Dengan jilbab hitam dan terusan biru, “wanita” itu berbicara mengenai banyak hal. Dua AC model lawas di bagian atas ruangan seakan mengawasi beberapa orang akademisi di sekelilingnya yang mencoba menganalisis fenomena sosial yang diceritakan langsung oleh pelaku fenomena tersebut. Dialah Mami Vinolia: Direktur LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta).
______________________________________________________________________
“Saya pernah dipukul pakai kayu sampai pingsan, biar saya jadi laki-laki beneran. Tapi ya tetep aja kayak gini, nggak bisa dipaksakan..” salah satu cerita yang diungkapkan Mami dalam salah satu diskusi di kampus Magister Administrasi Publik UGM hari Rabu (15/12) ini.
Kata-kata yang diluncurkan dengan lembut ini sering memunculkan ekspresi senyum simpatik dan kekaguman, namun tidak jarang menimbulkan senyum tertahan yang tidak bisa ditebak apa ekspresi yang sebenarnya.
Terus terang, saya belum bisa sepenuhnya menerima keadaan mereka. Pemikiran saya seringkali masih mengutub: yen lanang ya lanang, ora usah medoki ! (kira-kira artinya: kalau anda laki-laki berperilakulah seperti laki-laki, jangan berperilaku seperti perempuan)
Namun dari beberapa diskusi di kampus (Ilmu Komunikasi FISIP UAJY) saya mulai sedikit demi sedikit memahami teman-teman waria – meski sekali lagi, saya belum bisa sepenuhnya menerima keadaan mereka.
Setidaknya mereka adalah juga manusia. Saya, anda, dan mereka sama-sama tumbuh dari rahim wanita dan keluar dalam keadaan telanjang, sejauh ini kita tidak berbeda. Perbedaan muncul dalam proses pencarian jati diri mereka.
Pencarian jati diri bukan hal yang mudah. Jangankan jati diri dalam seorang waria, dalam seorang remaja yang ‘normal’ saja sering terbentur hambatan. Seperti yang diungkapkan Mami, ”Biasanya teman-teman waria mengalami tiga macam konflik. Konflik dengan diri sendiri, konflik dengan keluarga, dan konflik dengan ‘pacar’nya…”
Konflik dengan diri sendiri pasti bisa dibayangkan, begitu juga konflik dengan keluarga. Namun, konflik dengan ‘pacar’? Saya tidak mampu membayangkan, dan agaknya tidak perlu dituliskan bagaimana mereka berkonflik dan bagaimana penyelesaiannya.
Konflik dan stigma negatif yang diberikan masyarakat ini menjadi keprihatinan bagi teman-teman waria. LSM Kebaya adalah salah satu wujud dari keprihatinan tersebut. Apakah dengan ini kemudian permasalahan selesai? Tunggu dulu..
Pertanyaan seorang dari peserta diskusi menggerakkan arah pembicaraan ke ranah yang lebih menarik, yaitu batasan seorang dikatakan waria atau bukan. Sambil bergurau Mami menjawab, “Kalau teman-teman melihat seseorang berdandan persis waria tapi kalau jalan keliatan gagah kayak tentara, berarti itu bukan waria beneran..” Peserta lain tertawa mendengar jawaban sederhana itu, namun sebenarnya kita tahu bahwa sebenarnya tidak sesederhana itu batasannya.
Fenomena yang terjadi adalah adanya waria palsu. Mereka bukan waria tapi menggunakan dandanan dan berperilaku seperti waria hanya untuk mencari penghasilan, biasanya mereka mengamen di jalan. (lihat di beberapa lampu merah di Yogyakarta) Kehidupan mereka di balik panggung sebenarnya tidak demikian. Nah, oknum seperti itulah yang juga menjadi permasalahan di antara teman-teman waria sendiri.
Dari sisi organisasi, gerak mereka juga dibatasi oleh organisasi-organisasi masyarakat berbasis agama yang menentang adanya “gender ke tiga” tersebut. Beberapa kali rapat mereka dibubarkan secara paksa, yang hebatnya, tidak membuat teman-teman waria ini merasa jera untuk beraktivitas.
Memang perlu diakui, pada umumnya waria memiliki sisi kelam, khususnya dalam aktivitas seksual. Namun tidak sedikit pula yang merasa ingin keluar dari jalanan dan memiliki kehidupan yang lebih terhormat, tentu bersama ‘pacar’ mereka.
Bisakah? Adakah ruang di tubuh masyarakat untuk menerima mereka tinggal di wilayahnya? Adakah kesempatan dan peluang kerja sektor formal yang bisa mereka raih?
Atau jangan-jangan.. komunitas waria ini hanya digunakan oleh partai-partai politik tertentu ketika kampanye? Partai ini hanya melakukan strategi politik: mereka menghargai dan mewakili setiap lapisan masyarakat, termasuk kaum waria ini. Begitu?
Atau simbol waria ini hanya digunakan sebagai lucu-lucuan belaka dalam industri hiburan dan iklan? Mungkin masih banyak 'pemanfaatan' identitas mereka ini oleh industri media untuk mengeruk keuntungan..
Yah.. Sekali lagi saya memang belum bisa menerima sepenuhnya keberadaan mereka. Namun kaca mata kedamaian dan keterbukaan tidak serta merta dibuang begitu saja. Satu hal yang saya kagumi dari teman-teman kita ini: kekuatan dan keberanian mereka untuk mengidentifikasi diri dan menjalin kehidupan di dalamnya.
No comments:
Post a Comment