Pemandangan dari samping kamar kos Andre. |
Jumat sore saya duduk-duduk di teras samping kos kawan saya di Semarang, namanya
Andre. Dari tempat itu saya bisa lihat pemandangan rumah dan bangunan lain yang
tumbuh subur berjejalan.
Di sela-sela rumah itu ada puluhan, ratusan, jalan-jalan kecil yang
telah halus beraspal. Sebagaimana jalan lain di kota itu, jarang ditemui
jalanan datar. Rasanya setiap kali melibas aspal kok jalannya turun atau naik,
meski hanya sekian derajat saja.
Sayup-sayup saya dengar suara anak-anak kecil yang tertawa riang
sekali.
Langit sore dan suara anak-anak kecil yang tertawa riang, bukankah itu
kemegahan gratis?
Saya maju ke batas pagar kos dua lantai itu dan melongok ke bawah. Terlihat
gerombolan anak laki-laki yang main bola di jalan-jalan. Tentu saja, mereka
pilih sepotong jalan yang agak datar. Mereka asyik sekali bermain, sambil
sesekali berhenti tatkala ada pengendara
sepeda motor mau melintas.
Selang dua rumah di samping arena mereka bermain terlihat juga
anak-anak perempuan yang bawa sepeda mini kesayangan mereka. Rombongan, mereka
hampiri satu-satu rumah anak-anak perempuan lain untuk diajak bermain bareng.
“Anak kecil memang paling ahli menemukan kebahagiaan mereka, bahkan di
sela-sela kepadatan rumah sekalipun,” pikir saya.
Sedetik kemudian saya sadar bahwa kita memang tak bisa jauh-jauh dari
sela-sela—bahkan kitapun hidup di sela-sela!
Dalam wujud sperma, kita dilepaskan di sela-sela vagina ibunda. Setelah
menemukan separuh kita (sel telur) lantas kita hinggap di sela-sela rongga
dalam rahim.
Dari rahim itu kita keluar lagi
dari sela-sela vagina ibunda. Sebagian dari kita mungkin lahir dengan operasi,
keluar dari sela-sela sobekan yang dibuat dokter (/bidan) di perut ibunda.
Begitu terus. Seterusnya. Hingga kita tahu bahwa hidup manusia itu ada
di sela-sela keadaan dan ketiadaan. Dari tiada, menjadi ada, kemudian tiada
lagi. Tak lebih dari itu.
Sekaya-kayanya kita, semelarat-melaratnya kita, kita lahir dari proses
pembuahan di rahim ibunda, dan akan mati terurai menjadi entah. Sebagian orang
bilang jadi tanah, sebagain lagi bilang jadi abu/debu. Sebagian lagi bilang
kita akan dimakan cacing. Jelasnya, kita hanyalah proses kecil dari semesta
yang maha segalanya ini.
Di antara sela-sela itu, di dalam ruang kosong yang tercipta, anehnya kita
justru menciptakan makna. Dinding dilubangi jadi pintu dan jendela. Bisakah hidup
tanpa pintu dan jendela? Di sela-sela antar dinding ada ruang. Bisakah beraktivitas
tanpa ruang?
Namun memang, kadang dunia tak seindah itu. Di sela-sela los dagangan
pasar banyak pencopet. Mereka ambil recehan orang lain diam-diam. Di sela-sela gedung
pencakar langit Ibukota juga ada jalan-jalan besar, yang malah digunakan untuk aksi demo. Demo yang
awalnya damai dan berakhir ricuh.
Tiba-tiba dan tanpa diduga..
Di sela-sela awan sore di depan saya, sinar matahari
berebutan masuk. Mereka cari celah untuk tetap turun ke bumi meski mereka sudah
melorot jauh ke barat.
Seakan mereka ingin bilang, “Kami akan hilang diganti bulan, tapi tenang,
besok kami kembali datang,” sebagai salam perpisahan.
Sayangnya tak ada lambaian tangan atas salam itu. Anggukan pun tak ada.
Anak-anak kecil tetap bermain dengan riang, tak peduli dengan pamitan
matahari. Akhirnya saya lah yang melambaikan tangan sendirian. Pelan-pelan sambil lirik kiri kanan.
“Besok pagi saya akan menjumpaimu di Ibukota, matahari. Saya akan
perkenalkan kau dengan kekasihku,” gumamku sambil menenggak air mineral yang
hampir ludes.
Lantas hidup terus berlanjut di sela-sela waktu yang tak banyak.
“The trouble is you think you
have time,” tutur Jack Kornfield kala menginterpretasi ajaran Budha.
"Di sela-sela saat ini hingga ajal nanti, saya masih ingin
memperkenalkan kekasihku kepadamu, matahari. Berulang-ulang, setiap hari, dan
jangan pernah bosan."
Ah. Entah mengapa sore di kota orang menjadi sesentimentil ini.
25.11.2016
Semarang
No comments:
Post a Comment