Skip to main content

Beli Isi Cutter

via www.3claveles.com

Beli isi cutter adalah kesia-siaan yang tiada duanya di dunia. Barangkali tidak bagi Anda, tapi jelas benar bagi saya.

Bagaimana tidak, seumur hidup ini belum ada lima kali ganti isi cutter. “Sekalian beli isi,” pikir saya tiap kali beli cutter. Nyatanya, belum sampai ganti isi, cutter itu sudah menghilangkan diri entah di mana.

Pernah saya lalu bikin prakarya pakai isi cutter telanjang hanya dibungkus kaos kaki tebal di tangan. Hasilnya, saya harus mengemut (baca: mengulum. Halah) jari saya yang mengucur darah karena dicium ujungnya yang tajam.

Akhirnya, saya beli cutter lagi. Baru. Murah. Tajam? Jelas.

Begitu sampai rumah, gantian isi cutter yang menghilangkan diri. Takut kehabisan cutter saya kehabisan isi, akhirnya saya beli lagi. Satu pak ada enam isi cutter.

Begitu seterusnya kesia-siaan ini turut saya lestarikan.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.