31 January 2017

Istilah Asing 1962 - 2017: Antara Calon Gubernur DKI dan Catatan Selo Soemardjan

via kompas.com

“Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda maupun Inggris berusaha keras untuk menguasai istilah-istilah politik asing yang baru itu. Mereka mengira sudah memperoleh corak intelektuil dan prestise sosial karena penggunaan bahasa itu.” 
(Selo Soemardjan, 1962)

Pilkada DKI selalu menyedot perhatian publik secara nasional. Bagaimana tidak, stasiun-stasiun televisi—Jakarta bersiaran—nasional menayangkan debat publik ketiga pasangan calonnya. Saya yang orang Jogja pun jadi tertarik buat nonton debat itu meski sepotong-sepotong. Sekadar catatan, saya juga nonton debat publik untuk pasangan calon di kota saya sendiri di TVRI.

Acara debat tak hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga media lain. Satu media yang patut diapresiasi tinggi adalah tirto.id, sebuah media online yang baru diluncurkan tahun lalu. Digawangi oleh tokoh-tokoh senior di dunia jurnalisme, media ini menawarkan banyak hal baru. Salah satunya adalah aktivitas riset mereka yang tidak biasa.

Satu hal penting yang mereka amati adalah penggunaan istilah asing dalam debat. Atas pertanyaan “Siapa calon yang paling sering menggunakan istilah asing?” tentu kita sudah bisa menebaknya tanpa harus menghitung dengan teliti. Namun persis itulah (salah satu) yang dilakukan oleh tim riset tirto.id! Mereka menghitung kata-kata asing yang digunakan oleh para calon sejak dalam debat pertama.

Kita pantas bertanya: mengapa mereka menggunakan istilah asing dalam debat?

Jawaban yang barangkali indah untuk diluncurkan adalah karena dalam urusan politik dan birokrasi jamak ditemukan istilah-istilah dan singkatan teknis yang sudah populer. Upaya penerjemahan dan penggunaannya dalam debat dan diskusi dikhawatirkan justru mengurangi makna dari istilah tersebut. Bukannya begitu?

Namun ijinkan saya mengutip tulisan ilmuwan sosial legendaris, Selo Soemardjan, yang melakukan penelitian mengenai perubahan sosial di Yogyakarta lebih dari 55 tahun yang lalu. Barangkali kondisi Yogyakarta pada saat itu bisa digunakan untuk memahami fenomena-fenomena saat ini.

Catatan Penting Selo Soemardjan

Jika dirunut dari sejarahnya, Yogyakarta adalah sebuah kerajaan bercorak Jawa. Stratifikasi atau kelas sosial dalam masyarakat adalah salah satu hal yang menonjol baik dalam kultur kerajaan ataupun kultur Jawa. Pada zaman kerajaan, kelas atas dalam masyarakat tentu saja adalah raja dan keluarganya, yang sering kita sebut dengan istilah bangsawan.

27 January 2017

The Accountant

via trailers.apple.com

Film ini dibintangi Ben Affleck. Seperti judulnya, dia seorang akuntan. Bukan akuntan biasa, dia adalah pengidap autisme sejak kecil. Di satu sisi, autisme itu membuat dia sulit menjalin relasi sosial (meski dia ingin), di sisi lain, autisme itu yang membuat dia jenius matematika.

Autisme yang dibawanya itu membuat dia menjadi akuntan yang sangar. Ada sekuen yang menceritakan pekerjaan 5 orang akuntan diselesaikan olehnya sendiri dalam waktu yang singkat.

Secara keseluruhan film ini punya cerita dan setting yang menarik. Dia mengangkat tema akuntansi, ekonomi yang bobrok, keluarga yang broken, militer, senjata, perusahaan korup, intelijensia, autisme, dan bela diri.

Nah, soal bela diri ini ada yang menarik. Diceritakan bahwa dia dan adiknya berlatih bela diri di Indonesia. Sepertinya itu silat (mohon dikoreksi kalau salah).

25 January 2017

Penasihat Komunikasi Politik


Melihat sosok SBY sekarang rasanya tak segagah dulu. Benci sih tidak, tapi kasihan sedikit saja bolehlah. Saya masih bertanyatanya soal katakata yang dia unggah di Twitter. Tidak, saya tidak akan memaknai banyakbanyak soal cuitan itu. Saya malah masih penasaran kenapa beliau mengetwit di saat yang demikian.

Saat yang seperti apa?

Ya kita tahu sendirilah media sedang menyorot Pilkada DKI dan narasinarasi yang dibangun di sekelilingnya. AHY, anak SBY, ikut pertarungan politik itu. Selalu ada aroma sinis di media sosial soal AHY—paling tidak dilihat dari memememe yang menjadi viral.

Pesan dominan yang saya tangkap adalah Agus tidak menguasai persoalan, minim pengalaman, dan—yang paling penting—beliau tak lebih dari pion catur yang dimainkan ayahnya. Pesan itu menguat semenjak akhirnya Agus tampil dalam debat publik putaran pertama.

Belum ditambah dengan Annisa Pohan, istri Agus, yang juga terlibat perdebatan dengan seorang kawannya di Path. Persoalannya? Politik. Pada akhirnya beliau memang minta maaf, tetapi pemberian maaf tak sama dengan meniadakan yang telah terjadi. Halah.

Nah, di tengah-tengah ramai serbuan informasi dari segala penjuru yang sering merugikan posisi SBY ini, kok bisabisanya beliau menuliskan twit yang sedemikian “kemenyek” (baca: ejek-able; hina-able).

Itu kan rentan sekali dihina, bung !

Semoga SBY punya penasihat komunikasi politik yang lebih handal. Dia yang ikuti arus pembicaraan di media sosial, terutama soal citra SBY. Tak lain, supaya kalau SBY mau ngetwit itu enggak malah mengundang ejekan. Jadi populer sih iya, tapi popularitasnya bikin sedih.

Omongomong, pak, ada daftar kontak saya di bagian atas kanan. FYI, saya mahasiswa Ilmu Komunikasi J

24 January 2017

Gerimis

Gerimis

pada matamu, tuan puteri, aku melihat hujan yang tidak deras.

orang-orang tua senantiasa bertutur ke anaknya
kalau gerimis jangan hujan-hujanan, nanti pusing
di luar gerimis, jangan ngebut, jalanan licin

gerimis itu menerjang mataku tanpa aku sempat menghindar
tubuhku jadi aliran gerimis yang suka mengajak angin mampir
dari mata, air tipis itu mengalir turun sesuai takdirnya

itulah kenapa berdada-dada gadis sendu datang kepadaku bilang
aku ingin merasakan gerimis di pelukanmu, atau
bolehkah aku mencicipi gerimis di perutmu yang berbulu?

boleh, boleh, semuanya boleh
tapi setelah ini kalian harus pergi
aku juga akan pergi kembali mencari asal muasal gerimis yang
gemar sekali menghindar dari sapuan mata ini

empat puluh tiga ribu delapan ratus hari kemudian
semenjak matamu meninggalkan noda di embun dingin muntilan
gerimis itu masih mengalir dari mataku

pada matamu, tuan puteri, aku tidak lagi melihat gerimis yang dulu;
aku hanya melihat diriku.

gerimisku masih bikin pusing dan terpeleset licin;
mari rebahan di sini, sayang.


Jangan Menggodaku, Kopi

sebermula kopi itu memercik di dadamu
kau mengusap nodanya, aku melihat saja

“kenapa diam saja?” 
ujarmu memanggil.


23 January 2017

You’ve Started the Fire, Buddy

“So, reading is your hobby, huh? Tell me five books that most inspired you,” he asked me.

The worst part from that question is I wasn’t ready to answer it. Stupid me.

Yes, I think I’ve been reading a lot. Not just books, but also magazine and internet article of course. This reading habit was built since I was a child. My older sister and I were love to rent some books to enjoyed our holiday: Lima Sekawan, Trio Detektif, comics, etc.

I felt so dumb since I couldn’t answer that simple question. I just mentioned two or three books title that I’m not finish them yet. Aaarrrrgggggh. That was one of embarrassing moment in my life.

One important thing that maybe he doesn’t realize is he has just started the fire. I hope in the future, we’ll become a partner. I know he is smarter, but yes, he is also much older than me.

I promise, you’ll find me in different quality, sir. Immediately.

22 January 2017

Ujung Timur Jembatan

"Saya baru sepuluh hari jualan di sini, mas," ujar pedagang angkringan tanpa ditanya.

"Oh pantes.. ini gerobaknya masih kinclong," kataku menimpali seadanya.

Teh manis panas di depanku terlalu berharga untuk diduakan dengan obrolan. Setelah bersepeda sekian kayuhan, jenis minuman ini paling bikin tenang. Tiup-tiup sedikit, sruput tipis-tipis.

"Sebelumnya saya pernah jualan bakso, pecel lele, mie ayam, macem-macem, mas. Tapi saya nyerah. Bahan baku terlalu mahal. Daging sapi, bawang, lombok, semua mahal. Padahal enggak mungkin naikin harga semangkok bakso," ujarnya lagi tanpa ditanya.

Kali ini aku simpatik. Keluhan itu kutanggapi dengan pertanyaan yang lewat di kepala. Usaha dagang terakhir yang dia tutup adalah berjualan bakso dan mie ayam di Jalan Imogiri Barat. Dia sudah menyewa gerobak selama lima tahun untuk keperluan dagang. Namun nasib berkata lain, satu setengah tahun saja kemudian dicukupkan.

Dari jualan angkringan itu dia harus bayar rumah sewa seharga Rp 14 juta/tahun di sekitar Jalan Kaliurang. Kalau tak salah dengar, dia menyebut kata-kata "tiga kali enam meter."

Tiba-tiba di sela-sela obrolan kami datang seorang ibu-ibu berusia 30 tahunan. Dia datang minta dibikinkan jahe panas sambil bawa jaket untuk pedagang angkringan. Hawa malam hari di Jogja memang terkadang dingin.

"Ini istri saya, mas. Kalau siang, dari jam 11 sampai sore, yang jaga dia. Kalau malam saya," katanya menjelaskan.

Angkringan itu berdiri di ujung timur sebuah jembatan. Tepat di atas trotoar, tempat pejalan kaki seharusnya berjalan.

Sebenarnya ada pertanyaan "Kalau pagi gerobak ini ditaruh di mana?"

Namun pertanyaan itu kusimpan ketika kulihat kaki gerobak. Pada keempat kakinya ada semen yang ditumpuk dengan tidak rapi. Dengan kata lain, gerobak itu tidak dipindah, alias semi permanen.

Jembatan itu termasuk baru. Usianya belum ada lima tahun. Tapi di ujung timur jembatan sudah dihinggapi gerobak angkringan yang disemen.

Bagi saya, ini pelanggaran. Bagi dia, ini metode bertahan agar tetap bisa makan.

14 January 2017

Lawak dan Ketidakpastian Hidup: Apa-apa yang Tak Boleh Berhenti

via www.bentarabudaya.com

“..bahwa kita pun menyembunyikan badut atau lawak, yang sewaktu-waktu perlu dimunculkan keluar.

Apa yang tersembunyi itu mengatakan pada kita, janganlah kita terlalu berpedoman bahwa hidup ini harus selalu bermakna dan berarti.

Hidup juga perlu kita terima apa adanya, dan kita nikmati, walau kita tidak tahu apa arti hidup itu sesungguhnya. 

Sering dengan menerima hidup apa adanya, kita justru diubah, dipelaskan dari kekakuan dan pendirian yang tak dapat ditawar, yang membuat kita lelah. Dengan lawak dan lelucon, kita jadi tahu tak ada yang pasti dalam hidup ini.

Kita menerima, bahwa hidup ini harus terus berjalan, tak boleh berhenti.

Kita bagaikan pengamen, yang mbarang atau mengamen, berjalan dan bernyanyi, tertawa, menghibur sesama dan dengan demikian menghibur diri sendiri.”

Sindhunata, dalam artikel “Berziarah dalam Tawa” (Majalah BASIS Nomor 09 – 10, Tahun ke-65, 2016)

Kritik Krik-Krik

Tak henti-hentinya para kritikus menyebut iklim media Indonesia ini dipenuhi oleh televisi Jakarta bersiaran nasional. Bukan televisi nasional.

Dulunya saya tidaklah sadar, baru sadar setelah baca satu tulisan di Remotivi. Sudah pernah baca kan? Itu salah satu situs yang padat bergizi untuk disantap kapanpun juga.

Anda boleh saja setuju, boleh pula tidak. Namun tatkala melihat acara debat Calon Gubernur DKI 2017 kemarin, sulit bagi saya untuk tidak setuju. Malam ada acara debat tersebut, dalam hitungan jam video sudah disebar di Youtube, paginya masih dibahas di TV One.

Sementara warga Yogyakarta barangkali secara umum belumlah mengerti bahwa Walikota dan Wakil Walikota mereka akan bertarung di Pilkada mendatang. Sekalipun tahu, saya yakin bisa dihitung dengan jari mereka yang tahu nama pasangannya. Soal nama dan pasangan calon Gubernur DKI mendatang? Jangan ditanya.

Tentu saja kritik di awal tulisan ini mengkritik hal yang memang sulit. Pasalnya, DKI adalah ibukota, pusat pemerintahan di Indonesia—yang juga adalah pusat perekonomian. Barangkali betul, memang banyak yang perlu diberitakan dari kejadian-kejadian yang berlangsung di Jakarta.

Namun kritik tetaplah kritik, dia selalu ada dalam setiap segala. Ibaratnya, bergerak rentan dikritik, diam saja pun pasti dikritik.

Dari sekian kritik, satu yang menggelitik dituliskan oleh salah satu idola saya Goenawan Mohamad. Melalui akun twitter @gm_gm dia menuliskan:


Menariknya, twit ini juga mengundang banyak kritik. Tak sedikit kritik itu bernada kasar dan hina, seakan dia tidak tahu sebesar apa sosok yang dikritiknya. Baiklah, katakan mereka tidak mengkritik sosok secara pribadi, tapi mengkritik tulisan/pemikirannya. Hadeh. Bahkan saya menduga, si pengkritik itu belumlah membaca, menulis, dan berpikir sebanyak GM ini.

Tapi, ya, itulah realitanya. Kadang ungkapan “jangan lihat orangnya, lihatlah isi omongannya” bisa jadi untuk membela diri, tapi kadang justru menusuk diri sendiri.

08 January 2017

Sayang, Change.org adalah Betul-Betul Wadah


Kira-kira setahun yang lalu saya kagum dengan ide petisi online. Dulu petisi ditandatangani oleh orang-orang secara manual. Kini dengan bantuan internet, sebuah isu yang dipetisikan bisa ditandatangani hingga ratusan ribu orang dalam waktu yang relatif singkat. Peserta petisi juga bisa membagikan kabar itu di akun jejaring sosial mereka guna mendapatkan dukungan yang lebih luas.

Salah satu platform petisi online yang populer di Indonesia adalah Change.org. Platform ini sebenarnya bersifat internasional, dia ada di puluhan negara lain juga selain Indonesia. Saking kagumnya dengan petisi online dan Change.org, saya sampai menulis soal ini dalam beberapa paper ilmiah sebagai tugas kuliah.

Kala itu saya menganggap bahwa Change.org adalah betul-betul kepanjangan tangan dari demokrasi. Warga bisa menekan pihak-pihak tertentu untuk melakukan apa yang menjadi kehendak warga. Tentu saja tekanan itu terbatas ya, “hanya” dengan cara membombardir alamat email pihak itu dengan email dari peserta petisi. Hal yang diserang adalah kredibilitas dari pihak tertuju petisi tersebut. Sudah di”serang” oleh ratusan ribu tanda tangan kok masih saja bebal dan tidak bergerak?

Tema petisinya juga menurut saya keren-keren. Kalau saya tidak salah ingat beberapa tahun ini tema-tema yang banyak muncul adalah soal lingkungan, politik, dan kemanusiaan. Dengan tagline “Wadah Perubahan” saya melihat platform ini positif sekali. Memang betul ada banyak perubahan, setidaknya berdasarkan apa yang dilaporkan mereka tiap kali petisinya berhasil.

Sekarang kondisinya agak berbeda. Bagai orang pesisir yang biasa saja tatkala melihat laut yang indah, saya juga demikian. Saya mengernyitkan dahi ketika saya menganggap Change.org adalah betul-betul wadah saja. Orang bisa saja sesuka hati menganggap suatu hal memiliki tingkat kepentingan yang tak bisa lagi ditawar, kemudian mem-petisi-kan hal tersebut untuk minta dukungan.

Saya terkejut dengan petisi berjudul “Semua Manusia: Memaksa Bapak Jokowi Melakukan Tes DNA sebagai Klarifikasi atas Fitnahan NEO PKI” yang digagas oleh akun bernama Anti Pembohong.

Berikut saya kutipkan teks pengantar di bawah judul petisi tersebut

Ini jalan terakhir pembuktian, jangan anggap kami gila bila anda bernyali...!
Lebih gila siapa dibanding membohongi jutaan manusia..?
Lebih dosa mana orang yang memfitnah dengan orang yang memelihara fitnah..?

Bapak Jokowi yang terhormat, anda jangan jadi pengecut seperti yang dimakan anakmu di singapore. Buktikan tuduhan kami adalah fitnah dengan mengklarifikasi anda bukan pemalsu identitas ibu kandung Sulami.

Anda durhaka mengakui ibu kandungmu Sudjiadmi yang sesungguhnya ibu tirimu istri kedua ayahmu si Ketua OPR PKI. Jangan malu sekalipun ibu kandungmu Wakil Ketua Gerwani Pusat yang melahirkan adik tirimu hasil selingkuhan Michael Bimo Putranto, agar Abraham Samad bernyali mengusut Trans Jakarta.

Apakah anda kira dengan membredel para demonstran akan membuat kami kecut?

Anda itu masih makan nasi pak. Kami percaya adanya Tuhan.

Anda telah membangunkan singa tidur wahai anak PKI. Rakyat Indonesia yang merasa anda bohongi akan terus melawan anda bila anda anggap ini cuma bualan.

Apakah anda kira kekuasaan itu abadi?

Semakin engkau zolimi maka akan semakin membakar keberanian kami menentangmu hei manusia munafik.

Salam 5 jari Anti NEO PKI

Gatal sekali rasanya ingin mengomentari setiap kata yang ditulis dalam pengantar ini. Nantilah saya tuliskan di postingan lain. Pada postingan ini saya menekankan pandangan saya soal Change.org yang termakan sendiri oleh penamaan wadah pada dirinya. Bagi saya Change.org menurunkan kredibilitasnya karena melakukan kesalahan berlapis.

Anonimitas. Kita tahu sendirilah anonimitas ini menjadi peluang sekaligus ancaman di dunia maya. Untuk isu sebesar ini (ini soal kepala negara, soal martabat negara, bukankah cukup besar?) kenapa bisa meloloskan akun anonim untuk mengangkatnya?

Kabar burung. Belum dilihat pula dari latar belakang informasi ini yang tidak jelas. Soal Jokowi  yang keturunan PKI, yang ayahnya Ketua OPR PKI dan ibunya Wakil Ketua Gerwani Pusat. Ini informasi dari mana? Lagipula.. kalau memang Jokowi keturunan PKI lantas kenapa? Katakanlah saya buta sejarah, tapi akuilah kalau ketakutan soal PKI (dan Neo PKI) ini sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu dengan agenda tertentu pula.

Logika yang embuh. Saya tidak paham mengapa orang yang dituduh malah disuruh membuktikan bahwa tuduhan itu tak benar? Bukannya seharusnya beban pembuktian ada pada orang yang melontarkan tuduhan? Misalnya, saya menuduh Anda adalah hewan. Maka saya haruslah membuktikan bahwa tuduhan saya itu benar. Saya harus mencari bukti ciri-ciri fisik dan kemampuan kognisi yang Anda miliki itu sama persis dengan yang dimiliki hewan. Kan yang menuduh saya, dan Anda yang kena tuduh. Jadi Anda juga tak perlu membuktikan bahwa Anda bukanlah hewan. Bagaimana bisa ketidakpahaman logika sesederhana ini bisa lolos di Change.org sebagai wadah berkelas dunia?

Saya sungguh tak paham.

01 January 2017

Kuikhlaskan Dirimu Berlalu

“Tuhanmu tak akan memberi ular beracun pada yang minta roti..”

Begitu lirik lagu rohani yang pertama kali saya dengar kala seusia SMP. Berbelas-belas tahun kemudian, lagu tersebut masih sering saya dengar di perayaan-perayaan ekaristi.

Sekilas, lirik tersebut menenangkan. Tuhan, yang adalah tempat meminta, dan dengan demikian juga sumber pemberian, tidak akan salah memberi.

Kalaupun terasa salah, tentu itu bukan kesalahan Tuhan, tetapi kitanya yang perlu memaknai ulang pemberian tersebut.

Sampai-sampai, hidup ini seakan jeda singkat yang diisi dengan jutaan pemaknaan ulang yang dijejalkan dalam 24 jam sehari tujuh hari seminggu.

Namun berdasarkan hari-hari yang saya rasakan, lirik itu tak berarti Tuhan akan memberikan roti pada mereka yang minta roti. Tentu saja, ini perumpamaan.

Pada saya yang minta roti, Tuhan memberi saya nasi, sayuran pecel, dan tempe bacem yang manis. Pecel itu lengkap dengan tauge yang tinggi protein dan daun pepaya  yang pahit, tak lupa berliter-liter teh manis hangat digelontorkan—minta untuk disruput pelan.

Lagi-lagi, ini adalah perumpamaan.

Tahun 2016 yang baru saja berlalu adalah tahun ketika saya menggenapi dan mengalami perumpamaan-perumpamaan tersebut. Dia tak selalu memberi apa yang saya minta, tetapi kalau sudah memberi, waduh, nyaris tenggelam saya dalam kebahagiaan.

Bagaimana tidak. Ibu dinyatakan sembuh dari sakit kanker. Saya selesai sekolah. Doktor melekat di depan nama bapak. Serta cinta yang tumbuh dari persahabatan kawan masa sekolah di Muntilan sejak sepuluh tahun lalu.

Untuk 2016. Atas kejutan-kejutan yang menyegarkan, terima kasih. Atas tantangan-tantangan yang bikin keringat dingin, terima kasih. Atas cinta dan pengalaman berharga yang kubawa sampai nanti, terima kasih.

Kuikhlaskan dirimu berlalu, 2016.


akhir tahun di kota asal,
di antara parangtritis dan kembang api


Baca Tulisan Lain