Beberapa pekan lalu perusahaan raksasa Facebook sedang kelimpungan
dihajar pasar. Mereka rugi sekitar 60 milliar dolar AS di pasar saham setelah harganya
anjlok lantaran skandal pencurian 50 juta data pelanggan Facebook.
Adalah Cambridge Analytica (CA), sebuah firma
analisis data yang mencuri data pelanggan tersebut dalam misi pemenangan
Presiden Donald Trump pada pemilu tahun 2016 lalu. CA mengumpulkan data
identitas pengguna, jaringan pertemanan, serta jumlah “like” dari pengguna
terkait.
CA bekerjasama dengan peneliti Aleksandr Korgan
untuk membuat aplikasi “thisisyourdigitallife” yang bertema survei kepribadian.
Survei tersebut beredar luas di kalangan pelanggan Facebook yang tanpa sadar
menyerahkan data personalnya.
Facebook memang memiliki banyak pekerjaan rumah
yang mendesak untuk diatasi. Selain proteksi data pelanggan, persoalan konten
negatif (ujaran kebencian) juga marak beredar melaluinya.
Unilever, perusahaan yang menganggarkan belanja
iklan terbesar di dunia, bahkan menyatakan adanya kemungkinan untuk berhenti
beriklan di Facebook. Konten negatif tersebut dikhawatirkan mengubah persepsi
konsumen pada produk Unilever.
Kehidupan digital warganet di Indonesia tak bisa
memandang sebelah mata persoalan ini. Mengingat, pengguna Facebook di Indonesia
mencapai 130 juta akun, yang adalah jumlah tertinggi di Asia Tenggara dan
menempati posisi empat terbanyak di dunia.
Persoalan yang sama (ujaran kebencian) juga dialami
di Indonesia. Belum lama ini kepolisian menangkap tersangka-tersangka penyebar
ujaran kebencian di grup Facebook United Muslim Cyber Army. Sebelumnya,
kepolisian juga menangkap produsen ujaran kebencian dan disinformasi yang
tergabung dalam sindikat bernama Saracen.
Media
Sosial dan Politik Indonesia
Kehidupan politik di Indonesia tak lepas juga dari
penggunaan Facebook. Pilkada DKI Jakarta 2012 disebut-sebut sebagai contoh
terbaik bagaimana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur menggunakan media
sosial sebagai strategi kampanye pemenangan mereka.
Contohnya, hasil riset Andriadi (2014) menyebutkan
ada pembagian tugas pada tim media sosial milik pasangan Jokowi – Basuki yaitu
tim suportif, tim defensif, dan tim ofensif.
Tim suportif bertugas untuk menyampaikan pesan
positif tentang Jokowi – Basuki. Pesan positif tersebut di antaranya adalah
prestasi gemilang Jokowi tatkala menjadi Walikota Surakarta dan karakter Jokowi
yang sederhana dan merakyat.
Tim defensif bertugas untuk mengklarifikasi isu
negatif dan kampanye hitam yang dilakukan oleh calon pasangan lain. Klarifikasi
tersebut dilakukan untuk menepis tuduhan terkait rasial, agama, dan hubungan
darah dengan anggota PKI.
Adapun tim ofensif bertugas untuk menyebarkan data
dan fakta negatif mengenai lawan-lawan Jokowi – Basuki dalam kontestasi
tersebut. Tim media sosial tersebut mengklaim mereka menyebar data negatif dan
tidak melakukan kampanye hitam.
Media sosial kembali berperan penting dalam
kontestasi yang sama di DKI Jakarta periode berikutnya. Kali ini efek media sosial
menjadi lebih besar, baik secara skala persoalan maupun jarak secara geografis.
Berawal dari postingan Buni Yani terkait video
pidato Ahok di Kepulauan Seribu, berujung pada pemenjaraan pada keduanya. Ahok
dipenjara karena tuduhan penistaan agama, Buni Yani dipenjara karena tuduhan
tindak ujaran kebencian.
“Menakar”
Facebook
Melihat reputasi Facebook di dunia internasional
yang anjlok, dan dengan pengalaman kelindan dengan politik Indonesia yang rawan
memecah bangsa, masihkah kita bisa menaruh harapan padanya?
Untuk menjawabnya kita perlu melihat kembali
hakikat dari teknologi, yaitu alat. Herbert Marcuse (1965), seorang filsuf
beraliran kritis, menuliskan bahwa teknologi adalah alat kontrol, dominasi, dan
eksploitasi.
Meski dalam konteks yang berbeda, kritik atas
teknologi tersebut masihlah relevan. Kontestasi politik yang terjadi di dalam
dunia maya adalah kata lain dari mengontrol dan mendominasi kognisi pengguna
media sosial.
Fitnah dan ujaran kebencian, yang merupakan bagian
dari kampanye hitam, seringkali tak dapat dihindari sebagai bagian dari upaya
kontrol dan dominasi. Selama ini isu identitas rasial dan agama masih jadi isu
yang berhasil digunakan.
Menurut hemat penulis, Facebook sebagai wadah tidak
siap untuk menghadapi konten negatif. Penulis pernah melaporkan ujaran-ujaran
kebencian yang ada di suatu grup dengan harapan grup tersebut diblokir.
Tanggapan Facebook di luar harapan lantaran justru
menyarankan pengguna untuk tidak mengikuti (unfollow)
diskusi dalam grup, akun yang bersangkutan, ataupun postingan dari akun
tersebut.
Maka penting bagi publik untuk menyadari kembali
bahwa Facebook, sebagaimana jenis teknologi lainnya, adalah alat. Keberfungsian
alat ditentukan oleh motif dan keahlian penggunanya.
Tatkala “alat” itu tak dapat memilih siapa-siapa
yang menggunakannya, maka membangun kesadaran, nalar, dan sikap skeptis adalah
keharusan bagi publik (warganet). Peran polisi divisi kejahatan siber yang
selama ini sudah berjalan juga baik untuk dipertahankan. Semoga tahun politik
2018 – 2019 membawa angin perubahan yang berarti. (*)
No comments:
Post a Comment