27 July 2025

Sowan Dewi Mariyah di Meanjin

Saat sedang asik berselancar di dunia maya, tiba-tiba foto patung Bunda Maria di sebuah tempat ziarah melintas begitu saja. Dari layar kecil di genggaman, Dia seakan memanggil-manggil. Lalu lahirlah semacam kegelisahan dan kerinduan yang sulit dijelaskan. Tak butuh waktu lama, kami sekeluarga merencanakan pergi sowan Dewi Mariyah di suatu tempat bernama Marian Valley.

Perkenalkan, saya Ryan. Saya suami dari seorang istri yang luar biasa. Kami dianugerahi dua anak perempuan yang masih kecil-kecil. Saat ini hingga beberapa tahun ke depan saya menjalani peziarahan keilmuan di pesisir timur Australia, tepatnya di Brisbane.

Sebagai pengikut Kristus, rasanya kami—setidaknya saya—bukan Katolik yang taat. Banyak ritual dan tradisi yang luput dijalani. Saya hampir tidak pernah ikut pantang dan puasa jelang Paskah. Pengakuan dosa terakhir kali juga entah kapan. 

Namun, mengunjungi tempat peziarahan Katolik rasanya punya tempat tersendiri dalam perjalanan spiritual saya. Ceilah.

Saya lahir dan besar di Jogja. Dalam waktu 30 menit dari rumah, saya bisa mengunjungi beberapa tempat ziarah: ke barat bertemu Gua Maria Ratu Perdamaian Sendang Jatiningsih, ke selatan bertemu candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, ke timur bertemu Gua Maria Sendang Sriningsih. Sedikit lebih jauh, saya bisa ke Gua Maria Sendangsono, Gua Maria Tritis, dan tempat-tempat ziarah lainnya.

Tempat-tempat tadi sangat berkesan untuk menyepi dan menepi dari keruwetan. Tak terhitung lagi ucapan syukur, permohonan, air mata, serta ratapan yang tertumpah di sana. Semua bercampur dengan aroma wangi dupa dan lelehan lilin yang mengeras. 

Menjalani “keterlemparan” di Brisbane memang menarik sekaligus menantang. Banyak hal terasa berbeda. Di gereja lokal, misa hari Minggu berdurasi sekitar 40 menit. Seperti ekstensi misa harian di Jogja. Homili padat dan singkat, sayang sekali saya masih sulit memahami isinya karena berbahasa Inggris. Bukan, bukan karena aksen Australia. Telinga saya saja yang belum terbiasa.

Beruntung, sekitar 10 menit dari rumah sewa ada gereja yang mengadakan misa berbahasa Indonesia. Pengelolanya adalah Indonesian Catholic Family (ICF) Brisbane-Gold Coast. Komunitas ini sama sekali baru bagi saya. Namun berkat keramahan anggota komunitas, lambat laun saya merasa diterima.

Dari komunitas inilah saya tahu ada tempat bernama Marian Valley. Lokasinya cukup jauh dari rumah sewa kami. Dari cerita yang saya dengar, di tempat itu ada “gua Maria” dari banyak negara.

Ditemani Mendung dan Hujan

Menurut ramalan cuaca pada hari H, langit akan mendung sejak pagi, lalu sore akan turun hujan. Ramalan ini meleset sedikit. Hujan ternyata turun sejak tengah hari. Beruntung intensitasnya gerimis dan sedang saja.

Perjalanan dari rumah sewa terhitung lancar dan menyenangkan. Kondisi jalan cukup lengang. Apalagi kami juga lewat motorway, semacam jalan raya untuk kecepatan tinggi. Seperti tol di Indonesia, tapi tidak berbayar. Saya injak gas dengan stabil untuk meluncur di kecepatan rata-rata 80 km/jam.

Selepas dari motorway kami melewati padang-padang rumput yang luas di kiri dan kanan jalan. Alas hijau, atap abu-abu, udaranya dingin. Syahdu sekali. Kadang kami juga lihat sapi dan kuda sedang merumput. Mereka berdiri agak berjauhan, seperti sedang jaga jarak. Sibuk dengan rumput masing-masing.


Di tengah jalanan yang didominasi padang rumput, tiba-tiba kami menyeberangi kota kecil yang manis sekali: Canungra. Terlihat pusat perbelanjaan, toko-toko kecil, cafe, penginapan, klinik, dan sekolah negeri dengan bangunan khas Queensland.

Kota kecil itu ternyata penanda kami sudah dekat ke lokasi. 

Dewi Mariyah Bertebaran

Kesan pertama tiba di lokasi parkir: hijau, alami, dan rapi. Kondisi ini mirip dengan ruang terbuka lain di Brisbane. Kontur di dekat lokasi parkir itu berbukit-bukit, seperti di lereng gunung.

Kami berjalan masuk dan menemukan kapel yang hanya tertutup di tiga sisi. Satu sisinya terbuka, tak berdinding sama sekali. Dari sisi yang terbuka itu kita bisa langsung lihat meja altar jauh di depan. Di belakang meja altar ada ruangan kecil yang kabarnya digunakan anggota paduan suara ketika misa.

Setelah dari kapel, kita akan bertemu taman terbuka lagi. Di sebelah kiri ada jalan salib yang singkat, tidak seperti jalur jalan salib di tempat-tempat ziarah di Jogja dan sekitarnya. Saya lalu teringat rasanya jalan salib di Gua Maria Tritis. Menantang terik matahari di jalan berbatu, sambil menahan sakit di lutut sambil menggumam "dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia." Untunglah habis dari sana biasanya lanjut ke pantai-pantai di Gunung Kidul.

Selain jalan salib ada juga jalan menuju ke tempat-tempat berdoa. Ternyata betul, ada patung-patung Dewi Mariyah dari berbagai negara. Dari Indonesia ada? Ada, tapi sayang lokasinya sedang dililit pita kuning. Beberapa waktu lalu cuaca tidak bersahabat, bikin kaca pelindung di dekat patung itu pecah. Sekarang sedang dalam tahap perbaikan.

Sebagian besar lokasi patung tidak ada atap untuk berteduh. Namun ada juga yang luas dan berbentuk bangunan seperti joglo. Ada yang menyediakan lonceng di kanan dan kiri patung untuk dibunyikan. Kami sempat mampir di salah satu ‘joglo’ itu untuk berteduh dari hujan sekalian membuka bekal.

Bagi saya, pemberhentian yang paling menarik adalah yang di paling ujung. Untuk mencapai ke sana pengunjung harus berjalan sedikit masuk hutan. Vegetasinya rapat, hanya sedikit sinar matahari yang bisa menerobos masuk. Jalan setapak itu seperti lorong remang yang dipenuhi akar pohon yang meliuk-liuk janggal. Udaranya lembap dan dingin. Di ujung jalan, persis di bawah pohon raksasa, berdiri patung Maria warna putih menyerupai totem.

Mencari Air Sendang

Di tempat ini, saya menemukan banyak patung Dewi Mariyah. Mereka berada di sebidang ruang terbuka yang luas, rapi, dan masih alami. Bahkan kami sempat menjumpai wallaby (mirip kangguru) kecil liar yang turun dari hutan bukit di samping lokasi. Namun ada yang tidak kami jumpai: keran air sendang.

Apakah tidak ada kepercayaan air sebagai lambang kesucian di Australia? Saya tidak tahu. Di lokasi ziarah, setidaknya di Jogja, biasanya ada mata air yang dipercaya ‘suci’ atau punya daya magis. Entah karena ada mata air yang disucikan itu lalu dibuatlah tempat doa, atau dibuat tempat doa baru digali/dicari mata air dekat situ.*

Dari mata air itu setidaknya peziarah bisa cuci muka, telinga, tangan, dan kaki dari keran-keran yang tersedia. Sebagian peziarah mengisi botol minum atau jerigen dan membawa pulang air dari sendang-sendang itu. Bahkan di Ganjuran ada juga tempat pemandian yang bisa dipakai peziarah, baik sebelum atau sesudah berdoa.

Nah, saya tidak menemukan yang begini ini di Marian Valley. Bisa jadi eksplorasi saya di lokasi belum terlalu jauh. Bisa jadi juga ada aspek kultural yang belum saya pahami. Maka pulang dari Marian Valley ada perasaan belum tuntas karena tidak ada yang ‘terbasuh’ setelah berziarah.

Kegiatan sowan Dewi Mariyah kali ini tak seperti biasanya. Beliau tidak menyajikan hidangan air sendang yang melimpah. Namun semoga pesan kemarin ini masih disampaikan kepada anak lanangnya.

----

*Ada juga tempat ziarah di sekitar Jogja yang bukan sendang, salah satunya Kerkof Muntilan.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain