Skip to main content

Garpu





Di depan pagar rumah penuh lumut itu aku mematikan rokokku yang masih setengah. Sambil hati-hati aku mengintip dari luar pagar. 

Oleh: Andreas Ryan Sanjaya

Rumah masih gelap, rupanya bapak belum pulang dari tempat kerjanya. Segera kunyalakan lagi rokokku sambil masuk halaman dan menghabiskannya di teras rumah.

Baru semenit aku duduk, tiba-tiba terdengar suara mobil tua bapak. Buru-buru aku mematikan rokok dan membuang puntungnya di tempat sampah yang penuh garpu.


Tanpa menyapa bapak langsung masuk rumah dan menuju ke meja makan di ujung ruang bersama seorang wanita muda. 

Lagi-lagi wanita yang berbeda.

“Oalah, ganti lagi.” gumamku sambil jalan ke kamar mandi.

Obrolan bapak dan wanita muda yang berganti tiap minggunya selalu menemani mandiku setiap petang. Mereka tertawa bersama, kadang terdengar dipaksakan. 

Kadang aku justru mendengar suara bapak menangis ketika dia tertawa. Entahlah.

“Bos, ayo sini makan. Bapak kenalin sama Sinta.”, teriak bapak ketika melihat aku keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk.

Segera aku mengenakan pakaian seadanya di dalam kamarku yang luar biasa kotor. Segera aku bersalaman. Suaranya bening dan tangannya sedikit hangat ketika bersalaman denganku. 

Aku menyalaminya dengan biasa saja, sama seperti wanita-wanita muda sebelumnya.

Segera aku masuk kamar lagi. Membuat benteng pada duniaku dengan musik reggae dan buku-buku Marxisme. 

Aku bukan penganut Marxisme yang mengutuk keras kapitalisme, aku tidak mau seperti mahasiswa yang berlagak Marxis itu.

Tenggelam dalam duniaku hingga pukul 9.10 malam, aku melepas headphone besar yang hampir saja melekat di telingaku. 

Sayup-sayup kudengar obrolan dewasa dari dua orang yang sedang menghangatkan diri. 

Lama-lama aku terbiasa juga.

Menjelang pukul 10.00 malam mereka mulai melangkah keluar rumah dan tak lama terdengar lagi suara mobil tua yang menjauh. 

Bersamaan dengan itu sayup-sayup kudengar suara garpu yang dilempar ke dalam tong sampah dan beradu dengan garpu-garpu lain.

Minggu-minggu berikutnya aku mengalami hal yang sama. Yang sering berbeda adalah wanita yang dibawa bapak. 

Semuanya muda memang, namun tidak semua baik, beberapa bahkan terkesan murahan. 

Nampaknya bapak sedang ingin menghibur diri sekaligus mencari pendamping. 

Pada suatu malam yang biasa, aku tenggelam oleh ideologi Marxisme yang memang memikat. Tiba-tiba bapak mengetuk pintu kamar. 

Tanpa kata, tanpa daya. Persis seperti buruh-buruh kecil di pabrik itu. Bapak kelihatan pucat.

“Kenapa pak?” tanyaku setengah berteriak panik. 

Dia hanya menggeleng, lalu rebahan di tempat tidurku yang penuh sampah. 

Matanya langsung terpejam. 

Raut wajahnya seakan ingin mengatakan, namun sesuatu menahannya.

 (bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.