Skip to main content

Usia Mereka 10 Tahun di Bawah Saya

via getpaidforsurveys.co
Pada suatu riset, saya perlu mendatangi beberapa sekolah SMP dan SMA di Jogja. Mereka menjadi responden dan dimintai kerja sama untuk mengisi survei  secara online. Ada dua hal menarik yang saya temukan.

Pertama, saya banyak menemukan anak-anak SMP—SMA yang tidak hapal nomor handphonenya sendiri. Ketika saya bagikan daftar presensi yang—salah satunya—memuat kolom untuk nomor handphone, banyak yang lalu membuka menu kontak dari gadget mereka, lalu mencari nomor mereka sendiri.

Bagi saya—entah bagi orang lain yang segenerasi dengan saya—hal itu cukup mengejutkan. Saya lalu berkaca pada diri sendiri. Sampai sekarang saya hapal nomor handphone orang rumah—bahkan ketika sudah pada punya dua nomor. Bisa begitu karena dulu ketika mereka sudah punya ponsel, saya sendiri yang belum punya. Kalau ada apa-apa dan harus menelepon dari wartel, saya harus hapal.

Barangkali itu kebutuhan saja ya. Mereka tak perlu menghapal karena tiap kali butuh tahu, mereka tinggal buka gadget. Selesai urusan. Untuk apa repot-repot menghapal kalau bisa lihat gadget?

Menurut saya sih tidak masalah kalau memori handphone itu membantu kita untuk mengingat. Asal, kita tidak memindahkan memori kita ke handphone karena takut membebani kerja otak untuk mengingat. Dengar-dengar kapasitas memori otak kita 10 juta GB. Prinsip dari jaringan saraf dan proses belajar juga menjadi inspirasi untuk membuat komputer.

via www.engadget.com
Kedua, saya menemukan satu anak yang tidak mengisi kolom nomor handphone karena dia tidak memilikinya. Namun dia memiliki gadget, dan itu diletakkan persis di sebelah keyboard komputer di depannya.

Ketika saya tanya, dia jawab “Saya 'gak punya nomor telepon mas. Itu kosongan. Saya pakai kalau pas ada wifi aja.”

Apakah anak ini datang dari masa depan? Bisa jadi.


Jogja, delapan 2016 
---------
- Sebuah catatan membantu penelitian
- Saya berurusan dengan teman-teman yang usianya 10 tahun lebih muda dari saya; betul, dunia telah banyak berubah

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.