28 January 2011

The Last Samurai

Tidak berlebihan rasanya bila saya menuliskan bahwa film ini adalah satu dari beberapa film terbaik yang pernah saya tonton. Memang rasanya terlalu terlambat untuk menontonnya sebab kalau film ini sudah dirilis sejak tahun 2003. Namun jangka waktu beberapa tahun ini saya rasa tidak mengurangi kualitas cerita film -karena memang tidak ada relevansinya.

Saya yakin bahwa setiap orang yang pernah menonton The Last Samurai akan menangkap tema besar film ini, sebut saja budaya tradisional versus budaya modern. Tentu kita tidak akan berhenti di tema tadi, apalagi kemudian hanya berhenti pada pemenang atas ‘pertarungan’ tersebut.

Harga Diri

Saya menyebutnya harga diri, bukan gengsi. ‘Harga diri’ di tulisan ini dikaitkan dengan frasa ‘bangsa Jepang’ sehingga menjadi ‘harga diri bangsa Jepang’ (lihat betapa janggalnya kalau kita menyebut ‘gengsi bangsa Jepang’, meski mungkin memang gengsi. hehe..). Nah, harga diri bangsa Jepang yang saya maksud direpresentasikan oleh tradisi harakiri.

Sejauh yang saya tahu, harakiri merupakan tradisi  yang terhormat bagi bangsa Jepang. Harakiri menyimbolkan penghormatan dan kesetiaan kepada Kaisar - yang dipercaya sebagai titisan dewa. Biasanya harakiri tidak dilakukan sendiri, ada orang lain yang membantunya untuk melakukan tradisi ini. Setelah seseorang menusukkan pedang ke perutnya sendiri dan kemudian merobeknya secara lateral, ada seorang lain yang bertugas untuk memenggal kepala dari sang pelaku harakiri.

24 January 2011

The Curious Case of Benjamin Button

“Dulu waktu saya masih tua, pak..” adalah cuplikan kalimat gurauan saya dan seorang teman sekamar ketika di asrama. Dan suatu sore tiba-tiba dia berteriak, “Njay! Ide kita dicuri orang! Ternyata omongan kita udah dibikin film..” Tentu saja dia hanya bergurau, ide kami tidak mungkin dicuri si pembuat film, dan kami juga tidak tahu ada film dengan cerita itu. Dan inilah film yang dia maksud: The Curious Case of Benjamin Button.

Resensi tentang cerita film ini sudah banyak ditulis di dunia maya, saya tidak akan banyak menuliskan jalan ceritanya. Latar belakang cerita film ini adalah akhir Perang Dunia I, ketika negara kelahiran Button berada dalam euforia kemenangan perang. Secara sangat singkat, Benjamin Button terlahir tua dan mati sebagai anak kecil (baca: bayi).

19 January 2011

19 Januari 2011

Rabu (19/1) saya iseng jalan-jalan ke daerah nol kilometer menemani Yulia Meirani Indah Arditia. Saya bukan street-photographer, tapi kebetulan waktu itu saya membawa kamera D3000 yang sering dihujat karena kualitasnya. Berikut gambar-gambarnya:



Penjual tahu yang entah berjualan dari jam berapa, berapa keuntungannya, bagaimana kualitas tahu, siapa anak yang di sampingnya, dsb.



Tulisan di papan hijau memang salah kaprah. Teman saya yang pedagang ini tidak butuh terima kasih. Hehe..




Daun-daun yang berserakan di depan ‘gedung putih’. Susah mana, membersihkan daun atau membersihkan pedagang?





Mbah2 yang dibantu menyebrang oleh Yulia, hatinya tergerak ketika mbah2 ini mengalami kesulitan. Kami sempat sejenak mengikuti langkah mbah ini, sebab dia seperti berjalan tanpa arah (kami menduga dia tidak punya rumah atau lupa di mana rumah). Ternyata dia berhenti depan gedung bank BNI dan duduk menunggui gelas di depannya. [silahkan diinterpretasikan sendiri] Kami langsung meninggalkannya sebelum hati kami tertambat.




Kalau tidak salah ini tunawisma yang sedang menempelkan sesuatu (entah handphone, entah radio) di telinganya.




Ini tempat sampah yang tanpa dasar atau tempat sampahnya memang di bawah?

18 January 2011

"Aha! moment"


(tulisan ini tidak berkaitan dengan  kegiatan promosi atau iklan suatu produk)

Beberapa bulan lalu saya sekilas mendengarkan salah satu radio swasta di kota Yogyakarta. Saya tertarik untuk mendengarkan sebab radio tersebut sedang mengadakan kuis, kuis yang sederhana namun membuat saya bertanya.

Pertanyaan (baca: perintah) dari kuis itu: “tuliskan ‘aha!’ moment dalam hidupmu, kirim SMS ke…bla..bla..bla…”

06 January 2011

Rasa Cabai tak Sepedas Harganya



Sebenarnya saya enggan menulis masalah cabai ini, karena -terus terang- saya malu. Tak perlu saya tulis alasan mengapa saya malu, tak perlu juga saya tuliskan umpatan dan kritikan yang tak jelas arahnya. Hanya sekelumit cerita yang cukup aneh untuk dituliskan dalam blog ini (bahkan terlalu aneh untuk dialami dan dipikirkan) yang dapat saya sumbangkan kepada entah siapa.

Eh, dikeke ngarepku wae, sangang puluh ewu e..” suruh seorang ibu pemilik warung makan kepada pegawainya pada suatu siang (6/1). 

05 January 2011

Kirab Budaya: Yogyakarta Kota Republik

Kayane pawaine isih adoh, tak maca koran sik wae karo ngenteni..” pikir seorang warga Yogyakarta pada sore itu.


Kemudian mulai terdengar suara gaduh di ujung jalan. Beribu pasang mata mulai berbinar ke arah itu, mencari sumber suara yang mereka nanti-nantikan. Suara yang berasal dari keprihatinan terhadap tindak penguasa yang tidak sensitif terhadap budaya Jawa yang diagung-agungkan di tempat ini.

Bapak tadi mulai menutup korannya dan berdiri menyambut serombongan orang dari berbagai komunitas. Jalan Malioboro sore itu menjadi milik mereka yang berpartisipasi dalam: "Kirab Budaya: Yogyakarta Kota Republik"

Bukan sekadar  festival, kegiatan ini merupakan bentuk aksi politik masyarakat Yogyakarta yang prihatin oleh tingkah penguasa. Dengan pahamnya sendiri si penguasa ingin mengubah tatanan pemerintahan Yogyakarta yang secara tidak langsung mengubah budaya dan seakan mengabaikan sejarah.

Aksi yang berlangsung hari Selasa (4/1) ini didukung sepenuhnya oleh langit. Kurang lebih setengah jam setelah acara di mulai langit di atas rela mengirimkan berjuta titik air untuk menemani perjalanan mereka menuju Kraton Ngayogyakarta.

Tak berselang lama, air turun lebih banyak lagi untuk menemani mereka. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan semangat mereka, tidak pula gambar di bawah ini. Namun ini adalah realitas, mereka menginginkan satu hal: Jogja tetap istimewa..





03 January 2011

njejak lemah

Hanya sebagai catatan singkat:

Sebagai seorang pemuda yang perlu banyak belajar, saya belajar sedikit mengenai kapitalisme bukan dalam rangka menentang kapitalisme atau justru menjadi kapitalis-kapitalis baru.

Sejauh ini, belajar kapitalisme membuat saya untuk selalu berusaha menjejak tanah ketika menginginkan (membutuhkan), memilih, dan membelinya di dalam toko.

Stop di sini, sebelum saya mengumbar kata-kata yang saya sendiri tidak mengerti maksudnya.

Baca Tulisan Lain