Skip to main content

Isme yang Begitulah


[4 April 2014]

Sesi terakhir biasanya melelahkan sekaligus melegakan. Waktu itu hari kedua pelatihan calon Reporter sebuah koran ternama. Pembicaranya adalah Pemimpin Redaksi. Dia bilang "the Law of AND" dalam salah satu bagian dari apa yang dia bicarakan.

Dalam laporan/reportase di koran tersebut dia bilang perusahaan ini memegang prinsip QUALITY dan MONETIZING. Yang pertama bicara tentang kualitas pemberitaan yang sesuai dengan prosedur dan kaidah jurnalistik. Sesuatu yang memang seharusnya menjadi prinsip utama setiap perusahaan pers. Yang kedua, ini yang menurut saya agak kurang tepat dibicarakan di dalam ruang redaksi, yakni bagaimana membuat berita itu jadi kapital, alias duit. Ya, di dalam ruang redaksi, kami bicara tentang bisnis perusahaan ini.
Dulu waktu kuliah kesannya mahasiswa dicekoki bahwa redaksi itu berusaha mati-matian agar strategi bisnis perusahaan tidak mempengaruhi kerja redaksi. Itulah mengapa ruang kerja marketing dan redaksi harus berbeda, bahkan berbeda lantai. Artinya para pemilik perusahaan ini selalu berupaya untuk mempengaruhi redaksi. Namun di sini kesannya tidak begitu. Redaksi justru terkesan tidak menolak, bahkan memasukkan diri terlibat dalam upaya mencari keuntungan perusahaan.

Sekali lagi ini kesan. Mungkin memang seharusnya begitu, ini adalah strategi mereka untuk bertahan, mendapat keuntungan, yang akhirnya menjadi gaji karyawan --termasuk saya.

Lalu dia juga sempat bicara tentang teman-teman seangkatan yang kini sudah tidak lagi bekerja di sana. Mereka bekerja dan menjadi petinggi-petinggi di perusahaan-perusahaan bonafit. Dia bilang , "Sekarang yang di sini yang paling kere. Tapi enggak apa-apa, yang penting bangga." Pernyataan ini menggelitik. Benarkah kebanggaan yang dicari?


Rasanya saya makin benci kepada kapitalis.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.