah induk dari jurnalisme. Ciri khas dari reportase investigasi adalah data yang digunakan adalah hasil investigasi dari jurnalis itu sendiri, bukan dari pihak lain.

Indepth reporting
Indepth reporting merupakan suatu laporan mendalam terhadap suatu obyek liputan, biasanya yang menyangkut kepentingan publik, agar publik betul-betul memahami obyek tersebut. (http://www.wikimu.com/News/displaynews.aspx?id=9802) Berbeda dengan reportase investigasi, data-data yang dimuat dalam berita nantinya tidak harus data-data yang dicari oleh jurnalis sendiri. Artinya jurnalis dapat dengan terbuka mencari data-data yang dibutuhkan dari pihak luar.

Arah jurnalisme dari indepth reporting ini adalah untuk menjelaskan secara sejelas-jelasnya kepada khalayak. Untuk itu maka dibutuhkan data dari luar, data yang tidak memungkinkan untuk dicari oleh jurnalis seorang diri. Berbeda dengan reportase investigasi yang berangkat dari asumsi ada permasalahan di balik suatu fenomena atau bahkan hal-hal biasa.

Skeptical
Wartawan yang cerdas adalah orang yang selalu diliputi keragu-raguan. Ia tidak boleh menerima apa adanya. (Nurudin, 2009:139) Keraguan-keraguan inilah yang perlu dimiliki oleh setiap jurnalis. Bahkan pernah dikatakan pula oleh seorang ahli bahwa jurnalis harus mencari apa yang tidak dikatakan oleh narasumber. Cara kerja seperti ini dikaitkan pula dengan cara kerja peneliti atau ilmuwan yang juga harus selalu menjadi skeptis.

Permasalahan yang menghinggapi media massa di Indonesia dewasa ini adalah berkurangnya sikap skeptis yang dimiliki oleh jurnalis di dalamnya. Penyebabnya mungkin ada beberapa macam, termasuk regulasi pers yang menaungi media massa di Indonesia. Menghilangnya sikap skeptis berakibat pada isi berita yang monoton dan hanya menyentuh kulit permasalahan saja.

Journalistic truth
Kebenaran bersifat relatif dan multiinterpretatif, tetapi kebenaran tetap penting untuk diwujudkan. (Nurudin, 2009:126) Dapat dibayangkan bahwa kebenaran adalah “satu cermin banyak gambar”, di mana masing-masing akan memiliki kebenaran. Jurnalis perlu memiliki kesadaran akan kenyataan yang terlihat di depannya.

Kenyataan atau kebenaran menjadi suatu yang substansial ketika dihadapkan pada pemberitaan dalam artikel berita. Sejumlah wartawan yang meliput kejadian yang sama pada lokasi dan waktu yang sama pula bisa jadi menuliskan hal-hal yang berbeda. Kebenaran yang ditemukan di media merupakan kebenaran dari perspektif jurnalis itu sendiri, dan seringkali dianggap sebagai kebenaran yang mutlak.

Nose for news
Berdasarkan data yang ditemukan dalam www.nose-for-news.com, saya mengidentifikasi bahwa nose for news adalah suatu kurikulum tentang jurnalisme yang dibuat oleh yayasan atau organisasi bisnis. Kurikulum yang telah dirancang ini dijual kepada institusi-institusi sekolah, untuk diterapkan kepada murid-muridnya.

Saya menganalisis bahwa munculnya perusahaan yang membentuk kurikulum seperti ini adalah suatu bentuk aksi atas kesadaran yang dimiliki bahwa jurnalisme dan dunia tulis menulis kelak menjadi keterampilan yang dibutuhkan oleh setiap kaum intelektual di masa depan. Mungkin ini berkaitan dengan ungkapan bahwa ilmu tidak akan hilang ketika ditulis (didokumentasikan). Selain itu juga kemungkinan dibuat kurikulum sebagai tanggapan atas dunia jurnalisme yang kini semakin diinterupsi oleh kepentingan-kepentingan bisnis hingga meninggalkan esensi dari jurnalisme itu sendiri.

Objectivity
Objektivitas merupakan sebuah standar penyajian berita yang faktual dan berimbang. (http://www.bibsonomy.org/bibtex/2d592aea3e6d4fdf34d08b8264badbc60/dvanhlast). Faktual merujuk pada fakta, sesuatu yang ada dan benar terjadi. Sedangkan berimbang merujuk pada kenetralan, atau ketidakberpihakan media pada suatu isu.

Meski media selalu bergerak menuju objektivitas, tetapi pada kenyataannya media tidak mampu lepas dari subjektivitas yang dimiliki media. Secara umum media memiliki suatu ideologi atau kepentingan-kepentingan dalam menjalankan misinya, sehingga objektivitas tidak mungkin dapat dicapai dengan sepenuhnya.

Off the record
Menurut Nurudin (2009:339) off the record adalah istilah dalam dunia wartawan yang melarang wartawan menulis data yang disebutkan narasumber. Dengan kata lain, permintaan sumber berita untuk tidak menyiarkan keterangan yang diberikan.

Istilah ini berkaitan dengan etika yang harus dimiliki wartawan ketika mereka melakukan wawancara dan kemudian menuangkan hasil wawancaranya tersebut di dalam suatu produk jurnalistik. Permintaan narasumber untuk tidak memasukkan sebagian pendapatnya dalam berita harus dipenuhi oleh wartawan, hal ini sekali lagi berkaitan dengan etika yang dimiliki seorang jurnalis.

Sumber berita
Berdasarkan literatur di internet, sumber berita setidaknya meliputi dua hal: manusia dan peristiwa. Manusia dengan aktivitasnya yang menjadi fenomena merupakan sumber berita. Terdapat guyonan macam ini: petani pergi naik sepeda adalah bukan berita, tetapi Sri Sultan HB X pergi ke Malioboro naik sepeda, ini adalah berita. Jadi sumber berita berkaitan pula dengan pangkat, jabatan, atau tingkat kepopuleran seseorang. Sedangkan peristiwa yang terjadi yang menjadi sumber berita adalah berbagai macam bencana alam, kerusuhan, hingga peristiwa kecil saja.

Perlu dibedakan antara sumber berita dengan narasumber. Menurut saya narasumber adalah orang atau badan (instansi) tempat jurnalis mampu mendapatkan data. Narasumber menjadi tempat jurnalis melakukan investigasi ataupun peliputan biasa.

*Beberapa istilah saja, hanya yang dijadikan pertanyaan tugas oleh dosen.

Sumber:
Nurudin.2009.Jurnalisme Masa Kini.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain