Skip to main content

Gerimis

Gerimis

pada matamu, tuan puteri, aku melihat hujan yang tidak deras.

orang-orang tua senantiasa bertutur ke anaknya
kalau gerimis jangan hujan-hujanan, nanti pusing
di luar gerimis, jangan ngebut, jalanan licin

gerimis itu menerjang mataku tanpa aku sempat menghindar
tubuhku jadi aliran gerimis yang suka mengajak angin mampir
dari mata, air tipis itu mengalir turun sesuai takdirnya

itulah kenapa berdada-dada gadis sendu datang kepadaku bilang
aku ingin merasakan gerimis di pelukanmu, atau
bolehkah aku mencicipi gerimis di perutmu yang berbulu?

boleh, boleh, semuanya boleh
tapi setelah ini kalian harus pergi
aku juga akan pergi kembali mencari asal muasal gerimis yang
gemar sekali menghindar dari sapuan mata ini

empat puluh tiga ribu delapan ratus hari kemudian
semenjak matamu meninggalkan noda di embun dingin muntilan
gerimis itu masih mengalir dari mataku

pada matamu, tuan puteri, aku tidak lagi melihat gerimis yang dulu;
aku hanya melihat diriku.

gerimisku masih bikin pusing dan terpeleset licin;
mari rebahan di sini, sayang.


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.