Skip to main content

Sesal Tak Kunjung Henti


Ketika umur 18 tahun saya pertama kali bergabung dalam sebuah produksi film. Dengan kepala kosong, saya bergabung menjadi penata artistik alias Art Director. Dari situ saya jadi tahu kalau bikin film sepanjang 10 menit saja butuh waktu berjam-jam untuk ambil gambar dari berbagai macam angle

Setelah pengalaman pertama tersebut saya jadi punya perspektif lain kalau nonton film. Dulu kalau nonton ya nonton aja, tapi setelah pengalaman pertama itu semua berubah. Saya tak lagi menikmati cerita, dialog, ekspresi, dan akting pemain, tapi membayangkan bagaimana gambar tersebut diambil oleh camera person.

Namun karena satu dan lain hal, saya tidak menemukan lagi keasikan dalam produksi film. Namun paling tidak saya jadi tahu (sebagian kecil saja, tak lebih dari satu persen) bagaimana sebuah film diproduksi.

Selain produksi film, saya juga belajar sedikit soal kajian tentang film. Tidak secara spesifik sih, tetapi film sebagai salah satu bentuk media. Kajian ini adalah kajian kritis. Bahwa film adalah sebuah produk budaya, yang mengandung ideologi tertentu di dalamnya. Sering disebutkan kalau cerita film ini mengandung pesan yang seringkali berbahaya bagi kita. Istilahnya, reproduksi kebodohan.

Belum ditambah soal pandangan bahwa industri film adalah salah satu fenomena culture industry yang digagas Adorno dan Horkheimer dalam tulisan mereka tahun 1944. Makin kacau saja kacamata yang saya gunakan untuk nonton film.

Bagi para pemikir film, kritikus film, peneliti film, dan semua orang yang dekat dengan pengkajian film, barangkali bukan persoalan penting bagi mereka untuk menonton film menggunakan berbagai kacamata yang mereka punya. Namun rasanya saya sedikit terganggu.

Bayangkan, setiap nonton film saya malah berpikir:
Ah, jumping.
Ceritanya gampang ditebak. Ujung-ujungnya gini.
Adegane ora mutu, ora alami.
..dan sebagainya.

Maka pada suatu saat, tepatnya beberapa minggu lalu, saya memutuskan untuk melepas kacamata-kacamata kampret itu. Tentu tidak bisa sepenuhnya, tapi saya coba fokuskan energi saya untuk “menikmati cerita tanpa bertanya” pada diri sendiri. Kendalikan pikiran untuk mengkritik, dan terus saja ikuti cerita yang disajikan.

Saya merasa sedikit berhasil, paling tidak setelah film tersebut selesai, saya masih kepikiran ceritanya tanpa harus mempertanyakan, menemukan kesalahan gambar, dan sebagainya.

Film yang berhasil saya ikuti adalah dua film serial Korea—yang selama ini tak pernah berhenti saya cemooh. Saya tonton secara marathon, meski tidak seharian penuh, lewat saluran Youtube. Ini dosa saya yang kedua, barangkali, sebagai seorang pelajar kajian komunikasi dan media: pembajakan. Dosa pertama ya melepas kacamata buat melihat semua ini.

Butuh beberapa hari untuk menyelesaikan puluhan serial tadi. Maklum, masing-masing serial punya durasi sekitar satu jam lebih beberapa menit.

Setelah dipikir-pikir, saya jadi terkejut sendiri karena sudah melahap serial “Master’s Sun” dan “Full House.” Makin terkejut dan menyesali diri ketika kadang pipi saya basah dengan sendirinya. Entah air dari mana.

Diam-diam saya terus mencari-cari, serial mana yang akan saya lahap dengan rakus setelah ini. Sambil tetap menyesali dan mengutuk diri sendiri. (*)

LAMPIRAN

Ini salah satu foto dari film serial Master's Sun
Sumber: asianwiki.com
Ini salah satu foto dari film serial Full House
Sumber: fanpop.com
Jika anda peka, pasti anda menemukan kesamaan di dalam foto ini.
Lalu cobalah untuk menerka, siapa dengan siapa, dan ada apa di balik hubungan mereka.

Ah, sudahlah.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.