via Kasuaris.com |
“Kamu selalu main aman, kan?” tanya saya serius. Kami
bersahabat sejak sebelas tahun lalu. Baru tiga tahun terakhir ini dia
mengungkapkan bahwa dia mencintai pria; sama seperti dirinya.
“Hahahaha..
pertanyaanmu. Aku rutin periksa kok di sini,” jawabnya. Obrolan kami berlanjut
hangat, lengkap dengan pisuhan (Jawa:
umpatan) khas Jogja yang bersahabat. Dulu kami tinggal bersama di sebuah
asrama, lalu kuliah bersama juga di kota pelajar itu. Kini kami beda pulau.
Sebut
saja namanya, Purnama. Dia berperawakan kurus dan tinggi, dengan perangai yang
ceria dan bersahabat. Kecerdasannya di atas rata-rata, ditambah dengan bakat
seni yang mengucur deras dari tangan dan mulutnya. Sejak menekuni seni lukis
dan menerima diri sebagai gay, jiwanya kini jauh lebih matang dibanding
sebelumnya.
Saya
tak main-main soal pertanyaan di atas. Pasalnya, tetangga saya (gay juga) baru
saja divonis mengidap HIV AIDS. Penyakit itu jadi momok di masyarakat. Selain
karena soal keganasan virus, penyakit ini juga menyangkut soal pandangan secara
umum kepada orang dengan HIV AIDS (ODHA).
Itulah
mengapa orang tuanya hingga saat ini masih merahasiakan penyakit yang
sesungguhnya diderita oleh tetangga saya ini. “Jangan sampai tetangga lain tahu,”
katanya suatu kali.
Atas
pengalaman itulah saya tanya soal keamanan itu dengan serius. Soal moral, dosa,
atau apapun yang oleh sebagian orang dianggap sebagai konstruksi manusia, saya
tidak akan bicara banyak. Namun jika menyangkut kesehatan, sebagai sahabat,
saya terpanggil untuk terlibat.
Takut: Penolakan Lingkungan Terdekat
Suatu kali
saya menonton video wawancara soal homoseksual yang diunggah via Youtube. Wawancara
dilakukan secara acak pada orang yang ditemui di jalan. Pertanyaan pertama dari
pewawancara adalah “Apakah anda mau
berteman dengan seorang homoseksual?”
Jawaban
dari sebagian besar responden sangat positif dan terbuka. Mereka menjawab masih
mau berteman dan menerima orientasi seksual mereka yang oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia dianggap “menyimpang.”
“Masih
mau berteman. Orientasi seksual itu tidak akan mengganggu hubungan pertemanan
kami. Lagipula, mereka kan juga manusia yang punya hak yang melekat pada
dirinya,” ucap sebagian besar dari responden.
Namun hal
yang berbeda—dan memang tidak mengejutkan—ditemukan pada jawaban dari
pertanyaan kedua. Pertanyaan tersebut adalah “Bagaimana jika anda memiliki anak yang ternyata homoseksual? Apa yang
akan anda lakukan?”
Sebagian
kecil dari responden memang menjawab, “Tidak masalah.” Namun sebagian besar
dari mereka yang mau berteman dengan homoseksual ternyata tidak menginginkan
anaknya memiliki orientasi seksual sejenis.
“Aku
akan memberitahunya bahwa itu salah dan dilarang oleh ajaran agama,” jawab
sebagian besar dari mereka. Terdengar kontradiktif memang, tapi itulah
kenyataannya. Mereka seakan sangat terbuka dan menerima bahwa ada orientasi
yang berbeda selain heteroseksual. Namun ketika hal tersebut menimpa kepada
keluarga mereka, rupanya mereka tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi.
Video
singkat tersebut menunjukkan gambaran bahwa banyak keluarga yang tidak nyaman
mengetahui ada anggota keluarga yang homoseksual. Ketidaknyamanan itu rupanya
juga dirasakan oleh Purnama.
“Kamu
tahu kenapa aku tinggal di sini? Aku tidak tega melihat ibuku tahu kalau aku
gay. Dia pasti kecewa, padahal dia orang baik,” ujarnya suatu malam lewat
WhatsApp.
Ibunya
tinggal di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Tutur katanya halus, sabar, sensitif,
dan terlihat sangat penyayang. Sifat seorang ibu yang seperti itulah yang
membuatnya tidak tega untuk membiarkan ibunya tahu kondisi dia yang sebenarnya.
Tidak hanya
takut akan penolakan dari ibunya, Purnama juga melakukan “protes” pada agama
yang dianutnya. Dia sudah tidak lagi melakukan ritual agama, karena tahu ajaran
agamanya menolak keberadaan orang-orang macam dia.
“Sebenarnya
siapa sih yang menjauh? Dirimu atau Dia?” tanya seorang kawan suatu kali.
Purnama diam dan hanya tertawa, tetapi tak mengubah sikapnya.
Hal yang
mirip dialami juga oleh Bowo, kawan saya yang lain. Dia juga gay, dan menyadari
kondisinya tersebut sejak usia sekolah dasar.
“Gue
pernah nanya ke nyokap, kok gue bisa
terangsang lihat cowok telanjang dada,” ujarnya suatu kali ketika kami bertemu.
“Lalu
nyokap bilang apa?”
“Dia cuma
bilang itu enggak bener. Jangan seperti itu,” jawabnya sambil menirukan
perkataan ibunya.
Dia tak
pernah berani bercerita soal orientasinya tersebut kepada ayahnya yang seorang
petinggi di sebuah pasukan militer. “Bisa dimarahi habis-habisan gue,” katanya.
Bowo
menyimpan rasa penasarannya ini hingga dia beranjak remaja. Suatu kejadian
membuat dirinya harus melanjutkan sekolah di negara tetangga. Negara tersebut
rupanya lebih liberal dalam banyak urusan, termasuk seksualitas.
Di mata
saya, Bowo lebih bisa menemukan identitas dirinya di tempat baru tersebut.
Peluang untuk menjalin relasi persahabatan, cinta, dan hubungan intim dengan
sesama jenis terkesan lebih besar dan lebih bisa diterima oleh budaya yang
dianut masyarakat setempat.
“Terus
sekarang orangtuamu udah tahu kalau kamu gay?” tanya saya.
Dia hanya
menggelengkan kepala.
via nieuwwij.nl |
Kompleksitas Relasi
Menjadi
gay di Indonesia saya rasa tidak mudah untuk saat ini. “Hakim moral” tersebar
di mana-mana, terutama oleh mereka yang bawa panji-panji agama. Diguyur oleh
kecanggihan teknologi komunikasi bernama Internet, jempol-jempol warganet adalah
hakim paling sadis yang pernah ditemui.
Bulan
lima tahun 2017 ini sekelompok gay mengadakan pesta seks di sebuah pusat
kebugaran di daerah Kelapa Gading, Jakarta. Lebih dari seratus pria peserta
pesta dikabarkan digelandang ke kantor polisi setempat, sebagian di antaranya
dipergoki dalam kondisi telanjang.
Secara luar
biasa cepat, informasi “hina” tersebar di dunia maya. Beberapa foto yang
menunjukkan ketelanjangan para pria tersebut dapat diakses dengan mudah. Melalui
diksi dan bingkai, media-media di Indonesia telah membentuk narasi yang
menjijikkan mengenai pesta ini.
Saat itulah
keberingasan jempol-jempol warganet terpampang jelas. “Bakar! Tumpas!” dan
istilah-istilah kebinasaan lainnya muncul untuk menanggapi gay ini, seakan-akan
mereka telah kehilangan hak-hak kemanusiaannya.
Apakah Purnama
pernah bergabung dalam komunitas gay? Ataukah dia menjalin relasi ini dengan
cukup intim tanpa orang lain perlu tahu?
“Pernah,”
katanya.
Namun
dia tidak terlalu menikmatinya. Pernah dia ikut pertemuan sesama gay di kota
metropolitan, dia tidak nyaman karena mereka “tidak apa adanya.” Entah apa yang
dia maksud.
Purnama
lebih senang bercerita soal lingkaran pergaulannya. Beberapa tahun lalu dia
sering mengeluh bercerita kepada saya soal bagaimana mereka saling menjalin
hubungan. Soal bagaimana dia merasa didekati oleh seseorang ketika dibutuhkan,
lalu segera ditinggalkan setelah kebutuhannya selesai.
“Friends with benefit,” ujarnya. Tidak ada
komitmen di antara mereka. Mereka berrelasi lantaran sama-sama saling memiliki
kebutuhan biologis—dan emosional—yang tak bisa mereka tolak.
“Tapi
dulu aku sering baper. Butuh waktu lama untuk paham soal konsep ini,” katanya.
Kini dia lebih bisa menerima konsep ini, berikut konsekuensi-konsekuensi yang
harus dia lakukan. Mengelola perasaan, misalnya.
Namun menjadi
gay bukan hanya urusan seksualitas saja. Purnama, misalnya, kini menjalin cinta
dengan pria lain. Dia mencintai pacarnya tersebut meski mereka hanya bisa
berkomunikasi melalui gawai. Pacarnya di mana? “Di Perancis,” jawabnya.
Lantas bagaimana
model pacarannya? Purnama menjelaskan model lain, yaitu open relationship. Dalam hubungan model ini, Purnama tetap
berstatus sebagai pacar. Mereka saling berkabar satu sama lain, mengenal lebih
dalam karakter pasangannya. Uniknya, mereka saling mengijinkan pasangan untuk
berhubungan dengan pria lain, termasuk berhubungan seksual.
“Di
sini aku ada, di sana dia juga ada,” jelasnya.
Mencengangkan?
Bagi orang yang selama ini berrelasi dengan biasa-biasa macam saya ini, iya. Tentu
saja tidak semua gay menjalani relasi macam ini, dan begitu juga sebaliknya.
Bicara soal
relasi, apakah Purnama ingin punya relasi sehidup semati dengan pacarnya ini?
Saya tidak melontarkan tanya, tapi barangkali kalimat terakhir ini adalah
jawabnya.
Suatu
saat, setelah menghadiri suatu pesta pernikahan, banyak orang bertanya satu
sama lain: kapan nyusul?
Jawaban
Purnama cukup jujur, “Besok. Kalau sudah boleh di Indonesia.”
via algbtical.org |
No comments:
Post a Comment