Skip to main content

Bandara dan Air Mata Warga


Konflik antara PT Angkasa Pura 1 (bersama polisi dan satpol PP) dengan warga petani (bersama aktivis) kian memanas. Saya menyebutnya konflik, sementara para aktivis yang bermain di instagram menyebutnya sebagai PERAMPASAN atau PENGGUSURAN.
 
Apapun itu, narasi-narasi penggusuran atas nama pembangunan selalu menyedihkan. Coba saja cek postingan-postingan instagram seperti Jogja Darurat Agraria atau Stop NYIA.

Warga tanpa senjata berhadap-hadapan dengan aparat bersenjata. Mereka protes keras ketika aparat memasang palang di jalan utama di sana. Warga terisolir di daerahnya sendiri, marah berat, tapi tidak bisa apa-apa.

Ada tangis pilu ibu-ibu yang memprotes tatkala dikepung polisi-polisi wanita. Dia tak paham mengapa dia harus tergusur dari tanahnya sendiri. Tanah yang selama ini memberi kehidupan.

Ada juga anak-anak kecil yang berteriak marah sambil berlari ke arah backhoe yang dengan perkasanya sedang merobohkan pohon-pohon kelapa. Kaki-kakinya juga dengan ganas menggilas tanaman cabai yang belum siap dipanen.

“Pasti kalah, mas. Warga pasti kalah,” tutur seorang wartawan ibukota kala berbincang dengan saya.

Penolakan pembangunan bandara baru “New Yogyakarta International Airport” ini tampaknya menguat. Namun pendapat seorang wartawan tersebut mungkin ada benarnya. Secara legal formal, warga memang kalah.

Bagaimana bisa kalah? Bukankah warga tidak pernah merasa menyerahkan lahan mereka untuk negara? Alasan itu roboh melalui pasal 42 UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Secara pribadi, nyatanya saya juga tidak melakukan apapun selain hanya menyukai postingan-postingan di media sosial. Suatu saat nanti, kalau proyek itu terus berjalan dan akhirnya bandara sudah jadi, saya pasti juga akan menggunakan bandara itu.

Selengkap apapun fasilitasnya, seindah apapun desainnya, dan sebahagia apapun saya akan pergi dan datang melalui bandara itu, saya tak akan melupakan: tanah bandara itu pernah becek karena air mata warga.


Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.