28 November 2017

Semua Akan (P)indah Pada Waktunya

Nelayan melintasi sabuk pantai bambu di Kampung Tambaklorok, Kelurahan Tanjung Emas, Semarang Utara, Rabu 6 Agustus 2014. Mayoritas kondisi sabuk pantai di pantai utara Jawa mengalami kerusakan cukup parah. | via TribunJateng: Wahyu Sulistyawan | jateng.tribunnews.com

Untuk pertama kalinya saya masuk ke kawasan Universitas Diponegoro (UNDIP) di daerah Tembalang (21/10). Di sana sudah berkumpul puluhan mahasiswa dari berbagai universitas yang tergabung dalam organisasi Nationwide University Network in Indonesia (NUNI). Saya diminta untuk bicara di depan para intelektual muda ini soal penulisan kritis.

Panitia sudah merancang acara ini dengan begitu baik. Mahasiswa diberi pembekalan macam-macam sebelum keesokan harinya diajak untuk observasi di daerah Tambaklorok, Semarang. Di sana mereka diajak untuk mengidentifikasi permasalahan, kemudian menelurkan ide-ide untuk mengatasi permasalahan tersebut.

22 November 2017

Kejenakaan Kerja di Jalur 2 Kilometer

via www.kompas.com

Beberapa bulan ini ban sepeda motor menggelinding ke rutinitas jalur yang berbeda. Bukan lagi Jalan Godean hingga Babarsari. Ataupun Jalan Godean hingga Bulaksumur. Tetapi Jatingaleh hingga Pawiyatan Luhur. Jarak tempuhnya hanya sekitar 2 kilometer.

24 October 2017

Oktober yang Basah di Gunung Gede

10 September malam, ketika notifikasi aplikasi obrolan di handphone berbunyi.

“Jay, kalau berkenan tanggal 6 aku sama Gultom mau naik Gede. Siapa tau kita bisa mengabadikan foto lagi biar kayak orang-orang kekinian. Hehe..”

Dennis, kawan semasa SMA menghubungi dengan kata-kata itu. Meski sedang meriang dan banyak kekhawatiran soal kekuatan fisik, saya sulit menolak ajakan itu. Sedangkan Gultom, adalah kawan SMA juga. Kami bertiga beberapa kali satu rombongan dalam pendakian, salah satunya ke Merapi.

14 September malam (masih meriang), akhirnya ajakan tersebut saya terima dengan semangat. Energi saya jadi melimpah ruah ketika tahu bahwa sahabat-sahabat saya yang lain (Bayu dan Gida) juga ikut dalam pendakian kali ini. “Sekalian reuni,” pikirku.

Celakanya, meriang ini masih berlanjut lama. Untungnya, saya merasa betul-betul sembuh kurang dari seminggu jelang tanggal yang kami sepakati.

Atas kebaikan Bayu dan Dennis, serta jasa baik om Yohanes, semua logistik kelompok, urusan transportasi, dan perijinan sudah beres semua sejak sebelum saya berangkat dari Semarang. Betul-betul malaikat penolong !

6 Oktober pagi, setelah saya memacu sepeda motor ke kampus untuk presensi sidik jari, saya segera pesan Go-Jek untuk ke Stasiun Tawang, Semarang. Di sana sudah menunggu kereta untuk mengangkutku ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta.

Sampai di Jakarta, saya menuju ke kantor Heni (kekasih) untuk sekalian menjemputnya pulang ke kos. Atas kebaikannya pula, saya bisa cari logistik, tali, serta pinjaman gelas dan sendok. Malam hari sekitar pukul 21 baru saya ke rumah Bayu yang kami sepakati sebagai titik kumpul.

Singkat cerita, kami sampai di basecamp Gunung Putri sekitar pukul 4 pagi menggunakan mobil om Yohanes. Total kami berangkat 6 orang: Gultom, Dennis, Bayu, Gida, Adi Bleki, dan saya sendiri. Di sana kami langsung disambut orang dalam, lalu diberi tempat untuk rebahan sejenak sambil persiapan.

Berakhirnya sarapan adalah awal dari perjuangan pendakian ini. Kami awali pendakian ini dengan berdoa, memohon keselamatan dan perlindungan supaya semua kembali dengan utuh, sehat, dan selamat.

11 October 2017

Kebingungan yang Berakhir Omong Kosong

via www.sansbullshitsans.com

Terjun langsung ke dunia pendidikan membuat pikiran saya semakin mengawang-awang. Membaca tulisan-tulisan lawas di blog ini, saya merasa dulu saya adalah mahasiswa yang idealis.
Jangan salah, idealis yang saya maksud bukanlah menjadi mahasiswa yang ideal: nilai aman, aktif berorganisasi, rajin riset, doyan baca buku, produktif dalam menulis dan berkarya, jatuh cinta berkali-kali, serta tak lupa naik gunung, nongkrong setiap malam—ditemani rokok, alkohol, gitar, dan film.

18 September 2017

Kritik atas Seorang Pebisnis di Facebook

via www.limitless.agency

“Pokoknya kalau mau memulai bisnis, niatmu harus baik dulu. Mantapkan dalam hati kalau niatmu itu untuk membantu orang, bukan untuk cari untung,” ujar pakdhe.

Sebetulnya saya tak kenal dengan sosok ini. Kulitnya gelap seperti saya, dengan garis muka yang keras. Meski dia menyebut dirinya sendiri dengan pakdhe (baca: bapak gedhe/kakaknya bapak), sebenarnya umur dia belum tua. Saya perkirakan 30 akhir atau 40 awal.

27 July 2017

PENOLAKAN: Belajar dari Pram

via www.saleshacker.com

Artikel hasil riset saya ditolak sebuah redaksi jurnal di bidang ilmu komunikasi. Selama beberapa waktu kekecewaan tidak bisa ditolak. Pasalnya, artikel itu saya tulis dengan serius. Datanya saya ulas menggunakan metode analisis yang baru saja saya pelajari.

15 July 2017

Waktu dan Apa-Apa yang Ditunggu

via Kasuaris.com

“Kamu selalu main aman, kan?” tanya saya serius. Kami bersahabat sejak sebelas tahun lalu. Baru tiga tahun terakhir ini dia mengungkapkan bahwa dia mencintai pria; sama seperti dirinya.

“Hahahaha.. pertanyaanmu. Aku rutin periksa kok di sini,” jawabnya. Obrolan kami berlanjut hangat, lengkap dengan pisuhan (Jawa: umpatan) khas Jogja yang bersahabat. Dulu kami tinggal bersama di sebuah asrama, lalu kuliah bersama juga di kota pelajar itu. Kini kami beda pulau.

16 May 2017

Isme yang Begitulah


[4 April 2014]

Sesi terakhir biasanya melelahkan sekaligus melegakan. Waktu itu hari kedua pelatihan calon Reporter sebuah koran ternama. Pembicaranya adalah Pemimpin Redaksi. Dia bilang "the Law of AND" dalam salah satu bagian dari apa yang dia bicarakan.

Dalam laporan/reportase di koran tersebut dia bilang perusahaan ini memegang prinsip QUALITY dan MONETIZING. Yang pertama bicara tentang kualitas pemberitaan yang sesuai dengan prosedur dan kaidah jurnalistik. Sesuatu yang memang seharusnya menjadi prinsip utama setiap perusahaan pers. Yang kedua, ini yang menurut saya agak kurang tepat dibicarakan di dalam ruang redaksi, yakni bagaimana membuat berita itu jadi kapital, alias duit. Ya, di dalam ruang redaksi, kami bicara tentang bisnis perusahaan ini.

09 April 2017

Beli Isi Cutter

via www.3claveles.com

Beli isi cutter adalah kesia-siaan yang tiada duanya di dunia. Barangkali tidak bagi Anda, tapi jelas benar bagi saya.

Bagaimana tidak, seumur hidup ini belum ada lima kali ganti isi cutter. “Sekalian beli isi,” pikir saya tiap kali beli cutter. Nyatanya, belum sampai ganti isi, cutter itu sudah menghilangkan diri entah di mana.

Pernah saya lalu bikin prakarya pakai isi cutter telanjang hanya dibungkus kaos kaki tebal di tangan. Hasilnya, saya harus mengemut (baca: mengulum. Halah) jari saya yang mengucur darah karena dicium ujungnya yang tajam.

Akhirnya, saya beli cutter lagi. Baru. Murah. Tajam? Jelas.

Begitu sampai rumah, gantian isi cutter yang menghilangkan diri. Takut kehabisan cutter saya kehabisan isi, akhirnya saya beli lagi. Satu pak ada enam isi cutter.

Begitu seterusnya kesia-siaan ini turut saya lestarikan.

06 March 2017

“nda..”

via initempatwisata.com

“dab” yang digusur “nda”—sebuah catatan

supra merah itu tak lagi menggilas jalan godean. tidak juga menyayat aspal jakarta seperti tiga tahun lalu denganmu. dia kini ngeden menapaki tanjakan dan turunan licin di karangrejo hingga pawiyatan luhur. “seperti perjalanan ke basecamp pendakian..” katanya.

bagaimanapun jalanan di sana dan di sini masih sama saja. pagi padat, sore tersendat. bersama pekerja yang terpaksa meninggalkan bantal pagi-pagi betul. mereka yang pulang lalu tergesa bercinta meski bau debu-asap.

juga bersama sopir-sopir angkutan yang gemar senggol sana-sini. meninggalkan pisuhan seiring rem yang berhasil menghenti laju.

soal burjoan, dia bukan raja di sini. adalah warteg, yang menancapkan bendera dengan mantap. tak jadi soal. telur dadar-sayur-kering tempe adalah mewah. bolehlah hapus sejenak istilah “nastel” di kamus.

jatingaleh tak pernah seperti besole raya yang bersahabat meski sunyi. kendaraan besar melintas tiap waktu. tapi bisingnya tol tidaklah seberapa dibanding basahnya desahan suaramu di kuping kiriku.

yang jelas, dia juga tak seriuh rapalan-rapalan doa yang kau ucap tiap malam sambil terpejam.

Semarang
2017

24 February 2017

Surat tentang Tante

:  dibaca pelan-pelan saja

Rasanya seperti dicemplungkan dalam beberapa adegan film “50 First Date” versi Jawa. Masa-masa awal jalan bersama gadis ini diisi dengan menunaikan tiga ibadah wajib. Satu, saling cerita soal apa-apa yang turut mengantar diri hingga sampai di masa ini. Dua, bicara soal impian dan rencana di masa depan. Tiga, mengingat-ingat apa yang telah kami lakukan selama sepuluh tahun terakhir.

Belakangan, yang terakhir ini rupanya butuh banyak energi. Adegan yang ingin kami munculkan tersendat-sendat bak nonton Youtube di persawahan Godean. Celakanya, sebagian detil adegan hanya tersimpan di benak diri ini saja, tidak di benaknya. Alhasil, seringkali ada cerita yang perlu direka ulang dalam kata guna memancing ingatan. Kadang berhasil, tetapi lebih sering tidak. Itu bedanya dengan film yang tadi.

Melalui deretan kata ini, ijinkan sahaya berbagi sedikit. Semoga tuan puan sudi membaca.

Adalah gadis itu, yang pertama kali saya ajak keluar malam-malam. Berdua saja. Satu dekade lalu. Sepeda motor Astrea yang bertenaga. Hawa dingin dan romantisme lampu kota Yogyakarta. Alun-alun Kidul, Mirota Kampus, hingga bintang-bintang yang mengintip dari halaman Candi Ganjuran.

Dalam perjalanan ke Alun-alun Kidul kami melewati rumah-rumah lawas. Daerahnya sepi. Gelap. Berseberangan dengan benteng putih tinggi tinggalan penjajahan Belanda. “Rumahnya bagus ya,” katanya di jok belakang.

Lalu sepasang remaja itu bercerita tentang rumah impian. Cerita yang tiba-tiba berhenti begitu saja ketika sampai tujuan. Kami lantas duduk di tikar, di atas rerumputan basah, sambil menyeruput ronde. Di depan sana wisatawan sedang menutup mata sambil berjalan di antara dua beringin. Mitosnya, segala harapan akan terkabul ketika berhasil melakukannya.

Saat itu, sekadar berharap saja sudah gemetar lutut.

Singkat cerita, sahaya jadi salah satu tempat teraman untuk narasi sedih dan keluh kesahnya. Sering telinga ini jadi yang pertama; barangkali juga satu-satunya. Sore hari di depan ruang band. Jumper abu-abu yang basah untuk menyeka air mata. Siang hari di depan kapel, dekat menara air. “Kamu orang pertama di van Lith yang tahu cerita ini,” katanya setengah berbisik.

Selama bertahun-tahun kemudian, cerita-cerita hidupnya dititipkan pada sepasang telinga lain. Selama itu pula ada cerita hidup milik hati lain yang dititipkan pada telinga ini.

Delapan tahun setelah pertama kali kenal, semesta mempertemukan kami di Ibu Kota. Selepas mencatat kata-kata Bapak Menteri di dekat Monas, sahaya diminta meluncur ke Cilandak. Kami lalu mencari kamar sewa untuknya yang dalam hitungan hari sudah masuk kerja. Berdua saja. Sepeda motor Supra yang masih ‘greng’ meski usang. Asap knalpot pekat. Langit Jakarta yang gelap dan buram.

Tak lama, perpisahan singkat terjadi. Lapo Codian Mayasari dan pemuda bersuara merdu dengan gitarnya. Tuak yang manis dan kecut, tetapi sahaya suka. Rumah Uda di Lubang Buaya yang sepi. Berdua saja. Berpamitan diam-diam pada empunya rumah.

Kali itu tidak bicara rumah impian. Namun, gentar belum beranjak pergi.

Dua tahun berlalu. Kami berangkat rombongan ke Sendangsono di bulan lima. Di mobil, rambut kepalanya tak bisa terlepas dari tangan kotor ini. Ada listrik yang menyengat dan bikin gelisah tiap kali dua benda itu terhubung. Entah bagaimana harus menyebutnya.

Esoknya, dinding kokoh gereja Kotabaru meruntuhkan pertahanan. Batas-batas persahabatan terkoyak oleh angin entah. Tanpa kata, apalagi meminta, ini mata tak bisa lepas dari semua yang melekat padanya.

Dalam perjalanannya ke Ibu Kota, sahaya menemukan nada suara yang berbeda di ujung telepon. Suara sedikit manja yang bersaing deru mesin kereta. Sejak saat itu, malam tak pernah terlewati tanpa panggilan suara. XL Axiata adalah kongsi paling beruntung. Mereka punya dua pelanggan lama yang kini rajin isi pulsa mereka banyak-banyak.

Obrolan tentang rumah impian kembali terjadi. Seakan menyambung kalimat sepuluh tahun lalu yang enggan diberi titik. Kali ini ragu-ragu pergi jauh-jauh. Karena tak ada yang lebih aman selain menangis dan tertawa rumah sendiri. 

Semoga rumah ini tetap terawat dan jadi tempat yang ideal untuk menumbuhkan sabda-sabda yang telah ditabur-Nya. Amin? Amin. (*)

Selamat ulang tahun, gadis dua enam. Semoga kian tangguh merawat dunia, selalu jadi bahagia di mata-mata yang suram, dan tetap bersyukur atas segala talenta yang dititipkan. Saranku, segeralah punya hobi baru. Merepotiku, mungkin?


18 February 2017

Kesaksian: Majikan Saya Orang Jepang, Tewas Dibakar Ketika Naik Mobil di Tengah Kerusuhan ‘98

via Okezone News

Catatan penulis: cerita ini saya dengar dari seorang penjual angkringan di Yogyakarta. Saya tidak bisa memastikan keakuratan cerita tersebut.

Penjual angkringan dari Wonosari itu baru satu setengah tahun kerja di Jakarta. Berbekal ijazah SMP, dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah seorang pebisnis di daerah Pondok Indah. “Saya tidak tahu bisnisnya apa, tetapi dia kaya. Orang Jepang,” tuturnya soal sang majikan.

Jakarta, dan Indonesia secara umum, saat itu memang keterlaluan. Krisis ekonomi membuat harga barang melambung terlampau tinggi. Dia awalnya bekerja di sebuah bengkel, tapi bengkel itu bangkrut. Hubungan pertemananlah yang membuatnya bisa bekerja di rumah orang Jepang itu. Untungnya dia betah karena tak merasakan langsung dampak krisis. Makanan tersedia di rumah, juga tidak ada margin keuntungan yang dikejar karena gajinya dibayarkan bulanan.

Namun, seperti tak bisa ditolak, tibalah masa-masa kelam itu. Entah berawal dari mana (atau dari siapa!) kebencian terhadap orang Tionghoa menyebar luas di kalangan orang “pribumi.” Kebencian itu sebegitu hebatnya hingga membakar nalar dan menghanguskan nurani. Kondisi demikian, ditambah perut yang kian hari kian kosong, membuat salah satu tragedi kemanusiaan di Jakarta tak bisa dicegah.

***
via backupblog77.blogspot.com

Pada suatu malam, berita tentang kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Jakarta sudah terdengar. Sasarannya adalah orang Tionghoa. Rumah-rumah mereka diserbu. Mereka yang terlihat di jalanan dibantai tanpa ampun. Dibakar hidup-hidup ataupun disabet pedang. Toko-toko mereka dijarah. Para perempuan ditelanjangi dan diperkosa secara bergilir dengan terang-terangan, sebelum akhirnya dibunuh juga dengan keji.

Paginya, dengan perasaan was-was, sang majikan nekat minta diantar oleh sopir untuk pergi ke kantor. “Sopir itu orang Pacitan, mas. Dia awalnya sudah ragu-ragu, karena semalam masih rusuh di mana-mana. Bapak [majikan] kan orang Jepang, wajahnya kayak Cina, bisa ikut dibantai juga,” katanya.

Sembari tak henti menyebut nama kebesaran Allah, majikan dan sopir meluncur mempertaruhkan nyawa di jalanan Jakarta. Lantas tragedi itu tak bisa dihindari. Di tengah perjalanan mobil mereka dihentikan oleh kerumunan yang membawa bensin. Melihat wajah oriental, bensin langsung diguyurkan ke mobil lalu disulut. Sang majikan dan sopir terjebak di dalam mobil. Mereka hangus terbakar.

Kabar soal itu cepat sampai di rumah. Seketika aura rumah menjadi sangat berbeda. Sang istri, juga orang Jepang, langsung membayar gaji para pekerja di rumahnya saat itu juga. Dia minta dirinya dan anaknya dilindungi sambil berlinang air mata. Pada suatu kesempatan yang baik, dia lalu bisa diantar sambil dijaga ke bandara untuk kemudian terbang ke luar Indonesia.

***
via myrepro.wordpress.com

Penjual angkringan lalu tiba kembali di Wonosari yang adem ayem. Tak hanya bawa uang, dia juga bawa memori mengenaskan dari Ibukota. Soal darah, pemerkosaan, air mata, isak tangis, dan tubuh-tubuh bergelimpangan yang tak jelas akan diapakan.

Menurutnya, kejadian paling mengerikan adalah pembakaran sebuah gedung pusat perbelanjaan berlantai tiga. Sekelompok warga yang seperti kesurupan itu membakar lantai satu. Asap dan apinya membaut ratusan orang di lantai satu hingga tiga mati lemas lalu terpanggang. Bukan orang Tionghoa saja yang jadi korban. “Campur-campur,” tegasnya.

“Itu pelakunya enggak bisa diusut mas?” tanyaku. “Kayaknya enggak mas. Wong itu kerusuhan kok. Kacau banget. Pelakunya banyak, rakyat Indonesia. Jawa, Flores, Batak, gabung jadi satu,” jelasnya sambil menyalakan rokok.

Barangkali pandangannya agak bias soal istilah rakyat, pribumi, Cina, dan semacamnya, tapi itulah realitas yang ada di benak banyak orang. Baik atau buruk, benar atau salah, etis atau tidak, realitanya memang itulah yang terkonstruksi di benaknya.

“Kalau pelakunya termasuk orang Jawa dan itu atas nama rakyat, panjenengan ikut mbantai gak mas?” tanyaku. Lugas. Bodoh juga, barangkali. Karena kalau iya, saya berhadapan dengan pembunuh keji. Minum teh yang diaduk oleh tangan berlumuran darah nyaris dua puluh tahun lalu.

“Enggak mas. Tapi saya ikut diajak njarah,” jawabnya (saya jadi sedikit lega). Penjarahan toko-toko tak terhindarkan dari kerusuhan itu. Warga yang anonim itu memasuki toko-toko besar, mengeluarkan isinya, mengambil segala yang bisa diambil. Membawa pergi apa-apa  yang bernilai cukup tinggi dan bisa dibawa pakai tangan.

“Kebanyakan pada ambil alat elektronik yang bisa dibawa, mas. Kalau saya malah ambil susu. Hla itu susunya dibuang di jalan-jalan, saya kumpulin aja. Itu kalau diminum tiap hari, empat bulan baru habis mas,” ujarnya sambil menunjukkan seberapa tinggi tumpukan susu yang dia kumpulkan. Kira-kira setinggi pinggangnya.

“Waktu itu panjenengan umur berapa?”

“Tujuh tahun, mas.”

“Berarti belum mudeng ya waktu itu rusuh?”

“Belum, mas. Tapi saya sering dengar istilah ‘Cina singkek’ di sekolahan. Lagian kayaknya Jogja enggak rusuh mas.”

“Menurut panjenengan, bakal ada kerusuhan lagi nggak mas soal ras tadi? Kan ramai lagi tuh di Jakarta,” saya balik bertanya.

“Hahaha.. iya. Sekarang apa-apa mahal, tapi semoga enggak terjadi [kerusuhan] lagi. Sing penting aman, selamet. Urip kuwi ora golek banda, tapi golek selamet,” katanya yang tiba-tiba terdengar bijak.

***

Sementara pembeli mulai ramai berdatangan karena hujan mulai reda. Mahasiswa senang makan di angkringan sambil nongkrong, sementara mahasiswi memilih untuk beli ‘nasi kucing’, lauk, dan minuman yang diplastik.

“Hati-hati, mas. Besok mampir lagi,” ucap penjual angkringan seiring kakiku memutar pedal. (*)


Tulisan ini lanjutan dari tulisan sebelumnya.

14 February 2017

Resep Awet Muda a la Penjual Angkringan

“Saya sudah bilang ke gadis itu, dia nggak percaya. Datanglah dia ke rumah, istri saya yang menemui. Nama kebun binatang ramai dilemparkan istri, saya cuma ketawa aja di luar rumah,” tuturnya sambil menahan geli.

[catatan obrolan dengan penjual angkringan]

Tak biasanya, Jalan Magelang sore itu terasa menanjak. Barangkali karena bukan setang sepeda motor yang kugenggam, tapi sepeda kayuh. Otot paha mulai berteriak meski baru meluncur lima kilometer.

Jelang maghrib, langit menggelap. Merdunya azan dari mushola kampung Kutu terasa lirih. Deru mesin dan knalpot selalu memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Celakanya, awan mendung juga kalah oleh air yang dibawanya. Menyerah. Gerimis jadi pembuka hujan deras yang menerjang tak lama kemudian.

Berbelok ke timur menyusur selokan Mataram, sepedaku mencari tempat berhenti. Angkringan di ujung jembatan kemudian jadi tempat berteduh. “Lumayanlah, habis sepedaan dan kehujanan, bisa mampir cari teh hangat,” pikirku.

Terpal jingga masih bersih, gerobak kayu juga tanpa noda. Ceret murahan kas angkringan hinggap dengan mengkilap di atas tungku arang.

“Saya baru buka seminggu. Gerobaknya sudah sebulanan, tapi jualannya baru seminggu,” tutur sang penjual tanpa ditanya.

Aku menduga dia berumur 20-an akhir atau 30-an awal. Dengan badan kecil dan potongan klimis khas anak muda, dia terlihat cekatan membuat teh panas yang kupesan. Bagiku, yang masih tertarik wanita, paras penjual ini tampan.

Kisah demi kisah kemudian meluncur lancar bak hujan yang kuhindari sore itu. Dia mengeluh soal harga cabai yang naik gila-gilaan, belum ditambah harga bawang putih dan daging sapi yang kian tak masuk akal. Kenaikan harga itulah yang membuatnya meninggalkan dagang bakso lalu menyeberang jadi penjual angkringan.

“Harga semangkok nggak bisa nutup harga bumbu [dan bahan baku]. Kalau harga dinaikin, pasti juga enggak laku. Akhirnya baru setahun jualan bakso, saya mundur. Padahal sewa gerobak dan warung sudah lima tahun bayar di muka,” keluhnya.

Sebelum jualan bakso, dia sudah menjalani sekian deret pekerjaan. Di Yogyakarta, maupun di Jakarta. Dari penjual mie ayam, pegawai bengkel, hingga pembantu rumah tangga pernah dia jalani.

Singkat cerita, saya lalu penasaran berapa umurnya. Jawabannya cukup mengejutkan. “Maaf ya mas, tapi saya rasa umur panjenengan masih setengah umur saya,” katanya menggunakan bahasa Jawa halus. Lanjutnya,”Umur saya empat puluh dua.”

Aku tertawa setengah tak percaya. Umurnya terlalu senja untuk wajah yang sedemikian cabe-cabean. Belum selesai mulutku tertawa, aku kembali dibuatnya terperangah. “Enggak percaya to mas? Saya ini juga sudah jadi simbah, cucu saya tiga belas bulan.”

Penasaran, lalu kukorek lagi soal ini. Aku yakin aku bukan orang pertama yang tak percaya dengan kata-katanya. Hingga dia juga cerita soal permasalahannya dengan sang istri gara-gara Facebook.

Suatu kali akunnya di-add oleh seorang gadis. Tampaknya gadis itu naksir hingga terkintil-kintil. Hahaha! Didorong rasa penasaran, gadis itu ingin menemuinya. “Padahal saya sudah bilang kalau sudah punya anak istri, tapi dia enggak percaya dan ngotot datang,” ujarnya geli.

Suatu sore, datanglah gadis nekat itu ke rumahnya. Sendirian. Celakanya, dia ditemui oleh sang istri yang tanpa ampun mengumpat dan mengusirnya. Nama penghuni hutan yang diingat istrinya meluncur deras ke muka si gadis.

Mata penjual angkringan terlihat geli dan berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Namun tiba-tiba matanya jadi lebih geli lagi ketika dia bicara soal kemarahan istrinya yang tak kunjung reda. Segera setelah gadis itu beranjak pergi, dia merebut handphone android murahan milik suaminya, lalu merendamnya dengan kasar ke dalam bak mandi.

Suara tawa kami memenuhi ujung jembatan. Kadang juga terbawa angin yang menyusup di antara gerobak dan terpal. Sesekali dia menyeka air mata saking gelinya. Kubiarkan saja kami tertawa lepas meski tak benar-benar tahu alasannya.

Ah, barangkali itu caranya agar tetap terlihat muda.

31 January 2017

Istilah Asing 1962 - 2017: Antara Calon Gubernur DKI dan Catatan Selo Soemardjan

via kompas.com

“Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda maupun Inggris berusaha keras untuk menguasai istilah-istilah politik asing yang baru itu. Mereka mengira sudah memperoleh corak intelektuil dan prestise sosial karena penggunaan bahasa itu.” 
(Selo Soemardjan, 1962)

Pilkada DKI selalu menyedot perhatian publik secara nasional. Bagaimana tidak, stasiun-stasiun televisi—Jakarta bersiaran—nasional menayangkan debat publik ketiga pasangan calonnya. Saya yang orang Jogja pun jadi tertarik buat nonton debat itu meski sepotong-sepotong. Sekadar catatan, saya juga nonton debat publik untuk pasangan calon di kota saya sendiri di TVRI.

Acara debat tak hanya menyedot perhatian publik, tetapi juga media lain. Satu media yang patut diapresiasi tinggi adalah tirto.id, sebuah media online yang baru diluncurkan tahun lalu. Digawangi oleh tokoh-tokoh senior di dunia jurnalisme, media ini menawarkan banyak hal baru. Salah satunya adalah aktivitas riset mereka yang tidak biasa.

Satu hal penting yang mereka amati adalah penggunaan istilah asing dalam debat. Atas pertanyaan “Siapa calon yang paling sering menggunakan istilah asing?” tentu kita sudah bisa menebaknya tanpa harus menghitung dengan teliti. Namun persis itulah (salah satu) yang dilakukan oleh tim riset tirto.id! Mereka menghitung kata-kata asing yang digunakan oleh para calon sejak dalam debat pertama.

Kita pantas bertanya: mengapa mereka menggunakan istilah asing dalam debat?

Jawaban yang barangkali indah untuk diluncurkan adalah karena dalam urusan politik dan birokrasi jamak ditemukan istilah-istilah dan singkatan teknis yang sudah populer. Upaya penerjemahan dan penggunaannya dalam debat dan diskusi dikhawatirkan justru mengurangi makna dari istilah tersebut. Bukannya begitu?

Namun ijinkan saya mengutip tulisan ilmuwan sosial legendaris, Selo Soemardjan, yang melakukan penelitian mengenai perubahan sosial di Yogyakarta lebih dari 55 tahun yang lalu. Barangkali kondisi Yogyakarta pada saat itu bisa digunakan untuk memahami fenomena-fenomena saat ini.

Catatan Penting Selo Soemardjan

Jika dirunut dari sejarahnya, Yogyakarta adalah sebuah kerajaan bercorak Jawa. Stratifikasi atau kelas sosial dalam masyarakat adalah salah satu hal yang menonjol baik dalam kultur kerajaan ataupun kultur Jawa. Pada zaman kerajaan, kelas atas dalam masyarakat tentu saja adalah raja dan keluarganya, yang sering kita sebut dengan istilah bangsawan.

27 January 2017

The Accountant

via trailers.apple.com

Film ini dibintangi Ben Affleck. Seperti judulnya, dia seorang akuntan. Bukan akuntan biasa, dia adalah pengidap autisme sejak kecil. Di satu sisi, autisme itu membuat dia sulit menjalin relasi sosial (meski dia ingin), di sisi lain, autisme itu yang membuat dia jenius matematika.

Autisme yang dibawanya itu membuat dia menjadi akuntan yang sangar. Ada sekuen yang menceritakan pekerjaan 5 orang akuntan diselesaikan olehnya sendiri dalam waktu yang singkat.

Secara keseluruhan film ini punya cerita dan setting yang menarik. Dia mengangkat tema akuntansi, ekonomi yang bobrok, keluarga yang broken, militer, senjata, perusahaan korup, intelijensia, autisme, dan bela diri.

Nah, soal bela diri ini ada yang menarik. Diceritakan bahwa dia dan adiknya berlatih bela diri di Indonesia. Sepertinya itu silat (mohon dikoreksi kalau salah).

25 January 2017

Penasihat Komunikasi Politik


Melihat sosok SBY sekarang rasanya tak segagah dulu. Benci sih tidak, tapi kasihan sedikit saja bolehlah. Saya masih bertanyatanya soal katakata yang dia unggah di Twitter. Tidak, saya tidak akan memaknai banyakbanyak soal cuitan itu. Saya malah masih penasaran kenapa beliau mengetwit di saat yang demikian.

Saat yang seperti apa?

Ya kita tahu sendirilah media sedang menyorot Pilkada DKI dan narasinarasi yang dibangun di sekelilingnya. AHY, anak SBY, ikut pertarungan politik itu. Selalu ada aroma sinis di media sosial soal AHY—paling tidak dilihat dari memememe yang menjadi viral.

Pesan dominan yang saya tangkap adalah Agus tidak menguasai persoalan, minim pengalaman, dan—yang paling penting—beliau tak lebih dari pion catur yang dimainkan ayahnya. Pesan itu menguat semenjak akhirnya Agus tampil dalam debat publik putaran pertama.

Belum ditambah dengan Annisa Pohan, istri Agus, yang juga terlibat perdebatan dengan seorang kawannya di Path. Persoalannya? Politik. Pada akhirnya beliau memang minta maaf, tetapi pemberian maaf tak sama dengan meniadakan yang telah terjadi. Halah.

Nah, di tengah-tengah ramai serbuan informasi dari segala penjuru yang sering merugikan posisi SBY ini, kok bisabisanya beliau menuliskan twit yang sedemikian “kemenyek” (baca: ejek-able; hina-able).

Itu kan rentan sekali dihina, bung !

Semoga SBY punya penasihat komunikasi politik yang lebih handal. Dia yang ikuti arus pembicaraan di media sosial, terutama soal citra SBY. Tak lain, supaya kalau SBY mau ngetwit itu enggak malah mengundang ejekan. Jadi populer sih iya, tapi popularitasnya bikin sedih.

Omongomong, pak, ada daftar kontak saya di bagian atas kanan. FYI, saya mahasiswa Ilmu Komunikasi J

24 January 2017

Gerimis

Gerimis

pada matamu, tuan puteri, aku melihat hujan yang tidak deras.

orang-orang tua senantiasa bertutur ke anaknya
kalau gerimis jangan hujan-hujanan, nanti pusing
di luar gerimis, jangan ngebut, jalanan licin

gerimis itu menerjang mataku tanpa aku sempat menghindar
tubuhku jadi aliran gerimis yang suka mengajak angin mampir
dari mata, air tipis itu mengalir turun sesuai takdirnya

itulah kenapa berdada-dada gadis sendu datang kepadaku bilang
aku ingin merasakan gerimis di pelukanmu, atau
bolehkah aku mencicipi gerimis di perutmu yang berbulu?

boleh, boleh, semuanya boleh
tapi setelah ini kalian harus pergi
aku juga akan pergi kembali mencari asal muasal gerimis yang
gemar sekali menghindar dari sapuan mata ini

empat puluh tiga ribu delapan ratus hari kemudian
semenjak matamu meninggalkan noda di embun dingin muntilan
gerimis itu masih mengalir dari mataku

pada matamu, tuan puteri, aku tidak lagi melihat gerimis yang dulu;
aku hanya melihat diriku.

gerimisku masih bikin pusing dan terpeleset licin;
mari rebahan di sini, sayang.


Jangan Menggodaku, Kopi

sebermula kopi itu memercik di dadamu
kau mengusap nodanya, aku melihat saja

“kenapa diam saja?” 
ujarmu memanggil.


23 January 2017

You’ve Started the Fire, Buddy

“So, reading is your hobby, huh? Tell me five books that most inspired you,” he asked me.

The worst part from that question is I wasn’t ready to answer it. Stupid me.

Yes, I think I’ve been reading a lot. Not just books, but also magazine and internet article of course. This reading habit was built since I was a child. My older sister and I were love to rent some books to enjoyed our holiday: Lima Sekawan, Trio Detektif, comics, etc.

I felt so dumb since I couldn’t answer that simple question. I just mentioned two or three books title that I’m not finish them yet. Aaarrrrgggggh. That was one of embarrassing moment in my life.

One important thing that maybe he doesn’t realize is he has just started the fire. I hope in the future, we’ll become a partner. I know he is smarter, but yes, he is also much older than me.

I promise, you’ll find me in different quality, sir. Immediately.

22 January 2017

Ujung Timur Jembatan

"Saya baru sepuluh hari jualan di sini, mas," ujar pedagang angkringan tanpa ditanya.

"Oh pantes.. ini gerobaknya masih kinclong," kataku menimpali seadanya.

Teh manis panas di depanku terlalu berharga untuk diduakan dengan obrolan. Setelah bersepeda sekian kayuhan, jenis minuman ini paling bikin tenang. Tiup-tiup sedikit, sruput tipis-tipis.

"Sebelumnya saya pernah jualan bakso, pecel lele, mie ayam, macem-macem, mas. Tapi saya nyerah. Bahan baku terlalu mahal. Daging sapi, bawang, lombok, semua mahal. Padahal enggak mungkin naikin harga semangkok bakso," ujarnya lagi tanpa ditanya.

Kali ini aku simpatik. Keluhan itu kutanggapi dengan pertanyaan yang lewat di kepala. Usaha dagang terakhir yang dia tutup adalah berjualan bakso dan mie ayam di Jalan Imogiri Barat. Dia sudah menyewa gerobak selama lima tahun untuk keperluan dagang. Namun nasib berkata lain, satu setengah tahun saja kemudian dicukupkan.

Dari jualan angkringan itu dia harus bayar rumah sewa seharga Rp 14 juta/tahun di sekitar Jalan Kaliurang. Kalau tak salah dengar, dia menyebut kata-kata "tiga kali enam meter."

Tiba-tiba di sela-sela obrolan kami datang seorang ibu-ibu berusia 30 tahunan. Dia datang minta dibikinkan jahe panas sambil bawa jaket untuk pedagang angkringan. Hawa malam hari di Jogja memang terkadang dingin.

"Ini istri saya, mas. Kalau siang, dari jam 11 sampai sore, yang jaga dia. Kalau malam saya," katanya menjelaskan.

Angkringan itu berdiri di ujung timur sebuah jembatan. Tepat di atas trotoar, tempat pejalan kaki seharusnya berjalan.

Sebenarnya ada pertanyaan "Kalau pagi gerobak ini ditaruh di mana?"

Namun pertanyaan itu kusimpan ketika kulihat kaki gerobak. Pada keempat kakinya ada semen yang ditumpuk dengan tidak rapi. Dengan kata lain, gerobak itu tidak dipindah, alias semi permanen.

Jembatan itu termasuk baru. Usianya belum ada lima tahun. Tapi di ujung timur jembatan sudah dihinggapi gerobak angkringan yang disemen.

Bagi saya, ini pelanggaran. Bagi dia, ini metode bertahan agar tetap bisa makan.

14 January 2017

Lawak dan Ketidakpastian Hidup: Apa-apa yang Tak Boleh Berhenti

via www.bentarabudaya.com

“..bahwa kita pun menyembunyikan badut atau lawak, yang sewaktu-waktu perlu dimunculkan keluar.

Apa yang tersembunyi itu mengatakan pada kita, janganlah kita terlalu berpedoman bahwa hidup ini harus selalu bermakna dan berarti.

Hidup juga perlu kita terima apa adanya, dan kita nikmati, walau kita tidak tahu apa arti hidup itu sesungguhnya. 

Sering dengan menerima hidup apa adanya, kita justru diubah, dipelaskan dari kekakuan dan pendirian yang tak dapat ditawar, yang membuat kita lelah. Dengan lawak dan lelucon, kita jadi tahu tak ada yang pasti dalam hidup ini.

Kita menerima, bahwa hidup ini harus terus berjalan, tak boleh berhenti.

Kita bagaikan pengamen, yang mbarang atau mengamen, berjalan dan bernyanyi, tertawa, menghibur sesama dan dengan demikian menghibur diri sendiri.”

Sindhunata, dalam artikel “Berziarah dalam Tawa” (Majalah BASIS Nomor 09 – 10, Tahun ke-65, 2016)

Kritik Krik-Krik

Tak henti-hentinya para kritikus menyebut iklim media Indonesia ini dipenuhi oleh televisi Jakarta bersiaran nasional. Bukan televisi nasional.

Dulunya saya tidaklah sadar, baru sadar setelah baca satu tulisan di Remotivi. Sudah pernah baca kan? Itu salah satu situs yang padat bergizi untuk disantap kapanpun juga.

Anda boleh saja setuju, boleh pula tidak. Namun tatkala melihat acara debat Calon Gubernur DKI 2017 kemarin, sulit bagi saya untuk tidak setuju. Malam ada acara debat tersebut, dalam hitungan jam video sudah disebar di Youtube, paginya masih dibahas di TV One.

Sementara warga Yogyakarta barangkali secara umum belumlah mengerti bahwa Walikota dan Wakil Walikota mereka akan bertarung di Pilkada mendatang. Sekalipun tahu, saya yakin bisa dihitung dengan jari mereka yang tahu nama pasangannya. Soal nama dan pasangan calon Gubernur DKI mendatang? Jangan ditanya.

Tentu saja kritik di awal tulisan ini mengkritik hal yang memang sulit. Pasalnya, DKI adalah ibukota, pusat pemerintahan di Indonesia—yang juga adalah pusat perekonomian. Barangkali betul, memang banyak yang perlu diberitakan dari kejadian-kejadian yang berlangsung di Jakarta.

Namun kritik tetaplah kritik, dia selalu ada dalam setiap segala. Ibaratnya, bergerak rentan dikritik, diam saja pun pasti dikritik.

Dari sekian kritik, satu yang menggelitik dituliskan oleh salah satu idola saya Goenawan Mohamad. Melalui akun twitter @gm_gm dia menuliskan:


Menariknya, twit ini juga mengundang banyak kritik. Tak sedikit kritik itu bernada kasar dan hina, seakan dia tidak tahu sebesar apa sosok yang dikritiknya. Baiklah, katakan mereka tidak mengkritik sosok secara pribadi, tapi mengkritik tulisan/pemikirannya. Hadeh. Bahkan saya menduga, si pengkritik itu belumlah membaca, menulis, dan berpikir sebanyak GM ini.

Tapi, ya, itulah realitanya. Kadang ungkapan “jangan lihat orangnya, lihatlah isi omongannya” bisa jadi untuk membela diri, tapi kadang justru menusuk diri sendiri.

08 January 2017

Sayang, Change.org adalah Betul-Betul Wadah


Kira-kira setahun yang lalu saya kagum dengan ide petisi online. Dulu petisi ditandatangani oleh orang-orang secara manual. Kini dengan bantuan internet, sebuah isu yang dipetisikan bisa ditandatangani hingga ratusan ribu orang dalam waktu yang relatif singkat. Peserta petisi juga bisa membagikan kabar itu di akun jejaring sosial mereka guna mendapatkan dukungan yang lebih luas.

Salah satu platform petisi online yang populer di Indonesia adalah Change.org. Platform ini sebenarnya bersifat internasional, dia ada di puluhan negara lain juga selain Indonesia. Saking kagumnya dengan petisi online dan Change.org, saya sampai menulis soal ini dalam beberapa paper ilmiah sebagai tugas kuliah.

Kala itu saya menganggap bahwa Change.org adalah betul-betul kepanjangan tangan dari demokrasi. Warga bisa menekan pihak-pihak tertentu untuk melakukan apa yang menjadi kehendak warga. Tentu saja tekanan itu terbatas ya, “hanya” dengan cara membombardir alamat email pihak itu dengan email dari peserta petisi. Hal yang diserang adalah kredibilitas dari pihak tertuju petisi tersebut. Sudah di”serang” oleh ratusan ribu tanda tangan kok masih saja bebal dan tidak bergerak?

Tema petisinya juga menurut saya keren-keren. Kalau saya tidak salah ingat beberapa tahun ini tema-tema yang banyak muncul adalah soal lingkungan, politik, dan kemanusiaan. Dengan tagline “Wadah Perubahan” saya melihat platform ini positif sekali. Memang betul ada banyak perubahan, setidaknya berdasarkan apa yang dilaporkan mereka tiap kali petisinya berhasil.

Sekarang kondisinya agak berbeda. Bagai orang pesisir yang biasa saja tatkala melihat laut yang indah, saya juga demikian. Saya mengernyitkan dahi ketika saya menganggap Change.org adalah betul-betul wadah saja. Orang bisa saja sesuka hati menganggap suatu hal memiliki tingkat kepentingan yang tak bisa lagi ditawar, kemudian mem-petisi-kan hal tersebut untuk minta dukungan.

Saya terkejut dengan petisi berjudul “Semua Manusia: Memaksa Bapak Jokowi Melakukan Tes DNA sebagai Klarifikasi atas Fitnahan NEO PKI” yang digagas oleh akun bernama Anti Pembohong.

Berikut saya kutipkan teks pengantar di bawah judul petisi tersebut

Ini jalan terakhir pembuktian, jangan anggap kami gila bila anda bernyali...!
Lebih gila siapa dibanding membohongi jutaan manusia..?
Lebih dosa mana orang yang memfitnah dengan orang yang memelihara fitnah..?

Bapak Jokowi yang terhormat, anda jangan jadi pengecut seperti yang dimakan anakmu di singapore. Buktikan tuduhan kami adalah fitnah dengan mengklarifikasi anda bukan pemalsu identitas ibu kandung Sulami.

Anda durhaka mengakui ibu kandungmu Sudjiadmi yang sesungguhnya ibu tirimu istri kedua ayahmu si Ketua OPR PKI. Jangan malu sekalipun ibu kandungmu Wakil Ketua Gerwani Pusat yang melahirkan adik tirimu hasil selingkuhan Michael Bimo Putranto, agar Abraham Samad bernyali mengusut Trans Jakarta.

Apakah anda kira dengan membredel para demonstran akan membuat kami kecut?

Anda itu masih makan nasi pak. Kami percaya adanya Tuhan.

Anda telah membangunkan singa tidur wahai anak PKI. Rakyat Indonesia yang merasa anda bohongi akan terus melawan anda bila anda anggap ini cuma bualan.

Apakah anda kira kekuasaan itu abadi?

Semakin engkau zolimi maka akan semakin membakar keberanian kami menentangmu hei manusia munafik.

Salam 5 jari Anti NEO PKI

Gatal sekali rasanya ingin mengomentari setiap kata yang ditulis dalam pengantar ini. Nantilah saya tuliskan di postingan lain. Pada postingan ini saya menekankan pandangan saya soal Change.org yang termakan sendiri oleh penamaan wadah pada dirinya. Bagi saya Change.org menurunkan kredibilitasnya karena melakukan kesalahan berlapis.

Anonimitas. Kita tahu sendirilah anonimitas ini menjadi peluang sekaligus ancaman di dunia maya. Untuk isu sebesar ini (ini soal kepala negara, soal martabat negara, bukankah cukup besar?) kenapa bisa meloloskan akun anonim untuk mengangkatnya?

Kabar burung. Belum dilihat pula dari latar belakang informasi ini yang tidak jelas. Soal Jokowi  yang keturunan PKI, yang ayahnya Ketua OPR PKI dan ibunya Wakil Ketua Gerwani Pusat. Ini informasi dari mana? Lagipula.. kalau memang Jokowi keturunan PKI lantas kenapa? Katakanlah saya buta sejarah, tapi akuilah kalau ketakutan soal PKI (dan Neo PKI) ini sengaja dihembuskan oleh pihak tertentu dengan agenda tertentu pula.

Logika yang embuh. Saya tidak paham mengapa orang yang dituduh malah disuruh membuktikan bahwa tuduhan itu tak benar? Bukannya seharusnya beban pembuktian ada pada orang yang melontarkan tuduhan? Misalnya, saya menuduh Anda adalah hewan. Maka saya haruslah membuktikan bahwa tuduhan saya itu benar. Saya harus mencari bukti ciri-ciri fisik dan kemampuan kognisi yang Anda miliki itu sama persis dengan yang dimiliki hewan. Kan yang menuduh saya, dan Anda yang kena tuduh. Jadi Anda juga tak perlu membuktikan bahwa Anda bukanlah hewan. Bagaimana bisa ketidakpahaman logika sesederhana ini bisa lolos di Change.org sebagai wadah berkelas dunia?

Saya sungguh tak paham.

Baca Tulisan Lain