Skip to main content

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget? 
Ah, tentu tidak.


 Mungkin memang benar ada di Jepang, atau di belahan dunia lain, orang dengan nama Yamaguchi Kumiko. Namun, yang saya maksud di sini adalah pemain utama dari film serial Gokusen.

Suatu saat seorang sepupu saya menawarkan untuk mengopi film serial ini dari harddisknya. 

‘Mau nonton film yang isinya anak sekolah berantem terus gak, dek?’ tanyanya ketika menawarkan.

Ya. Yang dia maksud adalah Gokusen. Setelah saya tonton, memang banyak adegan pukul-pukulan, tapi itu bukan inti ceritanya. Menurut saya ada dua tema yang sering dijadikan cerita dalam tiap serial: keluarga dan pendidikan.

Yamaguchi Kumiko adalah cucu dari keluarga yakuza. Orangtuanya meninggal sejak dia kecil, kemudian dia hidup bersama kakeknya. Hidup di antara orang laki-laki mempengaruhinya dalam cara berbicara (keras, kasar, membentak), kebiasaan, dan juga menjalani hidup.

Dia dandan dengan culun untuk menjadi guru di sebuah sekolah. Dan kebetulan dia menjadi wali kelas yang berisikan anak-anak ‘trouble maker’. Di sinilah cerita mulai berjalan.

Dalam banyak seri, atau hampir tiap seri, Yankumi (panggilan para murid untuk Yamaguchi Kumiko) berkelahi seorang diri melawan beberapa orang untuk menyelamatkan muridnya. Terdengar heroik memang, didukung dengan suara macam Superman ketika dia datang. Dan itu –jujur saja- membosankan.

Yang lebih parah lagi adalah ketika Yankumi berjalan menuju gerombolan orang-orang yang memukuli muridnya, dia akan berjalan pelan-pelan. Langkahnya satu garis lurus.

Orang-orang akan bertanya ‘Siapa kamu?’ lalu Yankumi menjawab ‘Aku? Aku wali kelas mereka.’ Mendengar itu biasanya mereka kemudian tertawa, atau sekadar terkejut.

Kemudian mereka akan mulai menyerang seorang, lalu jatuh. Orang yang lain, lalu jatuh juga. Begitu juga sampai orang ke sekian.

Ketika sampai di depan pemimpin gerombolan itu. Biasanya Yankumi mulai menasehati (oh no..) dengan gaya yakuza-nya. Lalu mereka mulai lari terbirit-birit, entah apa yang ditakuti.

By the way, bicara tentang lari, film ini banyak memunculkan adegan lari. Yankumi berlari ketika mencari seseorang, entah muridnya yang terkena masalah, entah tokoh lain yang bukan murid. Murid-murid berlari ketika mencari temannya. Mereka lari berpencar, entah seberapa luas kota tempat mereka berlari.

Yankumi dan murid-murid juga berlari ketika merayakan sesuatu. Mereka berlari di padang rumput. Semua terlihat senang dan gembira. Ah, memuakkan.

Seperti film-film bertema remaja lainnya, dimasukkan juga unsur cinta. Ralat, yang benar ketertarikan terhadap lawan jenis. Sangat sederhana.

Seperti film Superman, Spiderman, dan juga film-film heroik lain, pers digambarkan memiliki pengaruh yang besar dalam hidup seseorang. Seberapa besar? Dalam salah satu serial ini pers membuat seorang ayah menjadi sangat bangga terhadap Kuma, anaknya, murid Yankumi.

Kebiasaan Yankumi dalam mengajar juga menjadi berubah ketika ada dua orang jurnalis yang mengikutinya untuk meliput kesehariannya. Dua orang jurnalis itu juga yang kemudian membuat Yankumi mendapat masalah.

Membosankan memang serial ini. Namun tidak sebegitu membosankan, setelah saya sempat menonton beberapa serial non-stop selama kurang lebih 6 jam.

Saya kemudianbanyak berpikir tentang adegan-adegan di sana. Ah, banyak sekali yang ingin saya tulis tentang pikiran saya terhadap film ini. Terlalu banyak. Semoga masih ada minat pada tulisan-tulisan berikutnya.












Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.