Skip to main content

Lawatan Taiwan: Kebudayaan dan Gaya Hidup


Dari tulisan dan bahasa, jelas budaya di Taiwan didominasi budaya Cina. Tetapi cara berpakaian mereka sangat kebarat-baratan. Mudah sekali ditemui gadis-gadis di Taiwan yang pakai celana pendek sekali dan atasan yang terbuka.

 Anehnya di toko-toko pernak-pernik itu dijual barang-barang indigenous people yang mirip-mirip dengan beberapa tempat di Indonesia. Misalnya, motif kain yang mirip songket dan motif-motif di Kalimantan.

Ternyata penduduk asli di Taiwan bukanlah orang Mongoloid, melainkan ras Austronesia. Ras ini banyak ditemukan di Papua dan Australia. Saya tak tahu bagaimana persisnya kedatangan orang-orang Mongoloid ini ke Taiwan lalu mendominasi kebudayaan di sana.

Soal bahasa, baik di Taichung maupun di Taipei, kurang lebih sama dengan Indonesia. Tidak banyak orang yang bisa berbahasa Inggris. Maka bahasa “tarzan” seringkali jadi bahasa yang paling efektif.

Bahasa ini seringkali menyulitkan. Selain tidak bisa berbahasa Inggris, keterangan makanan di sana juga menggunakan huruf Han Zhi. Saya pernah beli makanan yang ada tulisan “Taro”. Wujud dan rasanya mirip soto, dengan rasa yang jauh lebih tipis. Saya kira Taro itu daging, ternyata semacam umbi-umbian.

Soal makanan, sepertinya Taiwan ini mirip dengan Cina, atau Jepang, atau Korea. Saya tak tahu persis. Mereka makan pakai sumpit. Makanan pokok tidak selalu nasi, seringkali juga mie. Hal ini kadang merepotkan bagi sebagian di antara kami yang tidak bisa tidak makan nasi. Hehehe..

Harga makanan di sana menurut saya lebih mahal dari Jogja dan Semarang. Harga rata-rata adalah sekitar 40-50 NT, atau kalau dirupiahkan sebesar Rp20ribu-Rp25ribu. Sebenarnya selisih harga tidak begitu jauh. Toh dengar-dengar pendapatan di sana juga lebih besar dari di sini, apalagi Jogja L

Gaya hidup di sana menurut saya sehat sekali. Banyak penjual buah di pinggir jalan. Selain itu warga ke mana-mana naik kendaraan umum dan berjalan kaki.

Saya juga sering melihat orang-orang lansia yang menunggu bus sambil senam-senam kecil. Terus terang ini pemandangan yang jarang sekali saya dapatkan di Jogja dan Semarang.

Saya juga sangat jarang melihat orang Taiwan merokok di jalan-jalan.

Kebiasaan yang juga menurut saya baik adalah self-service. Pemandangan lumrah di meja-meja depan Indomaret adalah sampah yang ditinggalkan oleh konsumen, bukan? Di sana tidak ada hal seperti itu. Semua membuang sampah pada tempat yang disediakan.

Bahkan di sebuah warung di Ximen Market di Taipei, konsumen mengembalikan sendiri mangkuk-mangkuk mereka ke tempat yang disediakan. Di hotel-hotel tempat kami menginap juga demikian. Selesai sarapan, kami mengembalikan sendiri alat-alat makan yang telah kami pakai. Untung tidak diminta mencucinya sendiri juga J

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.