Skip to main content

PENOLAKAN: Belajar dari Pram

via www.saleshacker.com

Artikel hasil riset saya ditolak sebuah redaksi jurnal di bidang ilmu komunikasi. Selama beberapa waktu kekecewaan tidak bisa ditolak. Pasalnya, artikel itu saya tulis dengan serius. Datanya saya ulas menggunakan metode analisis yang baru saja saya pelajari.

Saya jadi ingat tiga tahun lalu ketika diwawancara oleh HRD sebuah perusahaan besar di Sukoharjo. Ketika proses berlangsung dia mengatakan, “Oh, anda takut dengan penolakan,” sambil mencatat di selembar kertas.

Saya mengerutkan kening.

Bagi saya, itu penilaian yang terlalu dangkal. Saya yakin dia orang berpendidikan. Saya menduga, dia pernah belajar psikologi. Namun cara dia mengambil penilaian (baca: kesimpulan) dari sedikit kata yang saya ucapkan, rasanya terlalu dangkal. Saya rasa dia tak lebih dari menebak, dan tebakan itu kali ini meleset.

Soal penolakan, rasanya saya cukup terbiasa. Empat kali ditolak kuliah sarjana S1 di UGM. Empat kali juga artikel riset saya ditolak jurnal. Belasan kali artikel opini saya ditolak Harian Kompas. Puluhan kali artikel opini saya ditolak harian-harian lokal. Dan tentu, 50an lamaran saya di JobStreet dan situs kerja lainnya tidak mendapat tanggapan dari perusahaan.

Nyatanya, penolakan itu tidak menyurutkan langkah.

Di tengah rasa kecewa itu lalu secara tak sengaja saya menemukan sebuah video seseorang yang mewawancara Pramoedya Ananta Toer. Dia adalah sosok penulis kaliber di mata saya—dan bagi banyak orang tentunya.

Dia ditanya, “Mana karya anda yang menurut anda paling besar?”

Jawabannya sungguh di luar dugaan. Intinya dia mengatakan, “Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Semua karya saya adalah anak-anak rohani saya. Mereka terlepas dari saya dan punya nasibnya sendiri-sendiri. Ada sebagian yang mati muda, dan barangkali sebagian yang lain abadi.”

Kata-kata Pram itu menentramkan.

Bukan “aku” yang ditolak oleh redaksi dan korporasi, melainkan anak-anak rohani. Mereka ditolak oleh dunia, tidak masalah. Mereka terlepas dari “aku” dan mereka punya nasib sendiri-sendiri.

Inspirasi dari Pram ini tidak hanya tidak menyurutkan langkah, tetapi juga menguatkan kaki.

Mari. Jangan berhenti.

Update:
Artikel saya akhirnya diterima. Anda dapat baca di tautan ini.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.