30 November 2016

Orang di Sela-Sela

Pemandangan dari samping kamar kos Andre.

Jumat sore saya duduk-duduk di teras samping kos kawan saya di Semarang, namanya Andre. Dari tempat itu saya bisa lihat pemandangan rumah dan bangunan lain yang tumbuh subur berjejalan.

Di sela-sela rumah itu ada puluhan, ratusan, jalan-jalan kecil yang telah halus beraspal. Sebagaimana jalan lain di kota itu, jarang ditemui jalanan datar. Rasanya setiap kali melibas aspal kok jalannya turun atau naik, meski hanya sekian derajat saja.

Sayup-sayup saya dengar suara anak-anak kecil yang tertawa riang sekali.

Langit sore dan suara anak-anak kecil yang tertawa riang, bukankah itu kemegahan gratis?

Saya maju ke batas pagar kos dua lantai itu dan melongok ke bawah. Terlihat gerombolan anak laki-laki yang main bola di jalan-jalan. Tentu saja, mereka pilih sepotong jalan yang agak datar. Mereka asyik sekali bermain, sambil sesekali berhenti  tatkala ada pengendara sepeda motor mau melintas.

Selang dua rumah di samping arena mereka bermain terlihat juga anak-anak perempuan yang bawa sepeda mini kesayangan mereka. Rombongan, mereka hampiri satu-satu rumah anak-anak perempuan lain untuk diajak bermain bareng.

“Anak kecil memang paling ahli menemukan kebahagiaan mereka, bahkan di sela-sela kepadatan rumah sekalipun,” pikir saya.

Sedetik kemudian saya sadar bahwa kita memang tak bisa jauh-jauh dari sela-sela—bahkan kitapun hidup di sela-sela!

Dalam wujud sperma, kita dilepaskan di sela-sela vagina ibunda. Setelah menemukan separuh kita (sel telur) lantas kita hinggap di sela-sela rongga dalam rahim.

Dari rahim itu kita keluar  lagi dari sela-sela vagina ibunda. Sebagian dari kita mungkin lahir dengan operasi, keluar dari sela-sela sobekan yang dibuat dokter (/bidan) di perut ibunda.

Begitu terus. Seterusnya. Hingga kita tahu bahwa hidup manusia itu ada di sela-sela keadaan dan ketiadaan. Dari tiada, menjadi ada, kemudian tiada lagi. Tak lebih dari itu.

Sekaya-kayanya kita, semelarat-melaratnya kita, kita lahir dari proses pembuahan di rahim ibunda, dan akan mati terurai menjadi entah. Sebagian orang bilang jadi tanah, sebagain lagi bilang jadi abu/debu. Sebagian lagi bilang kita akan dimakan cacing. Jelasnya, kita hanyalah proses kecil dari semesta yang maha segalanya ini.

Di antara sela-sela itu, di dalam ruang kosong yang tercipta, anehnya kita justru menciptakan makna. Dinding dilubangi jadi pintu dan jendela. Bisakah hidup tanpa pintu dan jendela? Di sela-sela antar dinding ada ruang. Bisakah beraktivitas tanpa ruang?

Namun memang, kadang dunia tak seindah itu. Di sela-sela los dagangan pasar banyak pencopet. Mereka ambil recehan orang lain diam-diam. Di sela-sela gedung pencakar langit Ibukota juga ada jalan-jalan besar,  yang malah digunakan untuk aksi demo. Demo yang awalnya damai dan berakhir ricuh.

Tiba-tiba dan tanpa diduga.. 

Di sela-sela awan sore di depan saya, sinar matahari berebutan masuk. Mereka cari celah untuk tetap turun ke bumi meski mereka sudah melorot jauh ke barat.

Seakan mereka ingin bilang, “Kami akan hilang diganti bulan, tapi tenang, besok kami kembali datang,” sebagai salam perpisahan.

Sayangnya tak ada lambaian tangan atas salam itu. Anggukan pun tak ada.

Anak-anak kecil tetap bermain dengan riang, tak peduli dengan pamitan matahari. Akhirnya saya lah yang melambaikan tangan sendirian. Pelan-pelan sambil lirik kiri kanan.

“Besok pagi saya akan menjumpaimu di Ibukota, matahari. Saya akan perkenalkan kau dengan kekasihku,” gumamku sambil menenggak air mineral yang hampir ludes.

Lantas hidup terus berlanjut di sela-sela waktu yang tak banyak.

The trouble is you think you have time,” tutur Jack Kornfield kala menginterpretasi ajaran Budha.

"Di sela-sela saat ini hingga ajal nanti, saya masih ingin memperkenalkan kekasihku kepadamu, matahari. Berulang-ulang, setiap hari, dan jangan pernah bosan."

Ah. Entah mengapa sore di kota orang menjadi sesentimentil ini.


25.11.2016
Semarang

Baca Tulisan Lain