05 July 2018

Bandara dan Air Mata Warga


Konflik antara PT Angkasa Pura 1 (bersama polisi dan satpol PP) dengan warga petani (bersama aktivis) kian memanas. Saya menyebutnya konflik, sementara para aktivis yang bermain di instagram menyebutnya sebagai PERAMPASAN atau PENGGUSURAN.

14 May 2018

Lawatan Taiwan: Orang Indonesia di Taiwan


Sepertinya banyak orang Indonesia yang bekerja di Taiwan. Hanya sedikit info yang saya dapatkan mengenai profesi mereka. Dengar-dengar sebagian bekerja di pabrik, cleaning service di kantor-kantor, penjaga lansia, dan sebagainya.

Lawatan Taiwan: Kebudayaan dan Gaya Hidup


Dari tulisan dan bahasa, jelas budaya di Taiwan didominasi budaya Cina. Tetapi cara berpakaian mereka sangat kebarat-baratan. Mudah sekali ditemui gadis-gadis di Taiwan yang pakai celana pendek sekali dan atasan yang terbuka.

Lawatan Taiwan: Jalanan Bersih dan Bangunan Tua


Kesan pertama ketika datang ke kota Taichung (sekitar 2 jam perjalanan dari Taipei) adalah bangunan lawas. Saya jadi ingat daerah pecinan di Malioboro. Bedanya, rasanya hampir sepanjang jalan besar yang saya lewati itu pertokoan.

Lawatan Taiwan: Pengalaman Pertama ke Luar Negeri


Untuk pertama kalinya saya melawat ke luar negeri, yaitu Taiwan. Rasanya? Biasa saja. Sebenarnya saya tak pernah sekalipun memikirkan negara itu sebagai tempat tujuan pergi saya. Hanya ada dua kata yang muncul di benak saya tatkala dengar kata Taiwan, yaitu: Cina dan F4.

10 April 2018

Untung Pakai BPJS Kesehatan (Bagian 1)


via sportsmd.com
Saya Ryan Sanjaya, warga negara yang biasa-biasa saja. Sebagai warga negara yang biasa, saya turut sok-sokan memberi komentar-komentar di medsos kalau ada kebijakan pemerintah yang menurut saya merugikan. Nah, supaya adil dan seimbang, kali ini saya akan membagikan cerita “kepuasan” saya sebagai warga negara, yaitu menjadi peserta BPJS Kesehatan (selanjutnya saya sebut BPJS saja).

Senjakala Facebook, Kemenangan Politik Kita?


via batamnews.co.id
Beberapa pekan lalu perusahaan raksasa Facebook sedang kelimpungan dihajar pasar. Mereka rugi sekitar 60 milliar dolar AS di pasar saham setelah harganya anjlok lantaran skandal pencurian 50 juta data pelanggan Facebook.

Adalah Cambridge Analytica (CA), sebuah firma analisis data yang mencuri data pelanggan tersebut dalam misi pemenangan Presiden Donald Trump pada pemilu tahun 2016 lalu. CA mengumpulkan data identitas pengguna, jaringan pertemanan, serta jumlah “like” dari pengguna terkait.

05 February 2018

KUTUKAN SERAMPANGAN ALA WARGANET

via www.collegexpress.com
“Itulah azab yang harus diterima oleh orang yang kerja di sistem riba..”
“Itu yang bego suaminya. Tau istrinya stress kerjaan kok didiemin aja. Diajak jalan-jalan kek. Gak becus amat jadi suami..”

Persoalan yang ada pada fenomena penggunaan Internet di Indonesia ada begitu banyak. Kalaupun tidak banyak, sifatnya mendalam dan akut.

Selain soal rendahnya kemampuan mengidentifikasi hoaks, persoalan yang mengusik belakangan ini adalah soal penghakiman, kutukan, atau barangkali ada istilah lain yang lebih pas untuk itu.

Dua kutipan di atas adalah komentar yang saya temukan di Facebook. Komentar itu menanggapi berita tentang seorang karyawati bank yang bunuh diri di Jakarta dengan cara melompat dari lantai 10. Kebetulan, korban tersebut adalah warga Yogyakarta. Beberapa teman saya mengenalnya dengan baik.

Alih-alih berempati dan membahas soal penanganan depresi, segelintir (atau justru sebagian besar) warganet justru menghakimi korban dan orang-orang dekat korban. Bagi saya, itu kejahatan.

Orang-orang barangkali bisa berkata “terserah orang mau bilang apa” dan ungkapan-ungkapan sejenisnya, tetapi itu tak menyelesaikan persoalan. Sependek yang saya amati, ada dua persoalan bertingkat yang menjangkiti sebagian warganet. Pertama adalah persoalan rendahnya pengetahuan dan empati. Kedua adalah persoalan pengungkapan pendapat itu sendiri di dunia maya.

Tak tahukah warganet bahwa depresi itu tidak bisa disepelekan? Penanganan orang depresi tidak dapat diselesaikan dengan memeluk korban depresi lalu mengatakan “rileks sajalah, hidup hanya sekali, dibikin hepi saja..” Tidak. Itu terlalu lugu dan sederhana—jika tidak dikatakan konyol.

Tak tahukah warganet kondisi psikologis orang-orang terdekat korban bunuh diri? Apakah warganet tak punya kemampuan untuk mengimajinasikan berada pada posisi-posisi tertentu untuk mengolah kepekaan persepsinya? Terlalu sulitkah untuk membayangkan sahabat terdekat bunuh diri? Pasangan? Saudara?

Berkata sinis dan tidak hormat, atau lebih dari itu: mengutuk pakai dalil agama, kepada korban dan orang-orang terdekat adalah realitas yang menjangkiti warganet. Kita tak bisa mengelak lagi atas tuduhan ini. Buktinya banyak dan bertebaran di mana-mana.

Barangkali persoalan ini berakar pada terbatasnya pengetahuan dan gagal dalam berempati. Tentu akan sangat ironis ketika kita sadar bahwa persoalan ini muncul dari masyarakat yang konon berkarakter komunal, agamis, menjunjung tinggi sopan santun, dan mengagungkan “rasa” dalam bertindak.

Soal yang lebih parah adalah soal pengungkapan di dunia maya. Tidakkah warganet punya kebijaksanaan dalam diri untuk menyaring apa-apa yang perlu diutarakan di dunia maya? Tak cukup luaskah pikiran mereka untuk menampung segala hal hingga semua-muanya harus diungkapkan dalam dunia maya?

Konsep “kebebasan berpendapat” tidak selayaknya digunakan untuk membenarkan dua kutipan di atas. Konsep itu barangkali lebih tepat digunakan dalam konteks politik, mengenai warga yang kini lebih mampu bersuara dibandingkan dengan era pembungkaman ala Orde Baru.

Jika suara-suara kutukan dan tidak berempati itu terdengar santer di media sosial, mana deskripsi yang lebih tepat untuk menggambarkannya: orang-orang bodoh yang bersuara keras atau orang-orang bijak yang memilih diam?



Baca Tulisan Lain