21 October 2016

Dari Muke Martabak sampai Otak Penyesat: Bagaimana Rasanya Dibenci, Pak Fadli?

via Tempo.co

Kamis (20/10) pukul 23:45 akun Facebook Tempo Media membagikan berita dari redaksi mereka berjudul “Dua Tahun Jokowi-JK, Fadli Zon Beri Nilai 6, Ini Alasannya” 

Sebagai rakyat, kita tentu tahu Fadli Zon adalah salah seorang wakil rakyat dari fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Lebih dari itu, dia menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kendati pintar, kaya, dan punya jabatan mentereng, kita juga tahu tidak semua orang menaruh hormat pada sosok satu ini. Bahkan aroma kebencian kental terasa dari dunia maya melalui kritikan yang lebih mirip hujatan. Saya tertarik untuk meringkas (=memilih) pernyataan-pernyataan hakim Tuhan warga digital tersebut.

Suhermono Sunyoto | Fadli Zonk Menggonggong Jkw. Jalan terussss,anggap sj FZ itu ANJING. GILA,sebaik. Apapun yg bpk JKW buat pasti jelek dimata setan Fadli Zonk ini,ente punya kerja apa MINUS 100.

Hujatan: anjing, gila, setan

M Syarief Pohan | Si zonk pula yg ditanya manusia jelmaan iblis, pasti semua jelek katanya, dasar tempo udah jadi media abal2 sekarang.

Hujatan: jelmaan iblis, media abal-abal (kepada Tempo.co)

Joko Pangaribuan Pangaribuan | Dasar Penyesat! Bukankah para nabi Allah sudah menubuatkan bahwa hidup yg akan datang akan semakin susah? Apa masalahnya sama Jokowi bila masyarakat saat ini semakin susah? Bukankah yg menjadi masalah itu; "Dalam kesusahan saat ini kamu menyesatkan rakyat Indonesia agar tidak percaya lagi sama Pemimpin dan dengan demikian tidak percaya lagi sama Tuhan, bukan?" seolah-olah kamu berkuasa untuk memulihkan kesusahan ini, bukan? Dasar otak Penyesat!

Hujatan: Otak Penyesat

Zirro Chico | Suka suka kau lah muke martabak, aku kalau lihat nih muke ingat martabak terang bulan, pengen di iris dikunyah tapi di makannya bikin eneg dan giyung.

Hujatan: muke martabak

Edi Ang Loe | kasi nol besar sekalian aja setan, org juga kagak demen ama loe bacot septi tank, menjijikkan

Hujatan: setan, bacot septi(c) tank

Charlie Susanto | 99.9% komen di sini, pada nga suka sama ente zonk! Wkwkwk...Rakyat sudah pada pandai skrg & bs menilai koq kinerjanya Presiden qta skrg dibanding kerja kalian DPR useless...

Hujatan: hmm.. enggak ada ya kayaknya? Tapi ini menarik bagi saya karena beliau jadi lembaga survei, atau peneliti analisis isi komentar :p

Muliady Ahai | Kan cara pikirnya sistem OTAK DENGKUL....Ngomongnya juga make mulut ONTA.....Modalnya kagak ada jadi begini klu ngomong...

Hujatan: otak dengkul, mulut onta

STOP! 

Cukup sampai di sini saya meringkaskan, karena semakin lama komentar hujatannya semakin banyak. hahahaha.. tidak perlu dicarilah ya, mudah kok untuk menemukan kata-kata kotor di dunia maya.

Secara umum, saya lihat ada banyak warga digital yang ingin Fadli Zon ini berkaca dan membandingkan kinerja Jokowi dengan kinerjanya dirinya sendiri dan institusi yang dia pikul. Semacam ada logika “hanya koki yang boleh bilang sebuah masakan itu tidak enak.” Tapi Jokowi dan Fadli Zon sama-sama digaji pakai uang rakyat sih, jadi mungkin warga digital merasa tepat untuk membandingkan beliau berdua.

Sebenarnya, tidak hanya Fadli Zon saja yang menilai rapor 2 Tahun Pemerintahan Jokowi ini buruk. Haris Azhar, misalnya, menilai bahwa penegakan HAM selama 2 tahun inimencapai angka “nol besar” karena tidak ada kasus yang selesai. Dia menilai, angka pelanggaran HAM di dua tahun pemerintahan Jokowi ini justru meningkat. Koordinator KONTRAS ini pun tak luput dari kritikan penuh kebencian dari warga digital. 

Divisi Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar juga memberi poin 6 kepada pemerintahan Jokowi dalam hal keseriusan pemberantasankorupsi. Pihaknya menyoroti kasus korupsi di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang sebannyak 755 perkara (82 persen) tidak lagi tersentuh. 

Namun kita boleh menghela napas sejenak, karena setidaknya ada dua lembaga survei yang menelurkan hasil riset yang sedikit berbeda. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menilai tahun kedua ini ada kenaikan kepuasan rakyat atas pemerintahan Jokowi – JK. Sebanyak 41 persen responden mengaku puas pada tahun pertama, sedangkan pada tahun kedua kepuasan itu melonjak hingga 67 persen.

Hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga menunjukkan adanya kenaikan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi - JK. Responden yang puas pada tahun pertama 50,6 persen, menjadi 66,5 persen pada tahun kedua. Lebih rinci, tingkat kepuasan tersebut ditilik dari empat indikator: ekonomi, hukum, politik, dan maritim.

Lantas.. kita hendak percaya yang mana? Bagi saya sih kebenaran memang kepunyaan (versi) masing-masing yang mengutarakan. Haris Azhar, saya yakin dia punya data pelanggaran HAM yang bisa menguatkan pendapatnya yang soal “nol besar” itu. Begitu juga dengan ICW, yang fokus pada persoalan-persoalan korupsi. Mereka bicara sesuai kapasitasnya sebagai aktivis LSM yang fokus pada satu sektor persoalan pelik bangsa ini.

Sedangkan SMRC dan CSIS memang melakukan survei atas ribuan responden untuk mengeluarkan pernyataan positif tersebut. Tentu saja mereka mempertaruhkan nama besarnya kalau sampai merilis hasil dari proses riset yang tidak valid atau penuh manipulasi. Tentu saja, kita tidak benar-benar tahu bagaimana mereka melakukan riset, apakah ada manipulasi, dan siapa yang mendanai riset tersebut.

Lantas, Fadli Zon? Terus terang, saya sungguh tidak tahu. Saya hanya bisa menduga beliau juga punya data, entah dari stafnya atau dari mana. Kalau beliau sampai tidak punya data tapi bicaranya ngawur dan asal kritik begitu, ya pantas saja kalau rakyat yang diwakilinya mencak-mencak. Selain itu, rakyat tampaknya sudah punya kebencian terlebih dahulu dengan Fadli Zon ini karena kasus yang telah lalu.

Nah.. tapi.. perlukah mengkritik Fadli Zon dengan penuh kebencian dan pakai kata-kata begitu? 

Lebih tepatnya: apakah kata-kata kotor dan rasa benci itu akan membuat Fadli Zon berubah jadi baik (versi mereka), Jokowi - JK sukses mengangkat Indonesia, dan rakyat tak lagi menderita? Tentu saja tidak. Namun setidaknya saya merefleksikan sesuatu: kata-kata kotor dari rasa benci itu akan lebih mudah keluar tatkala seseorang jadi anonim. Silakan didebat, karena tentu anda punya kebenaran juga.


masa penantian,
Jogja 2016

18 October 2016

Realitas Masyarakat Religius: Saat Ini

via funnyjunk.com

“Saat Ini” adalah keterangan waktu yang perlu saya garis bawahi. Kendati kita tak bisa dengan jelas membatasi keterangan tersebut, ijinkan saya memberi batasan: saat ini adalah beberapa tahun belakangan—sejauh saya punya energi untuk mencarinya di media-media online. Tetap tidak jelas bukan? Semoga tetap tidak jelas, supaya Anda sendiri bisa menambahi data yang saya kumpulkan.

Selama ini tulisan-tulisan saya tentang agama adalah mengenai refleksi saya atas ajaran-ajaran agama yang pernah saya tahu. Kali ini berbeda, saya menulis tentang bagaimana belakangan ini media sedang menampilkan wajah spiritual di masyarakat Indonesia. Sayangnya, wajah itu kusam dan bermuka dua: penuh kepentingan lain—terutama soal uang dan kekuasaan.

Saya mengawalinya dari cerita-cerita yang dibangun oleh seorang tokoh pemimpin spiritual yang memiliki pengikut yang tidak hanya berjumlah besar, tetapi juga loyal. Baiknya kita mulai dari:

Eyang Subur || Nama pria kelahiran Jombang, 12 Desember 1946 ini sempat melejit lantaran pemberitaan terus menerus oleh media. Dia dikenal sebagai “guru spiritual” bagi beberapa artis (Adi Bing Slamet, Nurbuat, Rohana, Unang, Tessy, dan banyak lainnya) supaya rejeki mereka dilancarkan. Nah, nama pria satu ini mulai ramai di infotainment tatkala Adi Bing Slamet bercuap-cuap di media, mengatakan bahwa Eyang Subur menyebarkan ajaran sesat. Bumbu-bumbu drama ditabur sana sini, termasuk Arya Wiguna yang sempat kondang dengan “Demi Tuhan”nya. Pada intinya, Eyang Subur populer di media karena dituduh melakukan penistaan agama.

Setahu saya, cerita Eyang Subur ini salah satunya menarik karena dia memiliki banyak istri; dan itu melanggar aturan agama. Seberapa banyak? Tidak tahu pastinya, tetapi berdasarkan laporan Tempo.co pada tahun 2013 Eyang Subur masih mencari istri yang kesembilan. Bagaimana dia bisa beristri banyak dengan kondisi fisik yang tak lagi muda? Tak sedikit yang menduga, harta adalah jawabnya. Liputan6.com melaporkan salah satu kekayaan Eyang Subur tampak dari rumah mewah yang kalau ditaksir harganya bisa mencapai 20 miliar rupiah. Pertanyaannya, dari mana Eyang Subur mendapatkan harga sebanyak itu? Tidak ada yang tahu persis, bahkan keluarganya sendiri pun  mengaku tidak tahu. 

Gatot Brajamusti || Dari Eyang Subur, saya ajak Anda melompat ke tahun 2016. Satu hal yang bikin saya agak terkejut adalah nama lengkap dari pria ini, yaitu Fransiskus Paulus Gatot Brajamusti. Saya tidak asing dengan kata Fransiskus dan Paulus, yang kerap kali disebut dalam perayaan ekaristi di Gereja Katolik setiap harinya. Pria kelahiran tahun 1962 ini bukan akhir-akhir ini saja terkenal. Tahun 2005 namanya diperbincangkan infotainment setelah penyanyi Reza Artamevia tiba-tiba hilang dan ditemukan sedang mondok di Padepokan Brajamusti milik Gatot di Sukabumi, Jawa Barat. Kalau ditelusuri, rupanya Gatot adalah Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan juga seorang penyanyi. Setidaknya dia menyanyi lagu "Subhanallah" dan "Lailatul Qodar" yang video klipnya diunggah di Youtube.

Mengapa jelang akhir tahun 2016 ini nama Gatot kembali disebut-sebut? Gatot ditangkap oleh polisi ketika dia menggunakan sabu-sabu di Mataram. Rumah Gatot pun digeledah, dan polisi tidak hanya menemukan barang-barang terkait narkoba, tetapi juga senjata api ilegal. Cerita berkembang menjadi tak hanya soal sabu-sabu dan senjata api, tetapi juga apa yang terjadi di Padepokan Brajamusti. Gatot mengaku ada ritual seks menyimpang bersama para pengikutnya di padepokan, sementara ada juga pengikut yang memolisikan Gatot karena kasus perkosaan.

Padepokan Brajamusti dikabarkan tak pernah sepi lantaran pengikutnya yang selalu berdatangan; termasuk dari kalangan artis. Mereka "diikat" dengan dibuat ketagihan dengan kristal yang diberi nama Aspat; yang sebenarnya adalah sabu. Kristal tersebut dibalut dengan cerita bahwa itu adalah makanan jin yang dikendalikan oleh kemampuan spiritual Gatot. Bahkan, Tempo.co melaporkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa dia adalah Malaikat Izrail, titisan Nabi Sulaiman, dan bahkan Tuhan itu sendiri.

Dimas Kanjeng Taat Pribadi || Nama asli pria berbadan agak subur ini adalah Taat Pribadi. Namun sekitar tahun 2000 salah seorang gurunya memberi tambahan nama "Dimas Kanjeng" yang lalu ditaruh di depan nama asli. Dari sumber yang sama, muncul kabar bahwa dia adalah anak pensiunan seorang polisi yang pernah menjabat sebagai Kapolsek. Taat Pribadi ditangkap September 2016 dengan melibatkan 1.000 personel kepolisian atas tuduhan membunuh dua mantan pengikutnya: Ismail Hidayah dan Abdul Ghani.

Seribu personel untuk menangkap seorang Taat Pribadi? Ya. Tentu saja polisi punya alasan mengapa perlu melibatkan anggota sebanyak itu. Jawaban yang saya duga adalah karena Taat Pribadi adalah orang terpandang, memiliki padepokan, dan tentu saja (ini jawabannya) memiliki pengikut yang jumlahnya mencapai 23 ribu orang. Pengikut sebanyak itu diperoleh dengan menggunakan cara yang menyerupai multilevel marketing: seorang pengikut mencari pengikut lain untuk memercayakan uang mereka.

Sejauh yang saya amati di berbagai media, kasus pembunuhan yang (dituduhkan) diotaki oleh Taat Pribadi ini kalah populer dibanding kemampuannya menggandakan uang. Bisa ditebak, ujung dari kemampuan ini adalah laporan penipuan yang menambah panjang daftar kesalahannya. Beberapa orang mencoba menjelaskan cara penipuan Taat Pribadi menggandakan uang, yang videonya viral tersebut. Ngomong-ngomong, kendati videonya dibuat bercandaan, pengikut Taat Pribadi bukanlah orang sembarangan. Sebutlah Marwah Daud Ibrahim, lulusan Doktoral dari Amerika Serikat, yang saat ini berstatus sebagai saksi.

---------------------
BENANG MERAH
---------------------
Dari ringkasan fenomena tersebut saya mencoba menarik beberapa benang merah. Pertama, tentu saja, mereka adalah orang-orang beragama dan mengakui keberadaan Tuhan—bukan atheis-agnostik. Di luar tudingan ajaran sesat yang dilemparkan banyak pihak (termasuk MUI), mereka kebetulan saja beragama Islam. Tidak jarang mereka tampil mengenakan simbol-simbol Islam (atau Arab) yang memang seringkali bikin silau mata orang-orang. Simbol itu terletak pada pakaian hingga perhiasan termasuk penutup kepala mereka yang ala-ala apalah.

Soal pengakuan agama mereka, sudah pasti ada banyak pihak yang merasa tersinggung karena mereka telah dianggap menistakan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, menuding bahwa Eyang Subur telah menyebarkan ajaran sesat. Pada suatu kali, mereka mendesak Eyang Subur untuk bertobat karena tak lancar baca surat Al Fatihah.

Sedangkan Elma Theana, artis yang adalah mantan pengikut Gatot Brajamusti, terang-terangan mengakui bahwa ajaran Gatot itu sesat. Tak begitu jelas apa yang bikin sesat, tetapi dituliskan “melanggar akidah-akidah normal keislaman yang sesungguhnya.”

Begitu juga MUI Probolinggo yang menuding Taat Pribadi menyebarkan ajaran sesat. Salah satunya karena Taat Pribadi mengajarkan tentang “bank gaib” yang akan mendatangkan uang.

Masalahnya mereka menggunakan jubah agama tersebut untuk mengkultuskan diri mereka sendiri. Membuat diri mereka tampak menjadi sosok yang kudus dan dipercaya yang mampu mengarahkan orang-orang kepada pemahaman agama  yang lebih baik. Lebih dari itu, supaya masyarakat tertarik untuk mendapat kekayaan secara instan dan halal.

Agama juga mereka gunakan sebagai tameng atas “markas” kejahatan mereka yang berupa padepokan. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan/ketundukan/keirasionalitasan manusia-manusia (over-)religius di sekitar mereka. Asal sakti, kaya, punya pondok, pakai ayat-ayat suci, sudah pastilah langsung mengkultuskan sosok-sosok itu. Mereka memanfaatkan kematian daya kritis dan kemelorotan daya tahan menghadapi proses dari anggota-anggota masyarakat.

Benang merah kedua, ketiga tokoh tersebut adalah laki-laki. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai “kelas atas” rasa-rasanya kental sekali di sini. Oleh karenanya mereka menjadi pemimpin dan punya sekian banyak pengikut. Tentu ini tidak mutlak ya, kalau benar-benar dibaca, peran perempuan dalam fenomena ini bisa dikatakan seimbang.

Bila kita mengingat kasus penistaan agama sekitar 15 tahun lalu oleh Lia Eden, perempuan tampil juga sebagai pemimpin. Dalam kasus yang menimpa Taat Pribadi, ada juga sosok perempuan cerdas yang menjadi Ketua Yayasan Padepokan yaitu Marwah Daud. Selain ketua yayasan tersebut, dia juga tercatat sebagai pengurus MUI pusat (belakangan kabarnya mengundurkan diri) dan salah satu pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

 Ketiga, kegiatan mereka sama-sama terkait dengan aktivitas seksual. Sejauh pengamatan saya, tokoh paling “soft” dalam urusan seksual adalah Taat Pribadi. Dia hanya dikabarkan memiliki lebih dari satu istri dalam padepokannya. Sedangkan Eyang Subur juga memiliki banyak istri berusia muda, meskipun sudah berusia lanjut. Yang paling parah adalah Gatot Brajamusti karena dikabarkan melakukan ritual seks—termasuk dengan para artis yang menjadikannya guru spiritual.

Dari tiga benang merah itu saja dapat dilihat bahwa agama adalah alasan, modus, sekaligus tujuan dari para penganutnya. Kita boleh saja bilang “agama tidak salah, yang salah adalah penganutnya” untuk membela agama. Namun menurut saya kita juga jangan lupa kalau agama lahir—selalu dalam proses dilahirkan kembali—dalam konteks sosial dan budaya kemasyarakatan. Agama tidak bisa dipisahkan dari kondisi masyarakat. Mereka bukan hanya berhubungan, tetapi saling keterhubungan.

Silahkan menambahkan kalau Anda masih berkenan dan punya waktu. Konteksnya masih realitas yang dibentuk oleh media, ya.

Apa? Soal agama yang ramai disebut-sebut dalam bursa politik DKI? Oh iya. Cukup ah, itu melibatkan pasukan-pasukan garis keras sih. Lagipula saya penganut Katolik (berbeda dengan Kristen Protestan) yang biasa-biasa saja. Nanti kalau diajak berdebat pakai dalil agama juga pasti saya bertekuk lutut. Minoritas sih, tapi paling tidak saya tidak merasa terancam :)


[1] Realitas yang saya maksud di sini adalah realitas yang termediasi dalam konten-konten media; baik media cetak, elektronik, ataupun digital.

Baca Tulisan Lain