Skip to main content

The Curious Case of Benjamin Button

“Dulu waktu saya masih tua, pak..” adalah cuplikan kalimat gurauan saya dan seorang teman sekamar ketika di asrama. Dan suatu sore tiba-tiba dia berteriak, “Njay! Ide kita dicuri orang! Ternyata omongan kita udah dibikin film..” Tentu saja dia hanya bergurau, ide kami tidak mungkin dicuri si pembuat film, dan kami juga tidak tahu ada film dengan cerita itu. Dan inilah film yang dia maksud: The Curious Case of Benjamin Button.

Resensi tentang cerita film ini sudah banyak ditulis di dunia maya, saya tidak akan banyak menuliskan jalan ceritanya. Latar belakang cerita film ini adalah akhir Perang Dunia I, ketika negara kelahiran Button berada dalam euforia kemenangan perang. Secara sangat singkat, Benjamin Button terlahir tua dan mati sebagai anak kecil (baca: bayi).


Beberapa resensi yang saya baca mengkritik alur cerita yang lambat dan tidak menemui klimaks. Saya sependapat dengan kritik tersebut, namun justru karena itu saya sering berpikir dan mengingat-ingat akhir cerita film ini. Artinya, belum tentu alur yang lambat merupakan kelemahan dalam sebuah film.

Diawali dengan cerita sang pembuat jam yang membuat jam dengan arah jarum jam yang terbalik, film ini mencoba berbicara tentang waktu, keterbalikan, dan -tentu saja- cinta. Imajinasi cerita yang sederhana namun hebat sangat didukung oleh keahlian para penata rias.

Perjalanan panjang Benjamin Button dan pertemuannya dengan orang banyak menjadi sesuatu yang menggerakkan cerita. Mulai dari seorang kerdil (afro) yang mempunyai obsesi tersendiri dalam hidupnya, berkelana ke banyak tempat. Juga bertemu dengan orang tua yang mulai pikun dan sangat sering menceritakan bahwa dirinya pernah tersambar petir sebanyak 7 kali.

Juga bertemu dengan kapten kapal tempat Benjamin sempat bekerja, Mike, yang menyebut dirinya sebagai seniman tato (itu adalah obsesinya). Pria inilah yang memperkenalkan Benjamin untuk pertama kalinya kepada aktivitas seksual –yang kelihatannya juga sangat disukai Benjamin.

Hingga ketika Benjamin bertemu dengan Elizabeth Abbot, seorang istri mata-mata. Mereka menjalin hubungan, dengan kata lain Benjamin menjadi selingkuhan wanita tersebut. Namun cerita tentang mereka tidak lama, suatu hari Elizabeth menghilang dan hanya meninggalkan secarik kertas. Cerita tentang Elizabeth muncul lagi di scene berikutnya ketika dia berhasil menyeberangi sebuah selat (saya lupa selat apa) pada usia yang telah cukup tua, itu adalah obsesinya sejak muda.

Tidak lupa kisah cinta dengan Daisy yang tidak kunjung jelas. Daisy adalah seorang penari balet dengan kemampuan luar biasa (itu obsesinya). Adegan yang paling berkesan menurut saya adalah ketika Benjamin mati (kondisi: bayi) di pangkuan Daisy yang juga sudah tua. Mereka pernah mengalami masa muda yang sama, hanya saja Daisy bertambah tua sedangkan Benjamin bertambah muda.

Perjalanan Benjamin yang penuh dengan cinta dan yang mengantarnya bertemu dengan orang-orang tadi adalah sesuatu yang membuat film ini kaya. Pesan moral yang saya tangkap adalah agar penonton tetap memiliki obsesi dalam hidupnya, dan jangan berhenti karena siapa tahu obsesi ini sudah sangat dekat untuk kita raih. Selain itu juga, yang menjadi nyawa cerita ini menurut saya adalah pengertian tentang waktu.

Menurut saya film ini layak untuk dinikmati.  Selamat menonton.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.