28 December 2016

Pilihan adalah Ilusi

cinta dan benci
kita berjalan di satu kutub ke kutub lain
pada jalan cinta kita bawa benci
pada jalan benci kita bawa cinta

kala tidak jalan, kita tak bawa apa.apa dan sudah itu mati

tak selalu kita bisa pilih mereka,
angkut semuanya !


17 December 2016

Seperti Kucing

“I wish my God you’d stay, kanca kenthelku..”

seperti kucing putih yang selalu diusir bapak di teras depan rumah tiap pagi. tak peduli betapa kotor dan berdebunya teras rumah kami, kursi paling timur selalu jadi tempat tidurnya. dia hanya pergi sebentar tapi pasti kembali lagi. tiap kali dia pergi selalu ada jejak tapak kaki kucing yang aku tak tahu bagaimana caranya meninggalkan jejak menjemukan itu

gagang sapu
semprotan air
guyuran gayung
bentakan serak kasar
kurang satu yang belum kami lakukan: meracuninya

sebangsat.bangsatnya kucing itu, kami tak mungkin membunuhnya. perlahan atau secepat kilat, kejam atau penuh kasih, pokoknya tak mungkin. di leher kucing putih ngantukan itu ada kalung merah dengan lonceng kecil, tanda kalau dia dimiliki oleh suatu kampret yang lebih pantas mengakhiri hidupnya

“Just enjoy your life, kanca kenthelku..”

seperti kucing putih yang egois dan tak pernah tak terlihat mengantuk di teras depan rumah. dia bangun hanya untuk mengolet dan mengubah posisi tidur. dari telungkup menjadi miring, dari miring menjadi telentang

“aku berangkat kerja, kamu tidur.
aku pulang kerja, kamu tidur juga.
kok penak banget uripmu cing?”
tanya ibu suatu sore.

apa jawab kucing?

dia buka mata sebentar dengan sayu, memastikan bahwa ibu bukan sosok berbahaya untuknya, lalu kembali melanjutkan mimpinya yang tertunda tadi. ah, di mana ikan yang di meja tadi? oh bukan, itu bukan mimpinya, dia sedang mimpi bercinta dengan kucing cantik yang adalah putri kerajaan di barat laut sana. “dekat danau toba,” katanya

“Just relax like always, kanca kenthelku..”

seperti kucing putih yang birahi pada bulan.bulan yang biasa bagi kami. kala musim bercinta dia mengeong keras tanpa peduli kami bahagia atau meringkuk sedih ditemani mendung.

suaranya sama
lapar
terangsang
marah
memohon kawin

suaranya seperti bayi menangis, padahal dia ingin kawin. barangkali seperti desahan.desahan kita waktu dewa cinta sedang memahat nikmat di tubuh yang sebentar ini

aku ingin

ingin

kekancan sing luwih kenthel


Sleman
seminggu sebelum kekasih pulang


16 December 2016

Jreng

begini cara kerja ingatan, sayang
kursi tamu budhe dan ciuman pertama
jok motor bebek yang sisa banyak
pelukmu erat pada pinggang
seragam putih biru dan nilai 10

sosok yang bicara dari masa lalu tapi
gemanya masih terurai dalam tiap kucekan
tanganmu ke pakaian yang tiap hari kau
cuci sehabis mandi

inginlah menggondolmu dengan paksa
ke jalanan licin stockholm pinggir pantai
dan napak tilas ke cardiff yang ramai
suara bule beraksen british kental

tapi itu jauh dari jatiningsih..
terlalu jauh

“wajar, aku butuh teman..”
“iya..”
“tenang, it’s so yesterday..”
“iya..”

lalu aku diam dan melihat kotoran hitam di kuku
kalau kucungkil dalam.dalam nanti malah luka
atau semakin dalam
lantas makin banyaklah hitam.hitam yang hinggap

sementara angin bersenandung kecut sambil
sembunyi macam pengecut

“Hold back the night.. light up the sky..”

jreng.

Sleman dini hari
16122016

15 December 2016

BUKAN DESEMBER

: teringat mariyah dan jabang bayinya

bukan desember gerimis ini yang meletupkan aroma.aroma sepi mengharu biru di antara sepatu tracking penuh lendutmu, tetapi adalah sesembahanmu yang kepada pencipta yang memekakkan cuping telinga bayi yang baru lahir prucut dari rahim bundanya yang kesakitan

engkau maha besar !
engkau pantas dibela !

monas, bandung, spanduk, nista, dan deretan kata.kata sakti lainnya sigap memenuhi lini masa atas kuasa ujung pena penulis. semacam tsunami kata dan informasi yang sama sekali tak bikin harga sayuran bawang dan cabai naik lalu memantaskan hidup petani kecil (?)

pun juga pekikan gantung ! bunuh ! sate ! sekarang juga ! kepada si kafir yang diam.diam membangun persinggahan suci dan menjernihkan sungai.sungai yang mengalir menuju muara kepala batumu

bukan desember gerimis ini yang melahirkan gemertakan gigi susu dan kerutan ujung jari yang mati dilahap dingin, tetapi adalah perginya kesehatan akal yang tergusur oleh tarik.tarikan antara: benci dan hasrat cari muka di hadapan sesembahanmu

sementara air mata kecewa kau sebut drama

sementara hari penghakiman betul.betul telah tiba dan memenjarakan keluasan akal yang melekat pada diri sejak sel sperma bapakmu merangsek masuk ke sel telur ibumu

damai yang kau lontarkan tak lebih dari kemenangan egomu, yang juga kedigdayaan politik milik daun.daun muda penuh kepentingan yang merasa layak kau pilih jadi pemimpin

adalah desember gerimis ini yang tak memadamkan api intoleranmu

dan ya, adalah desember gerimis ini yang melahirkan penista Allah  yang kelak (?) mati tergantung di kayu salib dengan ribuan luka menganga di sekujur tubuh

semoga persalinanmu lancar, dewi mariyah

bersiaplah menerangi gelap ini, tus. toss !



Jalan Kabupaten Sleman,
bersama olah.olahan daun


SAMI ASIH GROUP

aku masih duduk melamun di warung
kuning merah bertirai hijau buluk itu.
warung di depan kedai jus pak lebah
yang harganya tak menyengat.

"nastel ak?" sapa pemuda Sunda
dengan mata jenaka. badannya kecil,
dengan urat-urat tangan yang
tampak jelas menghias.

"iya, sama es teh," jawabku otomatis.
tanpa sedikitpun berpikir.
persis pegawai minimarket tiap kali
pelanggan mendorong pintu kaca.

keisengan tak luput mendatangi
pembeli. sering si aa' menaruh
sepasang sendok di satu piring,
dan sepasang garpu di piring pembeli lain.
mereka lantas makan dengan muka masam
meski terhibur. sedikit.

tapi, itu dulu. tujuh tahun yang lalu.
kala warung ini masih kumuh; dengan
alas tanah yang becek di kala hujan.

tiap tahun gadjah mada menahbiskan
putra-putrinya jadi sekrup pabrik yang
luar biasa handal menjalankan negeri ini.

rupanya, seiring pembeli berganti, 
pemuda jenaka itu berganti pula.
dengan rela, ataupun terpaksa.

lantai warung kini keras. dinding bambu
juga berganti semen angkuh. es tehku
tak lagi manis, dan nastel kita kurang
berminyak.

bagaimanapun, aku masih duduk di situ. 
melamun. sambil menerka-nerka apa lagi hal
yang akan berganti di hidup.

semoga bukan kejenakaan kita.


Yogyakarta,
tanggal akhir yang semoga


02 December 2016

Hati Orang, Siapa yang Tahu?

via republika.co.id
Hanya mau mencatat saja kalau hari ini (2/12) ada aksi super damai di kawasan Monas, Jakarta. Bentuk aksi tersebut adalah salat Jumat bersama. Dari sejumlah informasi yang beredar di lewat online (awas HOAX!) jumlah peserta bisa mencapai 2 hingga 3 juta orang.

Jelas, ini peristiwa luar biasa. Hampir semua media meliput, termasuk media-media internasional. Beberapa kedutaan juga bereaksi dengan meningkatkan keamanan.

Bagaimanapun, sebagai pemuda pengangguran di sebuah kota kecil, saya merasa perlu untuk mencatat beberapa hal.

Istilah Aksi

Ketua GNPF MUI Habib Rizieq dalam siaran pers Jumat (25/11) lalu mengatakan bahwa ini adalah aksi super damai. Beberapa media turut menyebut aksi ini juga dengan istilah “aksi super damai,” ada juga yang menyebutnya “aksi damai” saja.

Presiden Jokowi menyebutnya berbeda. "Kan gak ada demo, siapa bilang akan ada demo. Yang ada doa bersama, bukan demo ya," tegasnya di depan para awak media.

Setahu saya, hanya Kompas TV yang turut menyebut aksi 212 ini (istilah apa lagi ini) dengan “doa bersama.” Barangkali ada media lain yang menyebut serupa, mohon dikoreksi.

Ada yang bilang aksi Bela Islam III. Aksi 212. Tampaknya kalau ini mau dijadikan sejarah, memang perlu ada penyeragaman ya. Atau nggak perlu? Kayaknya generasi ini udah jengah sih dengan penyeragaman, tapi enggak tahan juga dengan keberagaman. Ah sudahlah.

Salkus

Seperti biasa, selalu ada yang bikin salkus alias salah fokus. Pertama, tentu saja, payung biru yang digunakan Jokowi dan rombongannya untuk melindungi diri dari rintik hujan yang menemani untaian doa.

Oh ya, dengar-dengar sudah ada open order. Payung warna biru di luar, abu-abu di dalam. Serius? Setelah jaket bomber? Yeah, ini serius.

Kedua, bapak polisi ganteng yang bagi-bagi air mineral. Dilihat-lihat emang ganteng sih, beliau putih dan bersih gitu. Namun saya belum tertarik, sejauh ini saya masih terangsang kalau lihat perempuan saja.

Ketiga, keempat, kelima, keenam, silakan tambahi sendiri.

Kalau ada salah fokus, lantas fokusnya apa? Sekadar mengingatkan saja, Habib Rizieq menuturkan, "Target kami adalah tetap saudara Basuki Tjahaja Purnama ditahan."

Dengan cara gelar sajadah, salat Jumat bersama, berdoa dan menyebut kebesaran nama Sang Pencipta, dengan tujuan hukum yang spesifik: Ahok ditahan.

Tentu saja, aksi super damai ini tak hanya berisi doa bersama seperti yang dibilang Presiden Jokowi. Bagaimanapun, ini adalah bagian dari unjuk rasa, lengkap dengan yel-yelnya: “Tangkap tangkap tangkap si Ahok. Tangkap si Ahok sekarang juga!”

Tangkap.. hap! Oh. Bukan.. itu bang Ipul.

Pidato Kapolri

Nah, ini yang menarik. Media banyak mengabarkan soal pidato Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang diinterupsi. Namun bagi saya, dan tentu buanyak orang lain, ada yang lebih menarik: cara bapak ini menyinggung KPK.

Beliau mengatakan dalam pidatonya, “Apa yang kami lakukan sudah cukup maksimal. Kenapa? Karena bayangkan, beberapa kali juga [Ahok] diperiksa KPK tidak bisa jadi tersangka. Tapi, setelah ditangani oleh Polri, bisa menjadi tersangka."

Tentu Anda bisa menebak kata-kata apa yang dipekikkan bersama-sama dengan lantang oleh para peserta. Saya nggak mau nyebut. Saya Katolik. Berrisiko dibui, bung, saya belum kawin pula.

Em.. entah apa yang ada di pikiran bapak ini. Belakangan beliau dipuji dan diapresiasi karena berhasil mencapai kesepakatan yang sangat baik dengan GNPF MUI. Namun saya pantau di media sosial, banyak pihak kecewa dengan pernyataan yang satu ini. Seakan gendang perang dengan KPK ditabuh kembali.... kan ngeri.

Kebersamaan

Ini yang luar biasa. Banyak masyarakat turun tangan menyumbang apapun yang mereka bisa. Mulai dari memasak, membagikan bekal nasi atau roti kepada para peserta. Tak lupa konsumsi air putih yang tentu saja sangat dibutuhkan. Bahkan panitia aksi juga menyediakan colokan listrik bagi peserta yang butuh mengisi ulang daya baterai ponselnya. Sumber listriknya? Sumbangan pribadi. Keren kan?

Terus juga ada cerita para santri yang berjalan kaki dari Ciamis menuju Jakarta. Mereka berjalan bersama rombongan dan dikawal patroli macam-macam. Ini tidak main-main, bung. Berdasarkan pencarian di Google Maps (lihat gambar di bawah), jarak tempuh mereka bisa mencapai 270 kilometer.




Ada juga momen kebersamaan (dan tanggung jawab) yang tak kalah keren, yaitu bersih-bersih sampah. Baik di jalur pendakian maupun di jalanan metropolitan, hukumnya selalu sama: di mana ada manusia, di situ ada sampah. Ya, kadang ini agak lebay. Tapi memang betul ‘kan? Buktinya ada banyak sampah yang dipunguti bersama-sama. Ini contoh yang baik dalam unjuk rasa. Serius. Komitmen ini patut sekali dicontoh.

Jelas, kebersamaan muncul dan terlihat. Apapun konteks dan tujuannya, apapun cara dan modus-modusnya, nyatanya kebersamaan itu terlihat. Aksi ini nyatanya mengundang banyak pihak untuk turut terlibat. Bukan hanya di Jakarta, aksi serupa dikabarkan juga ada di daerah lain, bahkan di luar negeri.

Bagaimanapun, tetap ada sekelompok orang yang resisten. Mereka tak terpengaruh. Kendati biasa ikut unjuk rasa, mereka tetap fokus pada perjuangan mereka. Siapakah? Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (KSPN) salah satunya.

Organisasi ini fokus pada isu buruh, yaitu pengupahan. Dalam setiap aksinya, isu tersebut selalu menjadi agenda tuntutan kepada pemerintah. Isu politik, eh, agama seperti ini, menurut mereka, tidak terkait dengan tuntutan yang mereka perjuangkan.

“Kami memandang aksi 2 Desember sudah bergeser ke isu politik dan soal ras, di mana banyak pihak yang terindikasi sudah sengaja ‘menggoreng’ isu aksi tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya,” tutur Ketua KSPN Rustadi sebagaimana dikutip wartawan Tempo.

Barangkali ini memang kuncinya: memandang.

KSPN memandang isu penistaan ini bergeser ke isu politik dan soal ras. Kelompok lain melihat ini murni isu politik yang diserang menggunakan isu agama dan ras.

Sedangkan kelompok lainnya lagi, saya sendiri tak pernah tahu seberapa banyak, memandang ini murni isu penistaan agama. Nggak ada lah itu kaitan dengan politik dan ketakutan terhadap dominasi ras tertentu.

Soal kelompok yang terakhir, rasanya ini yang paling banyak. Setidaknya, banyak sekali nih di teman-teman di media sosial bilang “tergetar hatiku” atau “merinding” melihat jemaat salat Jumat bersama dalam jumlah yang sebanyak itu. Diguyur hujan pula.

Singkatnya, para peserta aksi Bela Islam III itu berangkat dari panasnya penistaan agama. Disejukkan oleh kebersamaan dan untaian doa. Lantas dibakar kebencian lewat kata-kata “Tangkap Ahok!”

Tentu orang boleh memandang dan berkata macam-macam soal aksi ini. Tapi, hati orang, siapa yang tahu? (*)


Desember di Jogja,
sembari menanti Natal

30 November 2016

Orang di Sela-Sela

Pemandangan dari samping kamar kos Andre.

Jumat sore saya duduk-duduk di teras samping kos kawan saya di Semarang, namanya Andre. Dari tempat itu saya bisa lihat pemandangan rumah dan bangunan lain yang tumbuh subur berjejalan.

Di sela-sela rumah itu ada puluhan, ratusan, jalan-jalan kecil yang telah halus beraspal. Sebagaimana jalan lain di kota itu, jarang ditemui jalanan datar. Rasanya setiap kali melibas aspal kok jalannya turun atau naik, meski hanya sekian derajat saja.

Sayup-sayup saya dengar suara anak-anak kecil yang tertawa riang sekali.

Langit sore dan suara anak-anak kecil yang tertawa riang, bukankah itu kemegahan gratis?

Saya maju ke batas pagar kos dua lantai itu dan melongok ke bawah. Terlihat gerombolan anak laki-laki yang main bola di jalan-jalan. Tentu saja, mereka pilih sepotong jalan yang agak datar. Mereka asyik sekali bermain, sambil sesekali berhenti  tatkala ada pengendara sepeda motor mau melintas.

Selang dua rumah di samping arena mereka bermain terlihat juga anak-anak perempuan yang bawa sepeda mini kesayangan mereka. Rombongan, mereka hampiri satu-satu rumah anak-anak perempuan lain untuk diajak bermain bareng.

“Anak kecil memang paling ahli menemukan kebahagiaan mereka, bahkan di sela-sela kepadatan rumah sekalipun,” pikir saya.

Sedetik kemudian saya sadar bahwa kita memang tak bisa jauh-jauh dari sela-sela—bahkan kitapun hidup di sela-sela!

Dalam wujud sperma, kita dilepaskan di sela-sela vagina ibunda. Setelah menemukan separuh kita (sel telur) lantas kita hinggap di sela-sela rongga dalam rahim.

Dari rahim itu kita keluar  lagi dari sela-sela vagina ibunda. Sebagian dari kita mungkin lahir dengan operasi, keluar dari sela-sela sobekan yang dibuat dokter (/bidan) di perut ibunda.

Begitu terus. Seterusnya. Hingga kita tahu bahwa hidup manusia itu ada di sela-sela keadaan dan ketiadaan. Dari tiada, menjadi ada, kemudian tiada lagi. Tak lebih dari itu.

Sekaya-kayanya kita, semelarat-melaratnya kita, kita lahir dari proses pembuahan di rahim ibunda, dan akan mati terurai menjadi entah. Sebagian orang bilang jadi tanah, sebagain lagi bilang jadi abu/debu. Sebagian lagi bilang kita akan dimakan cacing. Jelasnya, kita hanyalah proses kecil dari semesta yang maha segalanya ini.

Di antara sela-sela itu, di dalam ruang kosong yang tercipta, anehnya kita justru menciptakan makna. Dinding dilubangi jadi pintu dan jendela. Bisakah hidup tanpa pintu dan jendela? Di sela-sela antar dinding ada ruang. Bisakah beraktivitas tanpa ruang?

Namun memang, kadang dunia tak seindah itu. Di sela-sela los dagangan pasar banyak pencopet. Mereka ambil recehan orang lain diam-diam. Di sela-sela gedung pencakar langit Ibukota juga ada jalan-jalan besar,  yang malah digunakan untuk aksi demo. Demo yang awalnya damai dan berakhir ricuh.

Tiba-tiba dan tanpa diduga.. 

Di sela-sela awan sore di depan saya, sinar matahari berebutan masuk. Mereka cari celah untuk tetap turun ke bumi meski mereka sudah melorot jauh ke barat.

Seakan mereka ingin bilang, “Kami akan hilang diganti bulan, tapi tenang, besok kami kembali datang,” sebagai salam perpisahan.

Sayangnya tak ada lambaian tangan atas salam itu. Anggukan pun tak ada.

Anak-anak kecil tetap bermain dengan riang, tak peduli dengan pamitan matahari. Akhirnya saya lah yang melambaikan tangan sendirian. Pelan-pelan sambil lirik kiri kanan.

“Besok pagi saya akan menjumpaimu di Ibukota, matahari. Saya akan perkenalkan kau dengan kekasihku,” gumamku sambil menenggak air mineral yang hampir ludes.

Lantas hidup terus berlanjut di sela-sela waktu yang tak banyak.

The trouble is you think you have time,” tutur Jack Kornfield kala menginterpretasi ajaran Budha.

"Di sela-sela saat ini hingga ajal nanti, saya masih ingin memperkenalkan kekasihku kepadamu, matahari. Berulang-ulang, setiap hari, dan jangan pernah bosan."

Ah. Entah mengapa sore di kota orang menjadi sesentimentil ini.


25.11.2016
Semarang

21 October 2016

Dari Muke Martabak sampai Otak Penyesat: Bagaimana Rasanya Dibenci, Pak Fadli?

via Tempo.co

Kamis (20/10) pukul 23:45 akun Facebook Tempo Media membagikan berita dari redaksi mereka berjudul “Dua Tahun Jokowi-JK, Fadli Zon Beri Nilai 6, Ini Alasannya” 

Sebagai rakyat, kita tentu tahu Fadli Zon adalah salah seorang wakil rakyat dari fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Lebih dari itu, dia menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kendati pintar, kaya, dan punya jabatan mentereng, kita juga tahu tidak semua orang menaruh hormat pada sosok satu ini. Bahkan aroma kebencian kental terasa dari dunia maya melalui kritikan yang lebih mirip hujatan. Saya tertarik untuk meringkas (=memilih) pernyataan-pernyataan hakim Tuhan warga digital tersebut.

Suhermono Sunyoto | Fadli Zonk Menggonggong Jkw. Jalan terussss,anggap sj FZ itu ANJING. GILA,sebaik. Apapun yg bpk JKW buat pasti jelek dimata setan Fadli Zonk ini,ente punya kerja apa MINUS 100.

Hujatan: anjing, gila, setan

M Syarief Pohan | Si zonk pula yg ditanya manusia jelmaan iblis, pasti semua jelek katanya, dasar tempo udah jadi media abal2 sekarang.

Hujatan: jelmaan iblis, media abal-abal (kepada Tempo.co)

Joko Pangaribuan Pangaribuan | Dasar Penyesat! Bukankah para nabi Allah sudah menubuatkan bahwa hidup yg akan datang akan semakin susah? Apa masalahnya sama Jokowi bila masyarakat saat ini semakin susah? Bukankah yg menjadi masalah itu; "Dalam kesusahan saat ini kamu menyesatkan rakyat Indonesia agar tidak percaya lagi sama Pemimpin dan dengan demikian tidak percaya lagi sama Tuhan, bukan?" seolah-olah kamu berkuasa untuk memulihkan kesusahan ini, bukan? Dasar otak Penyesat!

Hujatan: Otak Penyesat

Zirro Chico | Suka suka kau lah muke martabak, aku kalau lihat nih muke ingat martabak terang bulan, pengen di iris dikunyah tapi di makannya bikin eneg dan giyung.

Hujatan: muke martabak

Edi Ang Loe | kasi nol besar sekalian aja setan, org juga kagak demen ama loe bacot septi tank, menjijikkan

Hujatan: setan, bacot septi(c) tank

Charlie Susanto | 99.9% komen di sini, pada nga suka sama ente zonk! Wkwkwk...Rakyat sudah pada pandai skrg & bs menilai koq kinerjanya Presiden qta skrg dibanding kerja kalian DPR useless...

Hujatan: hmm.. enggak ada ya kayaknya? Tapi ini menarik bagi saya karena beliau jadi lembaga survei, atau peneliti analisis isi komentar :p

Muliady Ahai | Kan cara pikirnya sistem OTAK DENGKUL....Ngomongnya juga make mulut ONTA.....Modalnya kagak ada jadi begini klu ngomong...

Hujatan: otak dengkul, mulut onta

STOP! 

Cukup sampai di sini saya meringkaskan, karena semakin lama komentar hujatannya semakin banyak. hahahaha.. tidak perlu dicarilah ya, mudah kok untuk menemukan kata-kata kotor di dunia maya.

Secara umum, saya lihat ada banyak warga digital yang ingin Fadli Zon ini berkaca dan membandingkan kinerja Jokowi dengan kinerjanya dirinya sendiri dan institusi yang dia pikul. Semacam ada logika “hanya koki yang boleh bilang sebuah masakan itu tidak enak.” Tapi Jokowi dan Fadli Zon sama-sama digaji pakai uang rakyat sih, jadi mungkin warga digital merasa tepat untuk membandingkan beliau berdua.

Sebenarnya, tidak hanya Fadli Zon saja yang menilai rapor 2 Tahun Pemerintahan Jokowi ini buruk. Haris Azhar, misalnya, menilai bahwa penegakan HAM selama 2 tahun inimencapai angka “nol besar” karena tidak ada kasus yang selesai. Dia menilai, angka pelanggaran HAM di dua tahun pemerintahan Jokowi ini justru meningkat. Koordinator KONTRAS ini pun tak luput dari kritikan penuh kebencian dari warga digital. 

Divisi Hukum dan Monitoring Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar juga memberi poin 6 kepada pemerintahan Jokowi dalam hal keseriusan pemberantasankorupsi. Pihaknya menyoroti kasus korupsi di tubuh kepolisian dan kejaksaan yang sebannyak 755 perkara (82 persen) tidak lagi tersentuh. 

Namun kita boleh menghela napas sejenak, karena setidaknya ada dua lembaga survei yang menelurkan hasil riset yang sedikit berbeda. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menilai tahun kedua ini ada kenaikan kepuasan rakyat atas pemerintahan Jokowi – JK. Sebanyak 41 persen responden mengaku puas pada tahun pertama, sedangkan pada tahun kedua kepuasan itu melonjak hingga 67 persen.

Hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga menunjukkan adanya kenaikan tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi - JK. Responden yang puas pada tahun pertama 50,6 persen, menjadi 66,5 persen pada tahun kedua. Lebih rinci, tingkat kepuasan tersebut ditilik dari empat indikator: ekonomi, hukum, politik, dan maritim.

Lantas.. kita hendak percaya yang mana? Bagi saya sih kebenaran memang kepunyaan (versi) masing-masing yang mengutarakan. Haris Azhar, saya yakin dia punya data pelanggaran HAM yang bisa menguatkan pendapatnya yang soal “nol besar” itu. Begitu juga dengan ICW, yang fokus pada persoalan-persoalan korupsi. Mereka bicara sesuai kapasitasnya sebagai aktivis LSM yang fokus pada satu sektor persoalan pelik bangsa ini.

Sedangkan SMRC dan CSIS memang melakukan survei atas ribuan responden untuk mengeluarkan pernyataan positif tersebut. Tentu saja mereka mempertaruhkan nama besarnya kalau sampai merilis hasil dari proses riset yang tidak valid atau penuh manipulasi. Tentu saja, kita tidak benar-benar tahu bagaimana mereka melakukan riset, apakah ada manipulasi, dan siapa yang mendanai riset tersebut.

Lantas, Fadli Zon? Terus terang, saya sungguh tidak tahu. Saya hanya bisa menduga beliau juga punya data, entah dari stafnya atau dari mana. Kalau beliau sampai tidak punya data tapi bicaranya ngawur dan asal kritik begitu, ya pantas saja kalau rakyat yang diwakilinya mencak-mencak. Selain itu, rakyat tampaknya sudah punya kebencian terlebih dahulu dengan Fadli Zon ini karena kasus yang telah lalu.

Nah.. tapi.. perlukah mengkritik Fadli Zon dengan penuh kebencian dan pakai kata-kata begitu? 

Lebih tepatnya: apakah kata-kata kotor dan rasa benci itu akan membuat Fadli Zon berubah jadi baik (versi mereka), Jokowi - JK sukses mengangkat Indonesia, dan rakyat tak lagi menderita? Tentu saja tidak. Namun setidaknya saya merefleksikan sesuatu: kata-kata kotor dari rasa benci itu akan lebih mudah keluar tatkala seseorang jadi anonim. Silakan didebat, karena tentu anda punya kebenaran juga.


masa penantian,
Jogja 2016

18 October 2016

Realitas Masyarakat Religius: Saat Ini

via funnyjunk.com

“Saat Ini” adalah keterangan waktu yang perlu saya garis bawahi. Kendati kita tak bisa dengan jelas membatasi keterangan tersebut, ijinkan saya memberi batasan: saat ini adalah beberapa tahun belakangan—sejauh saya punya energi untuk mencarinya di media-media online. Tetap tidak jelas bukan? Semoga tetap tidak jelas, supaya Anda sendiri bisa menambahi data yang saya kumpulkan.

Selama ini tulisan-tulisan saya tentang agama adalah mengenai refleksi saya atas ajaran-ajaran agama yang pernah saya tahu. Kali ini berbeda, saya menulis tentang bagaimana belakangan ini media sedang menampilkan wajah spiritual di masyarakat Indonesia. Sayangnya, wajah itu kusam dan bermuka dua: penuh kepentingan lain—terutama soal uang dan kekuasaan.

Saya mengawalinya dari cerita-cerita yang dibangun oleh seorang tokoh pemimpin spiritual yang memiliki pengikut yang tidak hanya berjumlah besar, tetapi juga loyal. Baiknya kita mulai dari:

Eyang Subur || Nama pria kelahiran Jombang, 12 Desember 1946 ini sempat melejit lantaran pemberitaan terus menerus oleh media. Dia dikenal sebagai “guru spiritual” bagi beberapa artis (Adi Bing Slamet, Nurbuat, Rohana, Unang, Tessy, dan banyak lainnya) supaya rejeki mereka dilancarkan. Nah, nama pria satu ini mulai ramai di infotainment tatkala Adi Bing Slamet bercuap-cuap di media, mengatakan bahwa Eyang Subur menyebarkan ajaran sesat. Bumbu-bumbu drama ditabur sana sini, termasuk Arya Wiguna yang sempat kondang dengan “Demi Tuhan”nya. Pada intinya, Eyang Subur populer di media karena dituduh melakukan penistaan agama.

Setahu saya, cerita Eyang Subur ini salah satunya menarik karena dia memiliki banyak istri; dan itu melanggar aturan agama. Seberapa banyak? Tidak tahu pastinya, tetapi berdasarkan laporan Tempo.co pada tahun 2013 Eyang Subur masih mencari istri yang kesembilan. Bagaimana dia bisa beristri banyak dengan kondisi fisik yang tak lagi muda? Tak sedikit yang menduga, harta adalah jawabnya. Liputan6.com melaporkan salah satu kekayaan Eyang Subur tampak dari rumah mewah yang kalau ditaksir harganya bisa mencapai 20 miliar rupiah. Pertanyaannya, dari mana Eyang Subur mendapatkan harga sebanyak itu? Tidak ada yang tahu persis, bahkan keluarganya sendiri pun  mengaku tidak tahu. 

Gatot Brajamusti || Dari Eyang Subur, saya ajak Anda melompat ke tahun 2016. Satu hal yang bikin saya agak terkejut adalah nama lengkap dari pria ini, yaitu Fransiskus Paulus Gatot Brajamusti. Saya tidak asing dengan kata Fransiskus dan Paulus, yang kerap kali disebut dalam perayaan ekaristi di Gereja Katolik setiap harinya. Pria kelahiran tahun 1962 ini bukan akhir-akhir ini saja terkenal. Tahun 2005 namanya diperbincangkan infotainment setelah penyanyi Reza Artamevia tiba-tiba hilang dan ditemukan sedang mondok di Padepokan Brajamusti milik Gatot di Sukabumi, Jawa Barat. Kalau ditelusuri, rupanya Gatot adalah Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) dan juga seorang penyanyi. Setidaknya dia menyanyi lagu "Subhanallah" dan "Lailatul Qodar" yang video klipnya diunggah di Youtube.

Mengapa jelang akhir tahun 2016 ini nama Gatot kembali disebut-sebut? Gatot ditangkap oleh polisi ketika dia menggunakan sabu-sabu di Mataram. Rumah Gatot pun digeledah, dan polisi tidak hanya menemukan barang-barang terkait narkoba, tetapi juga senjata api ilegal. Cerita berkembang menjadi tak hanya soal sabu-sabu dan senjata api, tetapi juga apa yang terjadi di Padepokan Brajamusti. Gatot mengaku ada ritual seks menyimpang bersama para pengikutnya di padepokan, sementara ada juga pengikut yang memolisikan Gatot karena kasus perkosaan.

Padepokan Brajamusti dikabarkan tak pernah sepi lantaran pengikutnya yang selalu berdatangan; termasuk dari kalangan artis. Mereka "diikat" dengan dibuat ketagihan dengan kristal yang diberi nama Aspat; yang sebenarnya adalah sabu. Kristal tersebut dibalut dengan cerita bahwa itu adalah makanan jin yang dikendalikan oleh kemampuan spiritual Gatot. Bahkan, Tempo.co melaporkan ada pandangan yang menyebutkan bahwa dia adalah Malaikat Izrail, titisan Nabi Sulaiman, dan bahkan Tuhan itu sendiri.

Dimas Kanjeng Taat Pribadi || Nama asli pria berbadan agak subur ini adalah Taat Pribadi. Namun sekitar tahun 2000 salah seorang gurunya memberi tambahan nama "Dimas Kanjeng" yang lalu ditaruh di depan nama asli. Dari sumber yang sama, muncul kabar bahwa dia adalah anak pensiunan seorang polisi yang pernah menjabat sebagai Kapolsek. Taat Pribadi ditangkap September 2016 dengan melibatkan 1.000 personel kepolisian atas tuduhan membunuh dua mantan pengikutnya: Ismail Hidayah dan Abdul Ghani.

Seribu personel untuk menangkap seorang Taat Pribadi? Ya. Tentu saja polisi punya alasan mengapa perlu melibatkan anggota sebanyak itu. Jawaban yang saya duga adalah karena Taat Pribadi adalah orang terpandang, memiliki padepokan, dan tentu saja (ini jawabannya) memiliki pengikut yang jumlahnya mencapai 23 ribu orang. Pengikut sebanyak itu diperoleh dengan menggunakan cara yang menyerupai multilevel marketing: seorang pengikut mencari pengikut lain untuk memercayakan uang mereka.

Sejauh yang saya amati di berbagai media, kasus pembunuhan yang (dituduhkan) diotaki oleh Taat Pribadi ini kalah populer dibanding kemampuannya menggandakan uang. Bisa ditebak, ujung dari kemampuan ini adalah laporan penipuan yang menambah panjang daftar kesalahannya. Beberapa orang mencoba menjelaskan cara penipuan Taat Pribadi menggandakan uang, yang videonya viral tersebut. Ngomong-ngomong, kendati videonya dibuat bercandaan, pengikut Taat Pribadi bukanlah orang sembarangan. Sebutlah Marwah Daud Ibrahim, lulusan Doktoral dari Amerika Serikat, yang saat ini berstatus sebagai saksi.

---------------------
BENANG MERAH
---------------------
Dari ringkasan fenomena tersebut saya mencoba menarik beberapa benang merah. Pertama, tentu saja, mereka adalah orang-orang beragama dan mengakui keberadaan Tuhan—bukan atheis-agnostik. Di luar tudingan ajaran sesat yang dilemparkan banyak pihak (termasuk MUI), mereka kebetulan saja beragama Islam. Tidak jarang mereka tampil mengenakan simbol-simbol Islam (atau Arab) yang memang seringkali bikin silau mata orang-orang. Simbol itu terletak pada pakaian hingga perhiasan termasuk penutup kepala mereka yang ala-ala apalah.

Soal pengakuan agama mereka, sudah pasti ada banyak pihak yang merasa tersinggung karena mereka telah dianggap menistakan agama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, menuding bahwa Eyang Subur telah menyebarkan ajaran sesat. Pada suatu kali, mereka mendesak Eyang Subur untuk bertobat karena tak lancar baca surat Al Fatihah.

Sedangkan Elma Theana, artis yang adalah mantan pengikut Gatot Brajamusti, terang-terangan mengakui bahwa ajaran Gatot itu sesat. Tak begitu jelas apa yang bikin sesat, tetapi dituliskan “melanggar akidah-akidah normal keislaman yang sesungguhnya.”

Begitu juga MUI Probolinggo yang menuding Taat Pribadi menyebarkan ajaran sesat. Salah satunya karena Taat Pribadi mengajarkan tentang “bank gaib” yang akan mendatangkan uang.

Masalahnya mereka menggunakan jubah agama tersebut untuk mengkultuskan diri mereka sendiri. Membuat diri mereka tampak menjadi sosok yang kudus dan dipercaya yang mampu mengarahkan orang-orang kepada pemahaman agama  yang lebih baik. Lebih dari itu, supaya masyarakat tertarik untuk mendapat kekayaan secara instan dan halal.

Agama juga mereka gunakan sebagai tameng atas “markas” kejahatan mereka yang berupa padepokan. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan/ketundukan/keirasionalitasan manusia-manusia (over-)religius di sekitar mereka. Asal sakti, kaya, punya pondok, pakai ayat-ayat suci, sudah pastilah langsung mengkultuskan sosok-sosok itu. Mereka memanfaatkan kematian daya kritis dan kemelorotan daya tahan menghadapi proses dari anggota-anggota masyarakat.

Benang merah kedua, ketiga tokoh tersebut adalah laki-laki. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai “kelas atas” rasa-rasanya kental sekali di sini. Oleh karenanya mereka menjadi pemimpin dan punya sekian banyak pengikut. Tentu ini tidak mutlak ya, kalau benar-benar dibaca, peran perempuan dalam fenomena ini bisa dikatakan seimbang.

Bila kita mengingat kasus penistaan agama sekitar 15 tahun lalu oleh Lia Eden, perempuan tampil juga sebagai pemimpin. Dalam kasus yang menimpa Taat Pribadi, ada juga sosok perempuan cerdas yang menjadi Ketua Yayasan Padepokan yaitu Marwah Daud. Selain ketua yayasan tersebut, dia juga tercatat sebagai pengurus MUI pusat (belakangan kabarnya mengundurkan diri) dan salah satu pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

 Ketiga, kegiatan mereka sama-sama terkait dengan aktivitas seksual. Sejauh pengamatan saya, tokoh paling “soft” dalam urusan seksual adalah Taat Pribadi. Dia hanya dikabarkan memiliki lebih dari satu istri dalam padepokannya. Sedangkan Eyang Subur juga memiliki banyak istri berusia muda, meskipun sudah berusia lanjut. Yang paling parah adalah Gatot Brajamusti karena dikabarkan melakukan ritual seks—termasuk dengan para artis yang menjadikannya guru spiritual.

Dari tiga benang merah itu saja dapat dilihat bahwa agama adalah alasan, modus, sekaligus tujuan dari para penganutnya. Kita boleh saja bilang “agama tidak salah, yang salah adalah penganutnya” untuk membela agama. Namun menurut saya kita juga jangan lupa kalau agama lahir—selalu dalam proses dilahirkan kembali—dalam konteks sosial dan budaya kemasyarakatan. Agama tidak bisa dipisahkan dari kondisi masyarakat. Mereka bukan hanya berhubungan, tetapi saling keterhubungan.

Silahkan menambahkan kalau Anda masih berkenan dan punya waktu. Konteksnya masih realitas yang dibentuk oleh media, ya.

Apa? Soal agama yang ramai disebut-sebut dalam bursa politik DKI? Oh iya. Cukup ah, itu melibatkan pasukan-pasukan garis keras sih. Lagipula saya penganut Katolik (berbeda dengan Kristen Protestan) yang biasa-biasa saja. Nanti kalau diajak berdebat pakai dalil agama juga pasti saya bertekuk lutut. Minoritas sih, tapi paling tidak saya tidak merasa terancam :)


[1] Realitas yang saya maksud di sini adalah realitas yang termediasi dalam konten-konten media; baik media cetak, elektronik, ataupun digital.

18 September 2016

Tiga Tahun Lagi

via kolatinformant.com


“Sepuluh tahun setelah lulus SMA, ceritakan pada saya apa yang telah kalian lakukan pada hidup kalian,” kata seorang bruder sekitar 8 tahun yang lalu.

Barangkali tidak banyak yang ingat dengan kata-kata itu. Yang jelas saya tidak sedang mengada-ada biar tulisan ini berbumbu. Seingat saya, kalimat itu terucap ketika beliau sedang bicara di bangsal Asrama Putera.

Saat itu muncul pertanyaan yang biasa saja: kenapa harus sepuluh tahun?

Saya lalu membayangkan, mungkin karena sepuluh tahun setelah lulus SMA, usia kami sekitar 28. Usia itu adalah pertengahan usia 25 dan 30.

Dengar-dengar usia 25 adalah usia rawan, ketika keputusan-keputusan besar serentak mendatangi: mulai dari karir hingga pasangan hidup. Dengar-dengar juga usia 30 adalah penentu, atau menjadi semacam target, bahwa pada usia itu kita sudah menemukan kemapanan atas keputusan yang kita ambil saat usia 25.

Namun, setelah saya pikir lagi, saya memaknainya secara berbeda. Kini saya sudah menyelesaikan satu tahap pendidikan tinggi di usia 25. Perjuangan saya saat ini adalah mencari tempat hinggap yang paling sesuai untuk mengembangkan hidup.

Sementara puluhan hingga ratusan teman seusia saya sudah mulai membangun karir mereka sejak dua hingga tiga tahun yang lalu.

Sementara juga, belasan teman seusia saya baru saja lulus sarjana. Mereka masih perlu mengikuti tes-tes masuk perusahaan untuk bisa bekerja—yang barangkali butuh waktu juga. Beberapa dari mereka juga sudah membangun bisnis sejak masih kuliah.

Nah, inilah yang saya refleksikan dari perkataan bruder tadi. Asumsinya, sepuluh tahun setelah lulus, kami sudah bekerja. Barangkali ada yang baru bekerja 3 tahun, atau mungkin sudah 7 tahun. Berapapun durasinya, posisi kami diasumsikan sama: sudah bekerja.

Ini bukan soal jabatan, gaji, bisnis, ataupun posisi ya. Ini soal waktu. Kami akhirnya selesai bersama di SMA, dan mengawali bersama di bangku kuliah. Namun kami mengakhirinya dalam waktu berbeda, dan mengawali masa setelah kuliah juga dengan waktu yang berbeda.

Bila dilihat dalam jangka waktu puluhan tahun, selisih tiga tahun tidak begitu berarti. Barangkali itulah yang dimaksud bruder pada waktu itu.

Tiga tahun lagi, sekitar bulan sembilan atau sepuluh, saya akan memenuhi permintaan bruder—meskipun dengar kabar kalau sekarang beliau sudah menjadi awam.


Tiga tahun lagi, mau jadi apa kita?

18 August 2016

Usia Mereka 10 Tahun di Bawah Saya

via getpaidforsurveys.co
Pada suatu riset, saya perlu mendatangi beberapa sekolah SMP dan SMA di Jogja. Mereka menjadi responden dan dimintai kerja sama untuk mengisi survei  secara online. Ada dua hal menarik yang saya temukan.

Pertama, saya banyak menemukan anak-anak SMP—SMA yang tidak hapal nomor handphonenya sendiri. Ketika saya bagikan daftar presensi yang—salah satunya—memuat kolom untuk nomor handphone, banyak yang lalu membuka menu kontak dari gadget mereka, lalu mencari nomor mereka sendiri.

Bagi saya—entah bagi orang lain yang segenerasi dengan saya—hal itu cukup mengejutkan. Saya lalu berkaca pada diri sendiri. Sampai sekarang saya hapal nomor handphone orang rumah—bahkan ketika sudah pada punya dua nomor. Bisa begitu karena dulu ketika mereka sudah punya ponsel, saya sendiri yang belum punya. Kalau ada apa-apa dan harus menelepon dari wartel, saya harus hapal.

Barangkali itu kebutuhan saja ya. Mereka tak perlu menghapal karena tiap kali butuh tahu, mereka tinggal buka gadget. Selesai urusan. Untuk apa repot-repot menghapal kalau bisa lihat gadget?

Menurut saya sih tidak masalah kalau memori handphone itu membantu kita untuk mengingat. Asal, kita tidak memindahkan memori kita ke handphone karena takut membebani kerja otak untuk mengingat. Dengar-dengar kapasitas memori otak kita 10 juta GB. Prinsip dari jaringan saraf dan proses belajar juga menjadi inspirasi untuk membuat komputer.

via www.engadget.com
Kedua, saya menemukan satu anak yang tidak mengisi kolom nomor handphone karena dia tidak memilikinya. Namun dia memiliki gadget, dan itu diletakkan persis di sebelah keyboard komputer di depannya.

Ketika saya tanya, dia jawab “Saya 'gak punya nomor telepon mas. Itu kosongan. Saya pakai kalau pas ada wifi aja.”

Apakah anak ini datang dari masa depan? Bisa jadi.


Jogja, delapan 2016 
---------
- Sebuah catatan membantu penelitian
- Saya berurusan dengan teman-teman yang usianya 10 tahun lebih muda dari saya; betul, dunia telah banyak berubah

Baca Tulisan Lain