via www.limitless.agency |
“Pokoknya
kalau mau memulai bisnis, niatmu harus baik dulu. Mantapkan dalam hati kalau
niatmu itu untuk membantu orang,
bukan untuk cari untung,” ujar pakdhe.
Sebetulnya
saya tak kenal dengan sosok ini. Kulitnya gelap seperti saya, dengan garis muka
yang keras. Meski dia menyebut dirinya sendiri dengan pakdhe (baca: bapak
gedhe/kakaknya bapak), sebenarnya umur dia belum tua. Saya perkirakan 30 akhir
atau 40 awal.
Kalau
kita tidak tahu aksi-aksi besar yang dia lakukan, sudah pasti kita akan menuduh
dia si besar mulut. Namun setelah tahu dari orang lain, soal bagaimana dia
mengangkat perekonomian sebuah desa, memberi semangat pada orang-orang yang
sudah layu, kita jadi tahu perbuatannya lebih besar dari mulutnya.
Ada
banyak pelajaran yang saya dapatkan, terutama soal bisnis. Menurutnya, bisnis
bukan perkara hitung-hitungan keuntungan semata. Menjadi pebisnis itu soal
mental, dan berbisnis itu soal membantu orang lain. Ketika yang ada di pikiran
kita saat bisnis itu hanya duit dan untung saja, dia menjamin kita tidak akan
berhasil.
Dia
lalu mencontohkan dirinya. Dengan modal ikhlas dan niat untuk membantu orang
lain, kini dia punya dua tempat servisan komputer di Jalan Kaliurang,
Yogyakarta. Baginya, memiliki dua tempat servisan komputer itu berarti peluang
dia untuk membantu orang lain akan lebih besar.
Tidak
perlu juga memikirkan pahala atau balasan. Dia mengibaratkan hidup kita ini
seperti selang air saja. Ada air yang mengalir dari “atas” melalui kita, untuk
mencukupi kebutuhan orang lain. Sesederhana itu.
Awalnya
sih saya tidak setuju. Bagaimana mungkin memulai bisnis kok tidak itung-itungan
keuntungan? Namun lama-lama saya sepakat, tetapi dengan cara pandang yang
berbeda. Saya memaknai “jangan mikir duit” itu sebagai “jangan hanya mikir duit” ketika berbisnis.
Bicara
soal bisnis, saya jadi ingat seorang teman di Facebook (FB). Dia lulusan dari
universitas negeri ternama di Jawa Tengah. Sampai saat ini setahu saya dia
tidak bekerja pada perusahaan tertentu. Bisa ditebak, dia menjadi pebisnis.
Namun rasanya bisnis yang dia jalankan tidak spesifik.
Misalnya,
dulu dia sempat berjualan (memasarkan) rumah dan mobil bekas. Lalu handuk. Lalu
kopi. Lalu makanan kucing. Barangkali juga menjual barang-barang lain yang tidak
saya ketahui. Jadi dia menjual beragam barang. Harus diakui, tangguh juga.
Namun
bukan ragam barang itu yang saya perhatikan, melainkan cara dia menulis status
FB. Barangkali dia percaya soal “law of attaction” yang bicara soal sugesti,
hukum tarik menarik, afirmasi, dsb. Jadi status-statusnya di Facebook malah
seperti mantra. Dan tanpa tedeng aling-aling, mantra itu minta rejeki dan
membuatnya jadi orang kaya.
Sepertinya
dia juga ikut kelompok mentoring bisnis tertentu. Beberapa statusnya
dikomentari oleh orang yang dia panggil “master”. Mereka saling memuji dan
membesarkan hati. Seringkali mereka juga bicara mengenai hal-hal yang tak saya
mengerti.
Apakah
hasilnya memuaskan? Setahu saya sih belum. Setidaknya dia belum pamer apapun
sebagaimana mantra-mantra yang dia ucapkan tiap awal tahun.
Melalui
tulisan ini ijinkan saya sok tahu untuk menilai cara berbisnis—lebih tepatnya
cara memasarkan—seseorang. Jadi mengapa (anggaplah) kawan saya ini belum
menemukan hasil yang sesuai target?
#1
Mantra-mantra itu menakutkan
Untuk
saya pribadi, kata-kata sugesti atau afirmasi yang dia tuliskan di status itu
sedikit menakutkan. Parahnya, dia menggunakan akun yang sama untuk berjualan
berbagai macam barang itu. Jadi bayangkan saja kemarin habis baca mantra-mantra
pengundang rejeki itu, lalu pada akun yang sama keesokan harinya dia berjualan
barang. Bukankah itu justru membuat pembaca/teman FB lainnya seperti “korban”?
Dia pun
juga sering menuliskan impian-impiannya di status FB, yang hampir semuanya
adalah soal duit dan soal menjadi kaya. Barangkali tujuannya adalah untuk
menarik rejeki itu dari semesta. Tapi tahukah dia bahwa seringkali yang
dimaksud dari “write your goal” itu adalah menulisnya di catatan pribadi, bukan
di media sosial? Sering menulis di catatan pribadi itu membuat kita lebih
sering mengenal diri, lebih mengetahui hasrat-hasrat terdalam dalam diri. Apa
esensinya menulis seperti itu di media sosial? Orang-orang lalu akan
membantunya dengan cara membeli barang yang dia jual? Kan agak lucu.
#2
Kalimat yang dia pilih ketika menjual barang
Misal,
waktu itu dia menjual berbagai mobil bekas. Harga mobil bekas itu sangat
beragam, dari belasan juta sampai ratusan juta. Tetapi dia main di harga
sekitar 40 sampai 60an juta. Apakah anda bisa membayangkan mobil harga puluhan
juta itu ditawarkan dengan kalimat yang seperti menawarkan sebungkus rokok?
Rasanya lucu sekali ketika membaca, seakan orang itu tidak butuh waktu panjang
untuk berpikir membeli mobil apa. Lagipula tampak sekali kalau dia adalah
makelar mobil yang tidak paham soal mesin. Kalau sudah begitu, bagaimana orang
mau tertarik?
Pernah
juga dia menuliskan kalimat iklan yang menurut saya sudah cukup baik, tetapi
akhir-akhirnya malah fail. Dia justru menyebutkan kalau beli barang ini akan
jadi rejeki untuknya. Hadeh. Siapa sih yang akan peduli? Menurut saya sih
kalimat itu tidak perlu. Alih-alih fokus pada barang dagangan yang memang
menarik, calon pembeli itu justru merasa akan jadi “penyumbang rejeki” pada
kawan satu itu.
Barangkali
ini yang dimaksud pakdhe. Mikir soal duit terus aja nggak boleh, kok ini malah
eksplisit menuliskannya di status-status.
#3
Salah lapak
Barangkali
hampir separuh waktu saya untuk ngenet sambil tiduran di kamar kos habis untuk
buka FB. Mengapa? Bagi saya ada banyak sekali info di sana. Saya ikut berbagai
macam grup yang bertema penelitian, ilmu komunikasi, komunisme, sosialisme,
atheisme, pendakian, sepeda, hingga jual beli barang umum. Dari banyaknya forum
jual beli seperti itu saya merasa masih aneh ketika kawan itu menawarkan mobil
bekas hanya pada status FBnya sendiri—yang lalu dia like sendiri.
Juga
ketika dia berjualan rumah (waktu itu di luar Jawa). Dia juga hanya
mengiklankan di statusnya sendiri. Padahal adanya grup jual beli itu
menguntungkan penjual karena sudah punya pasar yang spesifik. Maksud saya
adalah, kalau ingin memancing ikan lele, ya jangan mancing di laut. Kira-kira
begitu.
Saya
tidak tahu kawan itu akan baca tulisan ini atau tidak. Semoga tidak. Saya
khawatir dia sakit hati. Saya ini bukannya membantu, bisanya kasih kritik aja.
Lagipula itu kritik macam apa, wong penulisnya saja juga belum melakukan
apa-apa untuk berbisnis.
Sekian.
Jatingaleh
18.09.2017
No comments:
Post a Comment