Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Poetry

Surat tentang Tante

:  dibaca pelan-pelan saja Rasanya seperti dicemplungkan dalam beberapa adegan film “50 First Date” versi Jawa. Masa-masa awal jalan bersama gadis ini diisi dengan menunaikan tiga ibadah wajib. Satu , saling cerita soal apa-apa yang turut mengantar diri hingga sampai di masa ini. Dua , bicara soal impian dan rencana di masa depan. Tiga , mengingat-ingat apa yang telah kami lakukan selama sepuluh tahun terakhir. Belakangan, yang terakhir ini rupanya butuh banyak energi. Adegan yang ingin kami munculkan tersendat-sendat bak nonton Youtube di persawahan Godean. Celakanya, sebagian detil adegan hanya tersimpan di benak diri ini saja, tidak di benaknya. Alhasil, seringkali ada cerita yang perlu direka ulang dalam kata guna memancing ingatan. Kadang berhasil, tetapi lebih sering tidak. Itu bedanya dengan film yang tadi. Melalui deretan kata ini, ijinkan saya berbagi sedikit. Semoga tuan puan sudi membaca. Adalah gadis itu, yang pertama kali saya ajak keluar malam-malam. ...

Gerimis

Gerimis pada matamu, tuan puteri, aku melihat hujan yang tidak deras. orang-orang tua senantiasa bertutur ke anaknya kalau gerimis jangan hujan-hujanan, nanti pusing di luar gerimis, jangan ngebut, jalanan licin gerimis itu menerjang mataku tanpa aku sempat menghindar tubuhku jadi aliran gerimis yang suka mengajak angin mampir dari mata, air tipis itu mengalir turun sesuai takdirnya itulah kenapa berdada-dada gadis sendu datang kepadaku bilang aku ingin merasakan gerimis di pelukanmu, atau bolehkah aku mencicipi gerimis di perutmu yang berbulu? boleh, boleh, semuanya boleh tapi setelah ini kalian harus pergi aku juga akan pergi kembali mencari asal muasal gerimis yang gemar sekali menghindar dari sapuan mata ini empat puluh tiga ribu delapan ratus hari kemudian semenjak matamu meninggalkan noda di embun dingin muntilan gerimis itu masih mengalir dari mataku pada matamu, tuan puteri, aku tidak lagi melihat gerimis yang dulu; aku hanya melihat diriku. gerimisk...

Jangan Menggodaku, Kopi

sebermula kopi itu memercik di dadamu kau mengusap nodanya, aku melihat saja “kenapa diam saja?”  ujarmu memanggil.

Seperti Kucing

“I wish my God you’d stay, kanca kenthelku..” seperti kucing putih yang selalu diusir bapak di teras depan rumah tiap pagi. tak peduli betapa kotor dan berdebunya teras rumah kami, kursi paling timur selalu jadi tempat tidurnya. dia hanya pergi sebentar tapi pasti kembali lagi. tiap kali dia pergi selalu ada jejak tapak kaki kucing yang aku tak tahu bagaimana caranya meninggalkan jejak menjemukan itu gagang sapu semprotan air guyuran gayung bentakan serak kasar kurang satu yang belum kami lakukan: meracuninya sebangsat.bangsatnya kucing itu, kami tak mungkin membunuhnya. perlahan atau secepat kilat, kejam atau penuh kasih, pokoknya tak mungkin. di leher kucing putih ngantukan itu ada kalung merah dengan lonceng kecil, tanda kalau dia dimiliki oleh suatu kampret yang lebih pantas mengakhiri hidupnya “Just enjoy your life, kanca kenthelku..” seperti kucing putih yang egois dan tak pernah tak terlihat mengantuk di teras depan rumah. dia bangun hanya untuk meng...

Jreng

begini cara kerja ingatan, sayang kursi tamu budhe dan ciuman pertama jok motor bebek yang sisa banyak pelukmu erat pada pinggang seragam putih biru dan nilai 10 sosok yang bicara dari masa lalu tapi gemanya masih terurai dalam tiap kucekan tanganmu ke pakaian yang tiap hari kau cuci sehabis mandi inginlah menggondolmu dengan paksa ke jalanan licin stockholm pinggir pantai dan napak tilas ke cardiff yang ramai suara bule beraksen british kental tapi itu jauh dari jatiningsih.. terlalu jauh “wajar, aku butuh teman..” “iya..” “tenang, it’s so yesterday..” “iya..” lalu aku diam dan melihat kotoran hitam di kuku kalau kucungkil dalam.dalam nanti malah luka atau semakin dalam lantas makin banyaklah hitam.hitam yang hinggap sementara angin bersenandung kecut sambil sembunyi macam pengecut “Hold back the night.. light up the sky..” jreng. Sleman dini hari 1 6122016

BUKAN DESEMBER

: teringat mariyah dan jabang bayinya bukan desember gerimis ini yang meletupkan aroma.aroma sepi mengharu biru di antara sepatu tracking penuh lendutmu, tetapi adalah sesembahanmu yang kepada pencipta yang memekakkan cuping telinga bayi yang baru lahir prucut dari rahim bundanya yang kesakitan engkau maha besar ! engkau pantas dibela ! monas, bandung, spanduk, nista, dan deretan kata.kata sakti lainnya sigap memenuhi lini masa atas kuasa ujung pena penulis. semacam tsunami kata dan informasi yang sama sekali tak bikin harga sayuran bawang dan cabai naik lalu memantaskan hidup petani kecil (?) pun juga pekikan gantung ! bunuh ! sate ! sekarang juga ! kepada si kafir yang diam.diam membangun persinggahan suci dan menjernihkan sungai.sungai yang mengalir menuju muara kepala batumu bukan desember gerimis ini yang melahirkan gemertakan gigi susu dan kerutan ujung jari yang mati dilahap dingin, tetapi adalah perginya kesehatan akal yang tergusur oleh tarik.tarikan antara: benci d...

SAMI ASIH GROUP

aku masih duduk melamun di warung kuning merah bertirai hijau buluk itu. warung di depan kedai jus pak lebah yang harganya tak menyengat. "nastel ak?" sapa pemuda Sunda dengan mata jenaka. badannya kecil, dengan urat-urat tangan yang tampak jelas menghias. "iya, sama es teh," jawabku otomatis. tanpa sedikitpun berpikir. persis pegawai minimarket tiap kali pelanggan mendorong pintu kaca. keisengan tak luput mendatangi pembeli. sering si aa' menaruh sepasang sendok di satu piring, dan sepasang garpu di piring pembeli lain. mereka lantas makan dengan muka masam meski terhibur. sedikit. tapi, itu dulu. tujuh tahun yang lalu. kala warung ini masih kumuh; dengan alas tanah yang becek di kala hujan. tiap tahun gadjah mada menahbiskan putra-putrinya jadi sekrup pabrik yang luar biasa handal menjalankan negeri ini. rupanya, seiring pembeli berganti,  pemuda jenaka itu berganti pula. dengan rela, ataupun terpaksa. lantai warung kini keras. d...

Orang di Sela-Sela

Pemandangan dari samping kamar kos Andre. Jumat sore saya duduk-duduk di teras samping kos kawan saya di Semarang, namanya Andre. Dari tempat itu saya bisa lihat pemandangan rumah dan bangunan lain yang tumbuh subur berjejalan. Di sela-sela rumah itu ada puluhan, ratusan, jalan-jalan kecil yang telah halus beraspal. Sebagaimana jalan lain di kota itu, jarang ditemui jalanan datar. Rasanya setiap kali melibas aspal kok jalannya turun atau naik, meski hanya sekian derajat saja. Sayup-sayup saya dengar suara anak-anak kecil yang tertawa riang sekali. Langit sore dan suara anak-anak kecil yang tertawa riang, bukankah itu kemegahan gratis? Saya maju ke batas pagar kos dua lantai itu dan melongok ke bawah. Terlihat gerombolan anak laki-laki yang main bola di jalan-jalan. Tentu saja, mereka pilih sepotong jalan yang agak datar. Mereka asyik sekali bermain, sambil sesekali berhenti  tatkala ada pengendara sepeda motor mau melintas. Selang dua rumah di samping are...

persoalan detik

"..mintalah padaku jam tangan termahal, dia tak berarti tanpa waktuku."

Mengkritik Para Tukang Kritik

Sementara otak di belakang mata sibuk menyusun kalimat runtut dari semesta ide yang begitu chaos, jutaan informasi di Facebook malah sedang gemar bikin rusuh. Mereka, para anggota golongan yang dianggap pintar, tampaknya memang dituntut untuk melihat dari sisi lain. Dari akun Facebook itu mereka pamer pandangannya yang beda dari orang kebanyakan. Itu buruk? Itu bagus. Kita butuh bantuan untuk melepaskan diri dari jerat pandangan dominan yang seringkali angkuh dan dungu. Namun kadang kapasitas mereka kurang untuk itu. Sebenarnya sih pantas-pantas saja untuk punya pandangan berbeda. Asal.... asal mereka bisa menjelaskan argumennya dengan runtut dan terang. Bayangkan kalau tidak? Mereka tak beda dengan pemuda seusia SMA yang sedang nakal-nakalnya dan pokoknya “ waton beda ” kalau sedang dinasehati guru. Ya.. semacam inilah, orang-orang yang ikut-ikutan tokoh terhormat seperti Gus Dur yang senang bilang “Gitu aja kok repot?” Pastikan kapasitas intelektual kita seta...

Cakar Kucing

Cakar Kucing : katamu kau malu dengan kalungmu yang bernama? santailah dulu sobat.. biar kukatakan sajaksajak tentangmu, tentang puisi yang lamatlamat menyengat berlalulah tibatiba waktu  yang menuakan wajahmu; tempatku berhenti sejenak  dari memandang papan tulis  yang bau tinta spidol. aku singgah ke kedalaman matamu tempat kita sering duduk berjejer di kelas bahasa indonesia, atau kelas sejarah. sementara para begundal itu pilih berlelap di baris belakang tanganku pernah berdarah (persis dicakar kucing!) setelah gojeg kere denganmu di kelas agama.  sesampai di  asrama kotor itu barulah kutahu  di antara kancing ketiga  baju seragamku  juga ada darah. kini waktu mengeringkan darah membuatnya jadi subur dan apaapa yang disebar di sana akan tumbuh. dan kini aku juga punya rapalan mantra baru yang semoga tidak berlebihan. huhuhuhu .-. Jogjakarta, 20052016

Tentang Cinta yang Singkat

Kita berdua menuruni bukit dengan agak kesulitan. Tangan kita memegang masing-masing sisi plastik berisi sampah.  Harus kompak, harus erat.  Kalau salah satu melepaskan pegangan, sampah akan tumpah.  Karena kita tahu, memungut kembali sampah itu tak menyenangkan.

Maaf, Sandalnya Sedang Pergi

Maaf, Sandalnya Sedang Pergi bukanlah muntilan, apalagi merapi, yang membuat kita jalan di atas sandal yang sama sandal itu butut, bau, dan tiap sudutnya punya tanda kalau kita berjalan lewat medan yang kasar, berat, dan tak kenal ampun kadang berendam di air sejuk lalu dihajar di panas aspal kota lantas mendarat di mulut kita yang kian pandai mengumpat sebilah sandal tak pernah kekal, layaknya tiap hal kecil di sudut semesta ini kini kau berganti sandal, melompat anggun ke kaki lain yang lebih kuat, lebih hangat lantas aku lelehkan sandal pakai air mata mendidih, sambil belajar terbang 2015 bangun tidur

Rindu Berpisah

Rindu Berpisah pagi tadi air menjelma kabut yang kau titipkan kala debu kaliurang terkibas dari kakimu dingin kala disentuh, hangat kala diseduh mereka terampil mengail rindu yang senang berenang-renang di kubangan kata; juga rindu yang tersesat pada desah singkat yang samar terdengar kala kita bercinta kini temu tak lagi manjur merawat ingat yang kau lekatkan ke jidat, juga ke pintu kamar yang kepadanya kita pantas bilang: matur nuwun . jelang siang air menyerupa recehan yang enggan kulepas kala ibu tua meminta melas. kini rindu tak terbasuh temu, jiwa melayang-menggelandang, dan resahmu terjun ke entah. barangkali.. itu cara terindah untuk mengucap pisah. Besole, wetan cakruk 2015

titik dua petik tunggal kurung tutup adalah selamat tinggal

Tante pegawai punya media sosial. Dia pakai akun itu untuk buku harian dan album fotonya. Setiap hari dia cerita kalau dia sedang bahagia, kecewa, hingga marah. Dia juga cerita soal pacar, mantan(nya) pacar, teman kantor, hingga orang rumah. Pernah dia cerita kalau habis gajian, katanya bikin semangat kerja. Pernah juga dia unggah capture-an obrolan di grup karena dia habis menyapa anggota grup satu-per-satu.

Keretasu

Keretasu stasiun dan kamu punya kisah kisah biasa yang tak pernah aku suka. gerbong kereta selalu tega mengangkut cinta yang sebentar kemudian berpamitan. sedang aku hanya berdiri menatap lari detik yang mengundang perih. dekap aku, kamu sebelum roda besi menggelinding angkuh ke timur yang jauh sebelum kelam menelan teduh yang kita cipta. Juli 2015