via www.sansbullshitsans.com |
Terjun langsung ke dunia pendidikan membuat pikiran saya
semakin mengawang-awang. Membaca tulisan-tulisan lawas di blog ini, saya merasa
dulu saya adalah mahasiswa yang idealis.
Jangan salah, idealis yang saya maksud bukanlah menjadi
mahasiswa yang ideal: nilai aman, aktif berorganisasi, rajin riset, doyan baca
buku, produktif dalam menulis dan berkarya, jatuh cinta berkali-kali, serta tak
lupa naik gunung, nongkrong setiap malam—ditemani rokok, alkohol, gitar, dan
film.
Sebaliknya, idealis yang saya anut justru bermuatan
“negatif”, yaitu semaunya sendiri. Barangkali, dulu, hal yang ideal bagi saya
adalah melakukan apa yang saya mau: tanpa diatur, tanpa larangan, dan tanpa
intervensi dari manapun. Akibatnya, tanpa disadari saya menutup peluang-peluang
besar untuk diri saya sendiri. Dua hal yang barangkali menyelamatkan adalah
terlibat dalam pers kampus dan indeks prestasi kumulatif yang mencukupi untuk
diganjar “cum laude.”
Di tempat saya kerja sekarang, sangatlah sulit untuk
menjadi idealis—barangkali juga di hampir semua tempat kerja. Saat ini yang
saya maksud dengan idealis bukanlah seperti yang dulu saya anut, tetapi dalam
arti yang sebenarnya. Sulit untuk jadi idealis. Bahkan nyaris tak mungkin.
Mengingat dan menimbang banyak hal yang terjadi di sini, kesulitan itu wajar
sekali.
Keadaan itu membuat saya menjadi terguncang. Berkali-kali
dalam benak, saya membenturkan banyak hal. Seakan kaki ini melayang dan
membiarkan tanah di bawah bertarung dengan sendirinya. Tanpa bisa saya atur,
tanpa mau saya terlibat. Pertempuran yang sering terjadi adalah ilmu
pengetahuan (berbasis teori dan riset) dan keterampilan praktis.
Mana yang sebaiknya jadi penekanan di dunia pendidikan di
depan saya ini? Bicara soal ilmu pengetahuan di kelas rasanya seperti
kesia-siaan. Dengan minat baca rendah, dan kecenderungan untuk membuat semuanya
menjadi instan dan praktis, saya yakin kawan-kawan saya ini kesulitan menangkap
materi teoritis.
Pernah suatu kali saya “memaksa” kawan-kawan mahasiswa
untuk membaca jurnal berbasaha Inggris dengan cara memberi tugas resume.
Hasilnya? Terjemahan Google Translate yang nyaris tanpa revisi (tata bahasanya
kacau), apalagi refleksi. Mengecewakan, karena rupaya saya gagal menyadarkan
bahwa dengan berbuat seperti itu mereka sedang membodohi diri mereka sendiri.
Sedangkan mengajar soal keterampilan praktis? Saya tidak
sepakat. Karena, satu, kuliah pascasarjana yang saya tempuh bukanlah belajar
soal teknik peliputan, menulis berita, atau mengoperasikan kamera. Semua soal
analisis dan riset. Kami dididik untuk menjadi ilmuwan, bukan pengajar teknis.
Intinya: saya sendiri merasa tidak kompeten untuk mengajar praktis. Kedua,
keterampilan praktis itu akan lebih baik didapatkan pada jenis pendidikan lain,
bukan sarjana. Sekolah-sekolah tinggi yang menekankan keterampilan tentu jadi
tempat yang lebih baik untuk belajar.
Bagaimanapun, keterampilan praktis perlu juga
diperkenalkan kepada kawan-kawan. Maka tidak heran beberapa pengajar di sini
bukan bergelar S2, tetapi mereka yang telah secara matang berlatar belakang
sebagai praktisi.
Namun semuanya jadi kacau ketika saya mengingat perkataan
salah seorang dosen saya yang menyebut mata kuliah praktik tersebut sebagai
“mata kuliah pertukangan.” Dia bermaksud merendahkan—saya yakin itu. Selain itu
saya juga ingat kritik dari aliran tertentu bahwa pendidikan seharusnya tidak
hanya melahirkan sekrup-sekrup pabrik yang setelah lulus lalu jadi orang yang
dengan bangganya pakai kemeja bertuliskan perusahaan-perusahaan kapitalis punya
konglomerat bangsat. Seakan tak sadar bahwa keringat mereka sedang diperas,
mereka jadi buruh pintar yang mau-mau saja dibayar murah. Idealisme mereka lalu
luntur karena kepentingan politis dari pemilik perusahaan. Dan seterusnya dan
seterusnya.
Ah sudahlah. Sebaiknya saya hentikan saja omong kosong
ini. Saya sudah banyak omong kosong di kelas.
No comments:
Post a Comment