05 February 2018

KUTUKAN SERAMPANGAN ALA WARGANET

via www.collegexpress.com
“Itulah azab yang harus diterima oleh orang yang kerja di sistem riba..”
“Itu yang bego suaminya. Tau istrinya stress kerjaan kok didiemin aja. Diajak jalan-jalan kek. Gak becus amat jadi suami..”

Persoalan yang ada pada fenomena penggunaan Internet di Indonesia ada begitu banyak. Kalaupun tidak banyak, sifatnya mendalam dan akut.

Selain soal rendahnya kemampuan mengidentifikasi hoaks, persoalan yang mengusik belakangan ini adalah soal penghakiman, kutukan, atau barangkali ada istilah lain yang lebih pas untuk itu.

Dua kutipan di atas adalah komentar yang saya temukan di Facebook. Komentar itu menanggapi berita tentang seorang karyawati bank yang bunuh diri di Jakarta dengan cara melompat dari lantai 10. Kebetulan, korban tersebut adalah warga Yogyakarta. Beberapa teman saya mengenalnya dengan baik.

Alih-alih berempati dan membahas soal penanganan depresi, segelintir (atau justru sebagian besar) warganet justru menghakimi korban dan orang-orang dekat korban. Bagi saya, itu kejahatan.

Orang-orang barangkali bisa berkata “terserah orang mau bilang apa” dan ungkapan-ungkapan sejenisnya, tetapi itu tak menyelesaikan persoalan. Sependek yang saya amati, ada dua persoalan bertingkat yang menjangkiti sebagian warganet. Pertama adalah persoalan rendahnya pengetahuan dan empati. Kedua adalah persoalan pengungkapan pendapat itu sendiri di dunia maya.

Tak tahukah warganet bahwa depresi itu tidak bisa disepelekan? Penanganan orang depresi tidak dapat diselesaikan dengan memeluk korban depresi lalu mengatakan “rileks sajalah, hidup hanya sekali, dibikin hepi saja..” Tidak. Itu terlalu lugu dan sederhana—jika tidak dikatakan konyol.

Tak tahukah warganet kondisi psikologis orang-orang terdekat korban bunuh diri? Apakah warganet tak punya kemampuan untuk mengimajinasikan berada pada posisi-posisi tertentu untuk mengolah kepekaan persepsinya? Terlalu sulitkah untuk membayangkan sahabat terdekat bunuh diri? Pasangan? Saudara?

Berkata sinis dan tidak hormat, atau lebih dari itu: mengutuk pakai dalil agama, kepada korban dan orang-orang terdekat adalah realitas yang menjangkiti warganet. Kita tak bisa mengelak lagi atas tuduhan ini. Buktinya banyak dan bertebaran di mana-mana.

Barangkali persoalan ini berakar pada terbatasnya pengetahuan dan gagal dalam berempati. Tentu akan sangat ironis ketika kita sadar bahwa persoalan ini muncul dari masyarakat yang konon berkarakter komunal, agamis, menjunjung tinggi sopan santun, dan mengagungkan “rasa” dalam bertindak.

Soal yang lebih parah adalah soal pengungkapan di dunia maya. Tidakkah warganet punya kebijaksanaan dalam diri untuk menyaring apa-apa yang perlu diutarakan di dunia maya? Tak cukup luaskah pikiran mereka untuk menampung segala hal hingga semua-muanya harus diungkapkan dalam dunia maya?

Konsep “kebebasan berpendapat” tidak selayaknya digunakan untuk membenarkan dua kutipan di atas. Konsep itu barangkali lebih tepat digunakan dalam konteks politik, mengenai warga yang kini lebih mampu bersuara dibandingkan dengan era pembungkaman ala Orde Baru.

Jika suara-suara kutukan dan tidak berempati itu terdengar santer di media sosial, mana deskripsi yang lebih tepat untuk menggambarkannya: orang-orang bodoh yang bersuara keras atau orang-orang bijak yang memilih diam?



Baca Tulisan Lain