09 December 2015

Pengunjung Orang Sakit dan Perilaku-Perilaku yang Dibawanya

via www.theladbible.com

Angin yang menyapa di muka bangsal Elizabeth siang itu kian menggoda. Dia mengalir lewat rambut di belakang kepala, menelusur lewat telinga, lantas menari-nari sejenak di depan mata.

Dalam pandangan sayu itu terlintas rombongan ibu-ibu berkerudung. Di bagian depan rombongan ada seorang bapak-bapak tua, dia pakai batik coklat lengan panjang dengan dobelan kaos di dalamnya. Dari pakaian yang mereka kenakan sepertinya mereka berasal dari suatu tempat di pinggir kota. Mereka jalan pelan sambil sesekali tengok kanan kiri. Mereka seakan kagum dengan ketinggian gedung-gedung di Panti Rapih.

Beberapa dari mereka membawa bungkusan—yang entah apa isinya. Ada yang membawa sebungkus tas kresek hitam, sementara yang lain dibungkus pakai kain putih kumal yang mengabu-abu. Sudah pasti mereka akan mengunjungi seseorang yang mereka kenal dengan baik. Barangkali tetangga yang tinggal se-RT dengan mereka.

Pemandangan itu mengingatkan saya akan beberapa perilaku orang ketika mereka mengunjungi orang sakit. Beberapa pasien senang dengan model pengunjung tertentu, sisanya tidak begitu gembira, bahkan ada juga yang tak ingin dikunjungi oleh orang lain. Namun kali ini saya akan menulis soal model perilaku pengunjung, anda boleh saja menambahkan di bawah.

#1 Pendoa yang Saleh (pinjam istilah Alkitab)

Ada pengunjung yang bicara pelan dan tenang kepada pasien. Dia datang untuk mengayomi dan menunjukkan dukungan lewat sikapnya yang halus. Tak lupa sebelum pamitan dia kemudian berdoa terlebih dahulu untuk kesembuhan pasien dan ketabahan anggota keluarga yang mendampingi pasien. Dia tidak banyak bertanya detil soal penyakit, tapi memberi semangat dengan cara-cara yang halus dan nikmat sekali di telinga. Sebagian di antaranya adalah orang-orang tua (yang cenderung suka menasihati), sementara sisanya adalah orang seumuran dengan pasien. “Ya sudah.. pokoknya tetap berdoa, hatinya harus selalu gembira, dan memasrahkan kesehatan pada Tuhan melalui dokter dan perawat yang menangani panjenengan..” kata mereka. Sejuuuk sekali.

#2 Komedian Salah Panggung

“Sakit adalah kesedihan” barangkali kata-kata yang tertanam pada pengunjung. Maka dia tak akan segan untuk menjadi komedian ketika berkunjung. Kalau leluconnya itu punya frekuensi sama dengan pasien (dan penunggu pasien) sih tidak masalah, tertawa memang dipercaya mempercepat proses penyembuhan. Namun akan jadi celaka kalau dia adalah komedian yang gagal, atau katakanlah, punya selera humor yang berbeda. Dia bisa jadi komedian yang sangat mandiri: menertawakan celetukannya sendiri. Lebih dari itu, pasien juga akan cepat merasa lelah karena berpura-pura bahagia. LOL.

#3 Wartawan Infotainment

Istilah kekiniannya adalah kepo. Pengunjung jenis satu ini menanyakan dengan detil apa saja yang dialami oleh pasien. Mulai dari awal sakitnya, hasil pemeriksaan, proses penanganan medis, obat-obatnya apa, pantangan makan apa, berapa hari di rumah sakit, setelah ini bisa dicegah dengan cara bagimana, dan seterusnya dan seterusnya. Tak jarang dari mereka ada yang bertanya dengan muka yang menunjukkan empati yang mendalam. Beberapa di antaranya bahkan tampak berkaca-kaca. Bersyukurlah tidak semua pengunjung berjenis demikian, pasien dan keluarga pasti akan sangat lelah mengulang-ulang cerita yang sama..

#4 Malah Curcol...

Semesta itu sangat adil, bung, sangatlah sangat adil. Ada pengunjung yang senang meminta pasien bercerita banyak soal sakitnya, ada juga yang senang bercerita soal penyakit yang dialaminya. Atau penyakit yang dialami kerabat dekatnya, dan dia jadi bagian penting dalam proses penyembuhan kerabatnya itu. Entah kenapa dengan pengunjung jenis ini. Mereka itu memang senang bercerita, ataukah dalam hidup sehari-harinya mereka tak ada kawan bercerita. Maka setiap saat dia  berkumpul, bahkan ketika mengunjungi orang sakitpun, dia menumpahkan ceritanya. Seringkali, bahkan, cara mereka bercerita lebih heboh dari pasien itu sendiri. Tak jarang mulutnya berbusa, ada sekumpulan ludah putih yang menggantung di sudut-sudut bibir mereka.

#5 Motivator Ulung

“Gimana, tante? Sehat kan!?” kata seorang ponakan ketika mengunjungi tantenya yang terkapar. Ekspresi wajahnya tampak kalau dia ingin memberi semangat dan motivasi tantenya yang sedang terkapar itu. Dia pikir caranya itu efektif. Meski kadang ada juga yang dengan sinisnya bilang, “Cah edan. Ngerti lagi tepar ngono kok ditakoni sehat.”

Ada juga seorang teman pengunjung yang ketika datang langsung bilang, “Ngapain di rumah sakit? Nggak usah lama-lama. Ayo pulang,” sambil menggandeng tangan temannya yang sedang jadi pasien. Barangkali ini lebih memotivasi dibanding yang pertama. Namun pada dasarnya sama, mereka ingin menjadi motivator, setidaknya, ingin memberi motivasi bagi pasien untuk cepat sembuh.

Sejauh ini saya baru mengamati lima jenis pengunjung ini. Jika anda jadi pengunjung, anda berada pada jenis yang mana? Jika anda jadi pasien, pengunjung jenis mana yang paling anda sukai? Ataukah  saya masih kurang dalam menyebutkan jenisnya? Silakan tambahkan sendiri di bawah.

07 December 2015

Sampah, Perilaku, dan Peradaban Kita

Sumber: www.matatajam.com

Pagi tadi jogging di dekat Mirota Kampus (Jalan Godean), melewati jalan yang dikepung sawah yang ditumbuhi padi muda. Kebetulan ada petani yang sedang berdiri di salah satu petak. Sepertinya pemandangan biasa kan? Namun sebenarnya tidak.

27 November 2015

Sesosok Hitam di Kamar yang Rapi

Selasar lantai tiga kampus tiga Universitas Atma Jaya Yogyakarta kala itu tampak sepi. Di kursi-kursi panjang itu terlihat beberapa mahasiswa berpakaian atasan putih dan bawahan hitam. Beberapa dari mereka memegang setumpuk kertas putih dengan muka gelisah yang ditenang-tenangkan. Namun siapa mengira, ada perjuangan “hidup-mati” rentetan mahasiswa dalam ruangan-ruangan di sana.

Sendirian mencari sesosok makhluk hitam yang sedang disidang, aku tak kunjung menemukannya. Hingga akhirnya terlihat tas hitam yang kukenal. Anehnya, tak ada yang menjaga tas itu. Sangat lain dari mahasiswa lain yang sedang sidang, si pemilik tas tak ada yang menunggu. Aku yakinkan diri untuk duduk di sebelah tas itu. Lima menit kemudian keyakinan terbukti benar.

Pintu ruangan depanku persis terbuka perlahan. Makhluk hitam membuka pintu dengan agak gemetar dan pucat. Wajahmu kala itu sangat kampret. Serius.

“Gimana, bos?”

“70 persen, bos. 70 persen aku ngulang sidang,” katamu sambil geleng-geleng kepala. Bibir yang pucat kering itu tersenyum kecut.

“Ah, taik.”

***

Itulah dirimu, Gida. Pemuda Jakarta Pamulang satu ini memang seringkali terlihat tak percaya diri dengan kemampuannya. Ujung-ujungnya kau lulus sidang skripsi dengan revisi. Revisinya banyak? Tidak. Materi revisi itu sebenarnya sudah ada di tulisanmu. Hanya saja kau tak mampu menunjukkan ketika ditanyai dosen penguji. Bukan begitu ceritamu?

Kau memang banyak menyembunyikan kemampuan. Satu-satunya yang dibuat menonjol adalah ketika bermain sepak bola. Kemampuan berlari, menggiring, dan menjebloskan bola ke gawang lawan jangan lagi diragukan. Tapi itu dulu, enam hingga sembilan tahun yang lalu. Ketika kita sama-sama masih nyantri di Muntilan. Ketika fisik masih prima dan otot perutmu terukir jelas. 

Sekarang? Bisa lari keliling Tambakboyo seputaran saja kita patut bersyukur. Lantas kita syukuran dengan bergelas-gelas es kopi dan asap pekat. Tak lupa kita menertawakan nasib naas kita, bersama Dicky dan Bayu, dua kekasih setiamu itu.

Hampir sepuluh tahun mengenalmu, aku tahu apa yang lebih darimu. Kamarmu selalu rapi, bung. Setidaknya bila dibandingkan dengan kamarku.

“Sebenarnya nggak rapi, bos. Cuma yang berantakan itu gue tutupin,” ujarmu merendah.

Namun memang aku melihat banyak tirai ungu di mana-mana. Tirai yang kau buat sendiri dari seprei bekasmu. Seprei beraroma sp*rma kadaluarsa dan keringat lelaki dewasa.

Kamarmu yang rapi itu selalu jadi tempat tidurku. Di kontrakan kalian dulu, selalu ada ruang luas di bagian tengah yang bisa kupakai tidur. Namun aku selalu pilih merebah di kamarmu. Dengan bantalmu yang agak keras, aku selalu terlelap. Semilir halus angin dari kipas kecil di ujung kamar turut menyumbang lelapku itu. Lalu pagi-pagi sekali aku membangunkanmu—yang semalaman tidur di sampingku.

Oh ya. Puji Tuhan, lubang pantatku masih baik. Entah dengan milikmu.

***

Sejak semester pertama di asrama, kita sudah akrab. Seingkatku, kau teman pertama yang menginap di rumahku. Lalu suatu saat kita beli MP3 player di Ramai. Barang itu masih tergolong mewah dan populer kala itu. Lumayan, bisa untuk menemani mencuci dan setrika baju di asrama. Dari lagu-lagu yang kau jejalkan, aku tahu kita sama-sama penikmat Sheila On Seven.

Lagu-lagu Sheila lalu sering jadi lagu pengiring kisah cinta kita masing-masing. Tentang cinta yang tumbuh tanpa kendali di ladang orang. Kau dengan dia (dan dia), aku dengan mereka dia yang lain lagi. Di kamarmu yang rapi itu kau sering bercerita sambil aku memetik gitar lagu Sheila. Kalau aku yang bercerita, cerita itu kututup pula dengan lagu-lagu mereka. Hingga kini, banyak lagu Sheila yang membuatku teringat masa-masa di kamar tidurmu.

Kamarmu itu ruang serba guna, bung. Kamarmu tak hanya tempat kau berjibaku dengan gadis-gadis lugu. Atau tempat singgah Bayu sepulang dari kantor, sebelum dia ke kamarnya sendiri. Sebenarnya, kamarmu tak lebih dari tempat sampah berton-ton abu daun kita berbanyak. Abu yang muncul bersama dengan permainan kartu yang bikin kita tertawa hingga perut sakit. Abu yang sama yang menemani omong kosong kita tentang masa depan.

Ya, tentang masa depan. Tentang umur berapa kita masing-masing akan meninggalkan masa lajang. Tentang sepeda motor BSA yang akan kau beli sebelum uangmu habis untuk beli susu anak. Juga tentang hal penting macam: bagaimana menyembunyikan folder film porno di komputer kita. Kau menamainya “semi”, sedang aku menamainya “project.”

***

Soal kekuatanmu yang lain, aku sudah tahu sejak dulu. Kau adalah pendengar yang baik. Setidaknya bila dibandingkan denganku. Aku hanya bisa tertidur ketika Chaki curhat. Ketika Chaki selesai bercerita lantas aku bangun dan bertanya (atau menyimpulkan?), “Dadi sajane masalahe wis rampung to?” Ya bagaimana lagi. Lampu kamar kala itu sengaja mati, dan satu-satunya cahaya adalah dari lilin kecil yang kita nyalakan di tengah.

Serius. Kau kadang juga lebih dari sekadar pendengar yang baik. Bagiku, kedua telingamu adalah tempat terbaik untuk mengisahkan drama-drama percintaan remaja yang asu bajingan marai sedih aku alami. (nyumet sik...) Pertama-tama kau akan memahami sudut pandangku. Kedua, kau akan menyatakan pandanganmu. Ketiga, kau akan memberikan masukan. Semua itu kau lakukan tanpa sedikitpun aku merasa sikap kita berhadap-hadapan.

Hingga kini kau masih menawarkan diri jadi pendengar yang baik. Jarak kita saat ini terpaut 550an kilometer. Secara berkala kau menanyai bagaimana kabarku, juga bagaimana kabar ibuku yang sedang sakit. Aku juga sering menanyaimu. Setelah kau berhasil menjalankan nadzarmu untuk donor darah setelah lulus sidang, bagaimana kisah pencarian kerjamu?

Berkali-kali aku bilang kalau pekerjaan itu jodoh. Mau sebagus apa kualitas dan kapasitas seseorang, ya dia tak akan diterima kalau perusahaan tak butuh. Barangkali dari perspektif ajaran agama, kita hanya bisa berjuang keras dan memohon agar Tuhan memberikan yang terbaik. Sebenarnya tanpa berjuang keras pun Tuhan akan memberikan yang terbaik—kalau Dia memang berkenan.

Contohnya?

Seperti yang aku alami ini, bung. Aku tak pernah berjuang keras menjadi orang super baik, tapi dia memberikan kepadaku kalian, teman-teman yang sangat baik. Kau adalah satu dari mereka yang baik-baik itu, bung. 

Maka angkat dagumu segera! Kamu orang berhati baik yang akan selalu mendapat hal baik di hidupmu. Soal hari ini usiamu sudah seperempat abad, mari kita berbahagia. Semogalah kebahagiaan itu selalu jadi santapanmu setiap hari.

Selamat ulang tahun !

16 November 2015

Jangan Baca, Anda Berisiko Sakit Hati

cerita kali ini nylekit, dungu, nyinyir, dan beraura negatif. anda-anda yang tidak siap sakit hati lebih baik berhenti baca sampai di sini.

02 November 2015

Maaf, Sandalnya Sedang Pergi

Maaf, Sandalnya Sedang Pergi

bukanlah muntilan, apalagi merapi,
yang membuat kita jalan di atas
sandal yang sama

sandal itu butut, bau, dan tiap
sudutnya punya tanda kalau kita
berjalan lewat medan yang kasar,
berat, dan tak kenal ampun

kadang berendam di air sejuk
lalu dihajar di panas aspal kota
lantas mendarat di mulut kita
yang kian pandai mengumpat

sebilah sandal tak pernah kekal,
layaknya tiap hal kecil di sudut
semesta ini

kini kau berganti sandal,
melompat anggun ke kaki lain
yang lebih kuat,
lebih hangat

lantas aku lelehkan sandal
pakai air mata mendidih,
sambil belajar terbang

2015

bangun tidur

01 November 2015

Ijinkan Aku Mengingatmu

Ijinkan Aku Mengingatmu

dengan air mata bisu
dengan lambaian tangan
yang enggan mengeluh

berkemaslah, kenangan,

pergilah.

2015

14 October 2015

Omong Kosong dan Kepedulian Kita

via www.multiraedt.nl
Media sosial itu layaknya pemutar musik. Ketika kita buka, kita menyalakan tombol “Play”—seketika riuh terjadi. Ketika kita menutupnya, tombol “Stop” lah yang kita tekan. Barangkali tidak  hening, tapi kita akan dengar suara lain selain musik.

13 October 2015

How A Man Miss Some Random Moments

Night was always be a missed moment a year ago. This was a beautiful time to enjoy youth-time with some friends—and some random things of course. We played card games after had a jogging-chatting. We were jogging for 30 minutes (or less), chatting for 30 minutes, and playing card for more than 4 hours. What a great night.

10 October 2015

Manusia Tanpa Titik

Manusia Tanpa Titik

"aku lelah" katamu dalam
deretan panjang gatra
sombong sarat nafsu

08 October 2015

YEAH RIGHT.

I write almost every day. Sometimes I wake up early just to write, the other time I have to wake up until mid night. It doesn’t make me a good writer though, but it is like the best time in my life. 

Through my writing I can think everything without other doubt me (yes, I am not a confident man). I can freely talk to the universe about something, and I can change the topics every time I want to do it. But now, since September actually, writing is not always makes me as a free-man.

I have a new challenge to finish my master’s thesis. I always remember how I finish my bachelor’s thesis at 2013. It’s not very difficult and complicated writing I guess, but sometime writing just getting to the mind burden, even soul burden. The acne(s) came to my face, destroyed my dream to have a smooth skin face. Hahaha No, I’m not that kind of guy. One thing that always come to me: procrastination.

“I want to write it later, after midnight. Now I can’t have focus my mind, this room is too full of light,” I said. “What are the people doing in library? I can’t write my thesis there. My friends just make me have too many talks than write,” I said. And the other thousands excuses I always make.

Now, I’m learning to say “Yeah..” everytime I make an excuse. Free-letics’ quote is the one who inspired me. It’s not the time to follow my excuses again, that’s my past. How about you?


YEAH RIGHT.

07 October 2015

Jogja Hari Ini

Jogja Hari Ini

hari ini jogja berulang tahun
sudah 259 usianya
#HUT259Jogja tulis mereka
di akun-akun dunia maya

05 October 2015

Menyoal Blusukan Virtual


Aroma e-government rasanya makin menyengat di ujung hidung publik. Belum rampung dengan urusan e-KTP yang berlubang sana sini, wacana pelayanan publik kembali dihangatkan dengan rentetan e- yang lain.

04 October 2015

Rindu Berpisah

Rindu Berpisah

pagi tadi air menjelma
kabut yang kau titipkan
kala debu kaliurang
terkibas dari kakimu

dingin kala disentuh,
hangat kala diseduh

mereka terampil mengail
rindu yang senang
berenang-renang
di kubangan kata;

juga rindu yang tersesat
pada desah singkat
yang samar terdengar
kala kita bercinta

kini temu tak lagi manjur
merawat ingat yang kau
lekatkan ke jidat,
juga ke pintu kamar
yang kepadanya kita pantas
bilang: matur nuwun.

jelang siang air menyerupa
recehan yang enggan
kulepas kala ibu tua
meminta melas.

kini rindu tak terbasuh temu,
jiwa melayang-menggelandang,
dan resahmu terjun ke entah.

barangkali.. itu cara terindah
untuk mengucap pisah.

Besole,
wetan cakruk

2015

28 September 2015

Hati-Hati Upload Foto(Selfie)mu

PNS Beruang Madu Ditangkap

Dulu saya pernah menulis andai mas Danang ‘Kucing’ itu enggak mengupload korbannya di Facebook, mungkin dia enggak harus mengalami pengalaman pahit. Bukankah dibully di media sosial, diteror lewat hape, hingga dikeluarkan dari pekerjaan adalah pengalaman pahit?

18 September 2015

17 September 2015

Jogging atau Bersepeda?

Mana yang lebih efektif membakar kalori? Mana yang lebih efektif menurunkan berat badan? Mana yang lebih efektif membakar lemak? Bla.. bla.. bla..

10 September 2015

titik dua petik tunggal kurung tutup adalah selamat tinggal

Tante pegawai punya media sosial. Dia pakai akun itu untuk buku harian dan album fotonya. Setiap hari dia cerita kalau dia sedang bahagia, kecewa, hingga marah. Dia juga cerita soal pacar, mantan(nya) pacar, teman kantor, hingga orang rumah. Pernah dia cerita kalau habis gajian, katanya bikin semangat kerja. Pernah juga dia unggah capture-an obrolan di grup karena dia habis menyapa anggota grup satu-per-satu.

08 September 2015

Radius 1 Kilometer

Akhir bulan kemarin saya ikut event olahraga di almamater. Event ini bisa dikatakan sukses karena tiket sold out pada H-sekian. Dengar-dengar, tiket yang terjual sekitar 3.000 lembar. Beberapa acaranya adalah lari (pakai bubble dan warna), penampilan musik, pembagian doorprize, dan musik ala dugem. Nah, yang terakhir ini yang membuat saya terdiam dan merenung.

28 August 2015

Singkek dan Kerak Rasis yang Enggan Hilang

Ketika SD dulu saya dengar istilah ‘singkek’ untuk dilekatkan di belakang kata ‘cina.’ Sebenarnya saya tidak tahu betul apa maksudnya, tetapi yang saya duga itu adalah istilah untuk orang Cina totok. Orang Cina asli. Sifat yang dilekatkan pada kata itu adalah pelit, galak, kejam, sombong, mata duitan, dan sebagainya.

26 August 2015

Bom Thailand di Kepungan Komunikasi* ala FPI** dan Cingkim Netizen

Sore kemarin saya agak terkejut ketika sedang scrolling Facebook. Seorang teman kuliah membagikan tautan dari akun Facebook bernama “Front Pembela Islam – FPI” yang menulis soal pelaku bom di Kuil Erawan, Bangkok, Thailand, yang sudah tertangkap. Menurut postingan akun tersebut, pelaku ternyata adalah warga Amerika Serikat beragama Kristen.

25 August 2015

Pantaskah Kita Bersyukur Saja?


“Kamu kenapa, yan? Kayak lagi kepikiran apa,” tanya Samdy suatu sore. Dia reporter harian bisnis ternama di Ibu Kota. Orangnya agak kaku, kadang bertindak sesuka hati, tapi perlakuan dia ke saya sangat baik. Beberapa hari kemudian dia menghubungi lewat telepon ketika saya “bersemedi” di kamar kos. Seingat saya, dia satu-satunya kawan yang menelepon ketika itu.

09 August 2015

Menyoal Berita NasionalTimes


Ketika membaca media online yang bukan media mainstream, biasanya saya hanya lewat saja tanpa pikir-pikir lagi. Apalagi kalau judul dan beritanya terkesan ngawur atau provokatif. Namun kali ini hasrat kepo saya atas sebuah media online tak tertahankan lagi, membuncah dan harus segera dilahap. Demikianlah kisahnya.

08 August 2015

Letakkan Kameramu!

Sebuah artikel di Fotokita.net tahun 2012 pernah menulis soal tips memotret matahari terbit di gunung. Bukan iklan, tapi situs ini cukup memenuhi kebutuhan bacaan saya soal fotografi. Dia mengulas banyak hal soal tips memotret, kamera, lensa, dan banyak hal yang terkait di dalamnya.

20 July 2015

Barangkali Ini Lebih Penting, Monalisa..


Sumber: antarafoto.com
Belum rampung urusan kesulitan pangan lantaran turun embun beku, Papua kembali dihantam persoalan. Orang sibuk berspekulasi sana sini soal insiden di Tolikara hari Jumat (17/7) kemarin. Konon, spekulasi ini juga dikompori oleh media-media yang tak membangun cerita utuh dan akurat untuk diakses publik.

16 July 2015

Karakter Rekaan

saya kenal, atau sekadar tahu, dengan orang yang senang menuliskan ini di jejaring sosial dia:

.: mengklaim dirinya antimainstream
beberapa kali dia membanggakan pekerjaannya yang tak terikat perusahaan, tidak seperti teman yang lain. dia sering bilang lebih nyaman pakai celana jeans daripada celana bahan.

.: bermeditasi
dia mengutip kata.kata dari buku yang dia baca; mengunggah foto buku, lilin, dan secangkir kopi yang menemani dirinya bermeditasi

namun, yang saya lihat justru sebaliknya.

Kisah Sedih di Hari Hari Biasa

ibu kondhur banjur muwun
atine remuk tanpa wujud.


ngendikane ibu,



neng kidul desa ana

wong kere dipakake asu.

Juli 2015

Keretasu

Keretasu

stasiun dan kamu punya
kisah kisah biasa
yang tak pernah aku suka.

gerbong kereta selalu tega
mengangkut cinta yang
sebentar kemudian berpamitan.

sedang aku hanya berdiri
menatap lari detik
yang mengundang perih.

dekap aku, kamu

sebelum roda besi
menggelinding angkuh
ke timur yang jauh

sebelum kelam menelan
teduh yang kita cipta.

Juli 2015

08 July 2015

Sesal Tak Kunjung Henti


Ketika umur 18 tahun saya pertama kali bergabung dalam sebuah produksi film. Dengan kepala kosong, saya bergabung menjadi penata artistik alias Art Director. Dari situ saya jadi tahu kalau bikin film sepanjang 10 menit saja butuh waktu berjam-jam untuk ambil gambar dari berbagai macam angle

Gagal Kembali



GAGAL KEMBALI

kamu masih ingat?
tatkala bulan menyuruh kita
berhenti bercinta.

karena di langit sana
santo santa mengumpat pelan
ingin terlahir kembali.

Juli 2015

Kutang

Kutang

tadi malam bulan asu
dia tertawa hina
kala ibu merajut
kutang baruku.

kutangku yang lama mulur
mencipta celah
tempat angin masuk
membius dosa manusia.

menembus nalar kita.

Juli 2015

Petasan

PETASAN

petasan ingin bertanya,
mengapa diri tercipta untuk

menyobek gendang,
menghancurkan jemari,
memacu detak jantung,
dan mengotori jalan?

Juli 2015

06 July 2015

Jam Terbang

Selama saya kuliah, sering ada pertanyaan yang tak pernah terungkap, “Mengapa para dosen bisa begitu pintar? Berapa banyak buku yang mereka baca? Berapa jam dalam sehari mereka membaca?”
Lalu saya membuat niat bodong, alias tak pernah terjadi. Niat itu adalah rajin membaca hingga sebelum lulus kuliah bisa sepandai mereka.
Sebuah kenyataan menghampiri saya. Paling tidak menyadarkan bahwa saya tidak usah terobsesi sampai segitunya.
Mereka para dosen itu memang sudah lama belajar ilmu ini. Mereka sudah mulai mendengar nama Lasswell sejak tali pusar saya belum puput, atau sejak dalam kandungan, atau sejak bapak ibu masih mengusahakan saya untuk ada.
Tidak, itu tidak menghentikan aktivitas membaca saya. Kenyataan itu membuat saya lebih realistis dan menyadari: barangkali memang jam terbanglah yang berbicara.

Baca Tulisan Lain