via funnyjunk.com |
“Saat Ini” adalah keterangan waktu yang perlu saya garis bawahi. Kendati kita tak bisa dengan jelas membatasi keterangan tersebut, ijinkan saya memberi batasan: saat ini adalah beberapa tahun belakangan—sejauh saya punya energi untuk mencarinya di media-media online. Tetap tidak jelas bukan? Semoga tetap tidak jelas, supaya Anda sendiri bisa menambahi data yang saya kumpulkan.
Selama
ini tulisan-tulisan saya tentang agama adalah mengenai refleksi saya atas
ajaran-ajaran agama yang pernah saya tahu. Kali ini berbeda, saya menulis
tentang bagaimana belakangan ini media sedang menampilkan wajah spiritual di
masyarakat Indonesia. Sayangnya, wajah itu kusam dan bermuka dua: penuh
kepentingan lain—terutama soal uang dan kekuasaan.
Saya
mengawalinya dari cerita-cerita yang dibangun oleh seorang tokoh pemimpin
spiritual yang memiliki pengikut yang tidak hanya berjumlah besar, tetapi juga
loyal. Baiknya kita mulai dari:
Eyang
Subur || Nama
pria kelahiran Jombang, 12 Desember 1946 ini sempat melejit lantaran
pemberitaan terus menerus oleh media. Dia dikenal sebagai “guru spiritual” bagi
beberapa artis (Adi Bing Slamet, Nurbuat, Rohana, Unang, Tessy, dan banyak
lainnya) supaya rejeki mereka dilancarkan. Nah, nama pria satu ini mulai ramai
di infotainment tatkala Adi Bing Slamet bercuap-cuap di media, mengatakan bahwa
Eyang Subur menyebarkan ajaran sesat. Bumbu-bumbu drama ditabur sana sini,
termasuk Arya Wiguna yang sempat kondang dengan “Demi Tuhan”nya. Pada intinya, Eyang
Subur populer di media karena dituduh melakukan penistaan agama.
Setahu
saya, cerita Eyang Subur ini salah satunya menarik karena dia memiliki banyak istri; dan itu melanggar aturan agama. Seberapa banyak? Tidak tahu pastinya, tetapi berdasarkan laporan Tempo.co pada tahun 2013 Eyang Subur masih mencari istri yang kesembilan. Bagaimana dia bisa beristri
banyak dengan kondisi fisik yang tak lagi muda? Tak sedikit yang menduga, harta
adalah jawabnya. Liputan6.com melaporkan salah satu kekayaan Eyang Subur tampak dari rumah mewah yang kalau
ditaksir harganya bisa mencapai 20 miliar rupiah. Pertanyaannya, dari mana
Eyang Subur mendapatkan harga sebanyak itu? Tidak ada yang tahu persis, bahkan
keluarganya sendiri pun mengaku tidak tahu.
Gatot Brajamusti || Dari Eyang Subur, saya ajak Anda melompat ke tahun 2016. Satu hal yang bikin saya agak terkejut adalah nama lengkap dari pria ini, yaitu Fransiskus Paulus Gatot Brajamusti. Saya tidak asing dengan kata Fransiskus dan Paulus, yang kerap kali disebut dalam perayaan ekaristi di Gereja Katolik setiap harinya. Pria kelahiran tahun 1962 ini bukan akhir-akhir ini saja terkenal. Tahun 2005 namanya diperbincangkan infotainment setelah penyanyi Reza Artamevia tiba-tiba hilang dan ditemukan sedang mondok di Padepokan Brajamusti milik Gatot di Sukabumi, Jawa Barat. Kalau ditelusuri, rupanya Gatot adalah Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan juga seorang penyanyi. Setidaknya dia menyanyi lagu "Subhanallah" dan "Lailatul Qodar" yang video klipnya diunggah di Youtube.
Mengapa jelang akhir tahun 2016 ini nama Gatot kembali disebut-sebut? Gatot ditangkap oleh polisi ketika dia menggunakan sabu-sabu di Mataram. Rumah Gatot pun digeledah, dan polisi tidak hanya menemukan barang-barang terkait narkoba, tetapi juga senjata api ilegal. Cerita berkembang menjadi tak hanya soal sabu-sabu dan senjata api, tetapi juga apa yang terjadi di Padepokan Brajamusti. Gatot mengaku ada ritual seks menyimpang bersama para pengikutnya di padepokan, sementara ada juga pengikut yang memolisikan Gatot karena kasus perkosaan.
Padepokan Brajamusti dikabarkan tak pernah sepi lantaran pengikutnya yang selalu berdatangan; termasuk dari kalangan artis. Mereka "diikat" dengan dibuat ketagihan dengan kristal yang diberi nama Aspat; yang sebenarnya adalah sabu. Kristal tersebut dibalut dengan cerita bahwa itu adalah makanan jin yang dikendalikan oleh kemampuan spiritual Gatot. Bahkan, Tempo.co melaporkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa dia adalah Malaikat Izrail, titisan Nabi Sulaiman, dan bahkan Tuhan itu sendiri.
Dimas Kanjeng Taat Pribadi || Nama asli pria berbadan agak subur ini adalah Taat Pribadi. Namun sekitar tahun 2000 salah seorang gurunya memberi tambahan nama "Dimas Kanjeng" yang lalu ditaruh di depan nama asli. Dari sumber yang sama, muncul kabar bahwa dia adalah anak pensiunan seorang polisi yang pernah menjabat sebagai Kapolsek. Taat Pribadi ditangkap September 2016 dengan melibatkan 1.000 personel kepolisian atas tuduhan membunuh dua mantan pengikutnya: Ismail Hidayah dan Abdul Ghani.
Seribu personel untuk menangkap seorang Taat Pribadi? Ya. Tentu saja polisi punya alasan mengapa perlu melibatkan anggota sebanyak itu. Jawaban yang saya duga adalah karena Taat Pribadi adalah orang terpandang, memiliki padepokan, dan tentu saja (ini jawabannya) memiliki pengikut yang jumlahnya mencapai 23 ribu orang. Pengikut sebanyak itu diperoleh dengan menggunakan cara yang menyerupai multilevel marketing: seorang pengikut mencari pengikut lain untuk memercayakan uang mereka.
Sejauh yang saya amati di berbagai media, kasus pembunuhan yang (dituduhkan) diotaki oleh Taat Pribadi ini kalah populer dibanding kemampuannya menggandakan uang. Bisa ditebak, ujung dari kemampuan ini adalah laporan penipuan yang menambah panjang daftar kesalahannya. Beberapa orang mencoba menjelaskan cara penipuan Taat Pribadi menggandakan uang, yang videonya viral tersebut. Ngomong-ngomong, kendati videonya dibuat bercandaan, pengikut Taat Pribadi bukanlah orang sembarangan. Sebutlah Marwah Daud Ibrahim, lulusan Doktoral dari Amerika Serikat, yang saat ini berstatus sebagai saksi.
---------------------
BENANG MERAH
---------------------
Dari
ringkasan fenomena tersebut saya mencoba menarik beberapa benang merah. Pertama, tentu saja, mereka adalah
orang-orang beragama dan mengakui keberadaan Tuhan—bukan atheis-agnostik. Di
luar tudingan ajaran sesat yang dilemparkan banyak pihak (termasuk MUI), mereka
kebetulan saja beragama Islam. Tidak jarang mereka tampil mengenakan
simbol-simbol Islam (atau Arab) yang memang seringkali bikin silau mata
orang-orang. Simbol itu terletak pada pakaian hingga perhiasan termasuk penutup
kepala mereka yang ala-ala apalah.
Soal
pengakuan agama mereka, sudah pasti ada banyak pihak yang merasa tersinggung
karena mereka telah dianggap menistakan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
misalnya, menuding bahwa Eyang Subur telah menyebarkan ajaran sesat. Pada suatu
kali, mereka mendesak Eyang Subur untuk bertobat karena tak lancar baca surat
Al Fatihah.
Sedangkan
Elma Theana, artis yang adalah mantan pengikut Gatot Brajamusti,
terang-terangan mengakui bahwa ajaran Gatot itu sesat. Tak begitu jelas apa yang
bikin sesat, tetapi dituliskan “melanggar akidah-akidah normal keislaman yang
sesungguhnya.”
Begitu
juga MUI Probolinggo yang menuding Taat Pribadi menyebarkan ajaran sesat. Salah
satunya karena Taat Pribadi mengajarkan tentang “bank gaib” yang akan mendatangkan
uang.
Masalahnya
mereka menggunakan jubah agama tersebut untuk mengkultuskan diri mereka
sendiri. Membuat diri mereka tampak menjadi sosok yang kudus dan dipercaya yang
mampu mengarahkan orang-orang kepada pemahaman agama yang lebih baik. Lebih dari itu, supaya
masyarakat tertarik untuk mendapat kekayaan secara instan dan halal.
Agama
juga mereka gunakan sebagai tameng atas “markas” kejahatan mereka yang berupa
padepokan. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan/ketundukan/keirasionalitasan manusia-manusia
(over-)religius di sekitar mereka. Asal sakti, kaya, punya pondok, pakai
ayat-ayat suci, sudah pastilah langsung mengkultuskan sosok-sosok itu. Mereka
memanfaatkan kematian daya kritis dan kemelorotan daya tahan menghadapi proses dari
anggota-anggota masyarakat.
Benang
merah kedua, ketiga tokoh tersebut
adalah laki-laki. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai “kelas
atas” rasa-rasanya kental sekali di sini. Oleh karenanya mereka menjadi
pemimpin dan punya sekian banyak pengikut. Tentu ini tidak mutlak ya, kalau
benar-benar dibaca, peran perempuan dalam fenomena ini bisa dikatakan seimbang.
Bila
kita mengingat kasus penistaan agama sekitar 15 tahun lalu oleh Lia Eden,
perempuan tampil juga sebagai pemimpin. Dalam kasus yang menimpa Taat Pribadi,
ada juga sosok perempuan cerdas yang menjadi Ketua Yayasan Padepokan yaitu
Marwah Daud. Selain ketua yayasan tersebut, dia juga tercatat sebagai pengurus
MUI pusat (belakangan kabarnya mengundurkan diri) dan salah satu pendiri Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ketiga, kegiatan mereka sama-sama
terkait dengan aktivitas seksual. Sejauh pengamatan saya, tokoh paling “soft”
dalam urusan seksual adalah Taat Pribadi. Dia hanya dikabarkan memiliki lebih
dari satu istri dalam padepokannya. Sedangkan Eyang Subur juga memiliki banyak
istri berusia muda, meskipun sudah berusia lanjut. Yang paling parah adalah
Gatot Brajamusti karena dikabarkan melakukan ritual seks—termasuk dengan para
artis yang menjadikannya guru spiritual.
Dari
tiga benang merah itu saja dapat dilihat bahwa agama adalah alasan, modus,
sekaligus tujuan dari para penganutnya. Kita boleh saja bilang “agama tidak
salah, yang salah adalah penganutnya” untuk membela agama. Namun menurut saya
kita juga jangan lupa kalau agama lahir—selalu dalam proses dilahirkan kembali—dalam
konteks sosial dan budaya kemasyarakatan. Agama tidak bisa dipisahkan dari
kondisi masyarakat. Mereka bukan hanya berhubungan, tetapi saling
keterhubungan.
Silahkan
menambahkan kalau Anda masih berkenan dan punya waktu. Konteksnya masih
realitas yang dibentuk oleh media, ya.
Apa?
Soal agama yang ramai disebut-sebut dalam bursa politik DKI? Oh iya. Cukup ah,
itu melibatkan pasukan-pasukan garis keras sih. Lagipula saya penganut Katolik
(berbeda dengan Kristen Protestan) yang biasa-biasa saja. Nanti kalau diajak
berdebat pakai dalil agama juga pasti saya bertekuk lutut. Minoritas sih, tapi
paling tidak saya tidak merasa terancam :)
[1] Realitas
yang saya maksud di sini adalah realitas yang termediasi dalam konten-konten
media; baik media cetak, elektronik, ataupun digital.
No comments:
Post a Comment