Skip to main content

Barangkali Ini Lebih Penting, Monalisa..


Sumber: antarafoto.com
Belum rampung urusan kesulitan pangan lantaran turun embun beku, Papua kembali dihantam persoalan. Orang sibuk berspekulasi sana sini soal insiden di Tolikara hari Jumat (17/7) kemarin. Konon, spekulasi ini juga dikompori oleh media-media yang tak membangun cerita utuh dan akurat untuk diakses publik.

Terus terang, saya kesulitan untuk mengidentifikasi mana berita yang akurat dan mana yang asal-asalan. Paling-paling yang saya anggap akurat adalah berita-berita yang ditulis pewarta dari media yang saya anggap kredibel, misalnya Tempo, Kompas, Antara, dan (tentu saja) Bisnis Indonesia. Belum ditambah dengan berbagai informasi bertekstur renyah yang dimuat oleh situs-situs yang, pinjam istilah bung Gibran: enggak jelas.

Nah, lewat coretan kecil ini saya menanggapi berita dari Antaranews.com berjudul Romo Magnis: Semua Gereja menolak kekerasan yang diwartakan oleh Monalisa.

Seperti yang tertera pada judulnya, pewarta menuliskan apa yang dikatakan oleh Romo Magnis soal kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok jemaat gereja Kristen Protestan ini. Romo Magnis, sebagai seorang pemuka agama Katolik sekaligus ahli filsafat etika dari STF Driyarkara, menekankan gereja menolak segala bentuk kekerasan. Kekerasan dalam kasus ini, lanjutnya, harus segera ditindak.

Menurut saya, ada hal yang menarik dari berita ini. Pada satu paragraf sebelum paragraf terakhir Monalisa mewartakan demikian:

“Bahkan, tambahnya, pemerintah bisa membentuk tim khusus apabila memang diperlukan. Namun yang terpenting, menurut Romo Magnis, harus melibatkan orang-orang Papua.”

Perihal yang ingin saya garisbawahi adalah “..yang terpenting, menurut Romo Magnis, [pemerintah] harus melibatkan orang-orang Papua.”

Lantas, apa yang menarik? Mengapa perlu digarisbawahi?

Andai saya bisa mengontrol isi pemberitaan, saya justru ingin agar wacana ‘terpenting’ ini selalu dimunculkan oleh media setiap kali mereka menuliskan soal konflik di Papua. Media perlu membangun wacana di perbincangan publik yang mendorong pemerintah untuk melibatkan orang-orang Papua untuk menyelesaikan persoalan di tanah mereka sendiri. Sebenarnya tidak hanya Papua sih, tetapi juga (masyarakat) daerah lain yang seringkali masih merasa ‘dijajah’ oleh pemerintah di Jakarta.

Dari beberapa hasil penelitian yang saya baca sekilas tempo hari, saya memetik kesan pemerintah Indonesia ini memang masih menerapkan kebijakan yang kontradiksi dengan semangat membangun. Soal yang sering disinggung peneliti-peneliti sosial ini adalah pemerintah lebih sering menjadikan Papua sebagai objek pembangunan, bukan subjek pembangunan.

Dalam bahasa yang lebih halus dan sangat sopan, pemerintah akan membuat saudara-saudari kita itu bodoh, terpencil, primitif, dan masih bergantung pada pemerintah Indonesia.

Jika pemerintah tidak memberikan kesempatan ini, lantas dengan cara apa orang-orang Papua dapat berkembang? Bagi saya, konflik dan persoalan hukum tak akan selesai tuntas bila hanya selesai secara seremonial jabat tangan para pimpinan atau ketok palu para hakim. Proses ini adalah kesempatan emas bagi orang-orang Papua untuk menunjukkan kearifan lokal mereka guna menyelesaikan persoalan yang timbul.

Itu tadi angan-angan saya kalau bisa mengontrol isi berita. Pewarta Monalisa tidak salah menuliskan berita ini, hanya saja menurut saya ada isu lain yang perlu lebih ditekankan. Apalagi kalau yang diwawancara adalah Romo Magnis. Bagi saya beliau lebih dari seorang pemuka agama. Romo Magnis adalah filsuf yang memang bertugas untuk menerangi nalar-nalar sosial kita yang telanjur berkabut. Sayang kalau beliau ‘hanya’ ditanya dalam kapasitasnya sebagai pemuka agama Katolik.

Saat ini di luar sana media-media berkedok perjuangan agama, jejaring sosial, dan apapun yang enggak jelas ini sedang berlomba-lomba membuat cerita yang makin renyah, makin berbumbu. Barangkali makin mereka begitu, makin publik suka. Maka lebih baik saya hentikan ocehan ringan ini sebelum ide saya mandeg. Anggaplah tulisan ini sekadar remukan gorengan yang terlepas dari isinya.

Semoga damai di Papua, sedulur!

~Besole, tiga titik dua belas

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.