10 April 2018

Senjakala Facebook, Kemenangan Politik Kita?


via batamnews.co.id
Beberapa pekan lalu perusahaan raksasa Facebook sedang kelimpungan dihajar pasar. Mereka rugi sekitar 60 milliar dolar AS di pasar saham setelah harganya anjlok lantaran skandal pencurian 50 juta data pelanggan Facebook.

Adalah Cambridge Analytica (CA), sebuah firma analisis data yang mencuri data pelanggan tersebut dalam misi pemenangan Presiden Donald Trump pada pemilu tahun 2016 lalu. CA mengumpulkan data identitas pengguna, jaringan pertemanan, serta jumlah “like” dari pengguna terkait.

CA bekerjasama dengan peneliti Aleksandr Korgan untuk membuat aplikasi “thisisyourdigitallife” yang bertema survei kepribadian. Survei tersebut beredar luas di kalangan pelanggan Facebook yang tanpa sadar menyerahkan data personalnya.

Facebook memang memiliki banyak pekerjaan rumah yang mendesak untuk diatasi. Selain proteksi data pelanggan, persoalan konten negatif (ujaran kebencian) juga marak beredar melaluinya.

Unilever, perusahaan yang menganggarkan belanja iklan terbesar di dunia, bahkan menyatakan adanya kemungkinan untuk berhenti beriklan di Facebook. Konten negatif tersebut dikhawatirkan mengubah persepsi konsumen pada produk Unilever.

Kehidupan digital warganet di Indonesia tak bisa memandang sebelah mata persoalan ini. Mengingat, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 130 juta akun, yang adalah jumlah tertinggi di Asia Tenggara dan menempati posisi empat terbanyak di dunia.

Persoalan yang sama (ujaran kebencian) juga dialami di Indonesia. Belum lama ini kepolisian menangkap tersangka-tersangka penyebar ujaran kebencian di grup Facebook United Muslim Cyber Army. Sebelumnya, kepolisian juga menangkap produsen ujaran kebencian dan disinformasi yang tergabung dalam sindikat bernama Saracen.

Media Sosial dan Politik Indonesia
Kehidupan politik di Indonesia tak lepas juga dari penggunaan Facebook. Pilkada DKI Jakarta 2012 disebut-sebut sebagai contoh terbaik bagaimana pasangan calon gubernur dan wakil gubernur menggunakan media sosial sebagai strategi kampanye pemenangan mereka.

Contohnya, hasil riset Andriadi (2014) menyebutkan ada pembagian tugas pada tim media sosial milik pasangan Jokowi – Basuki yaitu tim suportif, tim defensif, dan tim ofensif.

Tim suportif bertugas untuk menyampaikan pesan positif tentang Jokowi – Basuki. Pesan positif tersebut di antaranya adalah prestasi gemilang Jokowi tatkala menjadi Walikota Surakarta dan karakter Jokowi yang sederhana dan merakyat.

Tim defensif bertugas untuk mengklarifikasi isu negatif dan kampanye hitam yang dilakukan oleh calon pasangan lain. Klarifikasi tersebut dilakukan untuk menepis tuduhan terkait rasial, agama, dan hubungan darah dengan anggota PKI.

Adapun tim ofensif bertugas untuk menyebarkan data dan fakta negatif mengenai lawan-lawan Jokowi – Basuki dalam kontestasi tersebut. Tim media sosial tersebut mengklaim mereka menyebar data negatif dan tidak melakukan kampanye hitam.
Media sosial kembali berperan penting dalam kontestasi yang sama di DKI Jakarta periode berikutnya. Kali ini efek media sosial menjadi lebih besar, baik secara skala persoalan maupun jarak secara geografis.

Berawal dari postingan Buni Yani terkait video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, berujung pada pemenjaraan pada keduanya. Ahok dipenjara karena tuduhan penistaan agama, Buni Yani dipenjara karena tuduhan tindak ujaran kebencian.

“Menakar” Facebook
Melihat reputasi Facebook di dunia internasional yang anjlok, dan dengan pengalaman kelindan dengan politik Indonesia yang rawan memecah bangsa, masihkah kita bisa menaruh harapan padanya?

Untuk menjawabnya kita perlu melihat kembali hakikat dari teknologi, yaitu alat. Herbert Marcuse (1965), seorang filsuf beraliran kritis, menuliskan bahwa teknologi adalah alat kontrol, dominasi, dan eksploitasi.

Meski dalam konteks yang berbeda, kritik atas teknologi tersebut masihlah relevan. Kontestasi politik yang terjadi di dalam dunia maya adalah kata lain dari mengontrol dan mendominasi kognisi pengguna media sosial.

Fitnah dan ujaran kebencian, yang merupakan bagian dari kampanye hitam, seringkali tak dapat dihindari sebagai bagian dari upaya kontrol dan dominasi. Selama ini isu identitas rasial dan agama masih jadi isu yang berhasil digunakan.

Menurut hemat penulis, Facebook sebagai wadah tidak siap untuk menghadapi konten negatif. Penulis pernah melaporkan ujaran-ujaran kebencian yang ada di suatu grup dengan harapan grup tersebut diblokir.

Tanggapan Facebook di luar harapan lantaran justru menyarankan pengguna untuk tidak mengikuti (unfollow) diskusi dalam grup, akun yang bersangkutan, ataupun postingan dari akun tersebut.

Maka penting bagi publik untuk menyadari kembali bahwa Facebook, sebagaimana jenis teknologi lainnya, adalah alat. Keberfungsian alat ditentukan oleh motif dan keahlian penggunanya.

Tatkala “alat” itu tak dapat memilih siapa-siapa yang menggunakannya, maka membangun kesadaran, nalar, dan sikap skeptis adalah keharusan bagi publik (warganet). Peran polisi divisi kejahatan siber yang selama ini sudah berjalan juga baik untuk dipertahankan. Semoga tahun politik 2018 – 2019 membawa angin perubahan yang berarti. (*)



No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain