Untuk pertama kalinya saya masuk ke kawasan Universitas Diponegoro (UNDIP) di daerah Tembalang (21/10). Di sana sudah berkumpul puluhan mahasiswa dari berbagai universitas yang tergabung dalam organisasi Nationwide University Network in Indonesia (NUNI). Saya diminta untuk bicara di depan para intelektual muda ini soal penulisan kritis.
Panitia sudah merancang acara ini dengan begitu
baik. Mahasiswa diberi pembekalan macam-macam sebelum keesokan harinya diajak
untuk observasi di daerah Tambaklorok, Semarang. Di sana mereka diajak untuk
mengidentifikasi permasalahan, kemudian menelurkan ide-ide untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Karena memang mahasiswa-mahasiswa pilihan, hasil
observasi mereka pun bagus. Mereka mencatat berbagai permasalahan di
Tambaklorok, di antaranya adalah permasalahan lingkungan, ekonomi, dan
pendidikan. Daerah Tambaklorok ini memang luar biasa. Dengan posisi tepat di
pinggir laut, berbagai persoalan kasat mata maupun tak kasat mata memang subur
di sana.
Berbagai ide (baca: solusi) untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan itu pun disampaikan dengan baik ketika mereka
mempresentasikan tulisan di ruang Teater Thomas Aquinas, Unika Soegijapranata
(23/10). Ide itu muncul dari mahasiswa yang berasal dari berbagai program studi.
Meski beragam, ide-ide itu secara garis besar terdengar seragam: tidak ada
kelompok mahasiswa yang menawarkan solusi bagi warga Tambaklorok untuk pindah.
Mengapa pindah adalah solusi?
Saya belum pernah ke Tambaklorok, hingga Sabtu
(11/11) saya datang ke sana untuk melihat dengan mata kepala sendiri.
Pemandangan yang langsung menusuk mata ada dua: genangan rob dan rumah yang
pendek-pendek. Sampah yang mengapung juga jadi pemandangan, tetapi tidak saya
singgung dalam tulisan ini.
Air pasang menggenangi pemukiman Tambaklorok Kelurahan Tanjung Emas Kecamatan Semarang Utara, Kamis (1/6/2017) | via Tribun Jateng: Rahdyan Trijoko Pamungkas | jateng.tribunnews.com |
Untuk menuju ke sana, sepeda motor saya harus
beberapa kali melewati genangan rob di atas jalanan becek. Sementara, untuk
masuk ke beberapa rumah warga saya harus menundukkan kepala untuk menghindari
kepala terantuk palang pintu.
Rupanya ketinggian tanah di Tambaklorok itu selalu
turun. Bahkan pada beberapa titik, penurunan tanah itu bisa sampai 10 cm setiap
tahunnya. Maka tak heran air rob hampir selalu menggenang di jalan-jalan.
Solusi jitu untuk mengatasi rob itu adalah dengan meninggikan jalan. Akibatnya,
ketinggian lantai di rumah-rumah lalu berada di bawah jalan. Konsekuensinya, warga
juga harus meninggikan lantai rumah mereka supaya tidak kebanjiran.
Itulah yang membuat rumah di sana terlihat
pendek-pendek. Pada beberapa gang kecil bahkan saya temui rumah-rumah tak
berpenghuni yang penuh dengan air, dengan atap yang tak lebih tinggi dari perut
saya.
Kegiatan meninggikan rumah itu dilakukan berkala,
bisa 5 tahun sekali, bisa 10 tahun sekali. Sesuai kebutuhan saja. “Sebenarnya
warga sini bisa kaya, pak. Tapi mereka nggak pernah punya tabungan karena
dipakai untuk meninggikan lantai rumah mereka,” tutur Donny, mahasiswa yang
saya ajak ke Tambaklorok.
Sampai kapan aktivitas meninggikan lantai—dan
dengan begitu berarti juga mengubah ketinggian pintu dan jendela—ini akan
berakhir?
“Ya, bakalan terus begitu,” ujar seorang pengajar
Arsitektur yang saya kenal. Menurutnya, memang warga sudah seharusnya pindah.
Kawasan itu sudah tidak layak untuk digunakan sebagai pemukiman warga.
Pengajar lain dari program studi yang sama juga
mengatakan hal yang mirip. “Makanya pemerintah bikin Kampung Bahari di sini,
supaya ada sesuatu yang membuat warga bisa menjual tanah mereka untuk pindah,”
lanjutnya “jadi yang dibilang penggusuran itu sebenarnya justru membantu warga.
Kalau nggak dibuat sesuatu yang menarik di situ, mana mau orang beli tanah di
sini?”
Sangat masuk akal. Namun, bukankah pindah rumah
(relokasi) ini bukanlah hal yang mudah? Di Jakarta, misalnya, warga yang
tinggal di bantaran kali dipindah ke rumah susun yang telah disediakan
pemerintah. Meski diklaim berhasil, program pemerintah zaman Ahok berkuasa itu
bukannya tak menyimpan masalah sama sekali.
Satu contoh keluhan yang saya ingat adalah para
pedagang yang turun omzet drastis. Dulu ketika mereka berjualan di bantaran
kali, dagangan mereka laris. Di rumah susun, pelanggan mereka kehilangan jejak
karena tak tahu warga itu sekarang tinggal di lantai berapa.
Saya jadi teringat ketika liputan ke sebuah desa
yang rata dengan tanah akibat erupsi Merapi 2010. Saat itu ada seorang
bapak-bapak yang membersihkan puing-puing rumahnya. Rumah itu betul-betul hanya
tinggal dua sisi dinding dan beberapa kayu yang berserakan di bawah.
“Bapak mau pindah?”
“Enggak, mas., di sini saja. Di sini aman.”
Saat itu saya tak habis pikir. Bagaimana bisa dia
berkata kawasan ini aman, sementara rumahnya habis diterjang awan panas Merapi.
Diam-diam, Merapi di ujung sana sedang berdiri gagah. Dia seakan tak menyesal
memandangi akibat dari muntahan isi perutnya beberapa saat lalu.
Setelah berbincang-bincang dengan berbagai
narasumber, jawaban itu lalu jadi lebih masuk akal. Merapi adalah sumber
kehidupan mereka. Abu vulkanik yang dimuntahkan ratusan tahun lalu menyuburkan
tanah yang jadi lahan pertanian mereka. Selama berpuluh-puluh tahun, dengan
kondisi Merapi yang aktif, nyatanya mereka bisa tetap bertahan dengan
mengandalkan hasil pertanian.
Dari hasil pertanian itu mereka bisa menyekolahkan
anak-anak, beli fasilitas komunikasi, dan beli sepeda motor. Dari hasil
pertanian itu mereka bisa hidup berdampingan dengan tetangga, bersosialisasi,
arisan, dan menyelenggarakan kenduri. Singkatnya, mereka bisa hidup
berdampingan dengan Merapi.
Meski tidak sama persis, barangkali itu juga yang
ada di benak warga Tambaklorok. Puluhan tahun mereka hidup di situ dengan
mengandalkan hasil laut. Konon—saya tidak tahu data persisnya—sebagian besar
warga di sana adalah nelayan atau petani tambak. Sementara sebagian yang lain
adalah mereka yang membuat usaha pengolahan dari hasil laut itu. Tentu saja,
laut adalah sumber kehidupan mereka.
Pindah tempat tinggal itu tak mudah. Itu artinya
warga harus berpisah dari sumber kehidupan mereka. Mengubah kultur yang telah
terbangun selama puluhan tahun ini pun juga tentu bukanlah perkara mudah.
Namun kalau mereka tidak pindah, bagaimana kondisi
seperti ini bisa diubah? Pertanyaan ini mudah dijawab dengan jawaban pasrah “Kalau
sudah ‘waktu’nya, warga juga pasti akan pindah. Kalau belum ‘waktu’nya, ya
warga juga pasti akan tetap di sana.”
Barangkali ini bukan soal momentum, waktu, atau
apapun kata yang digunakan utuk merujuk hal yang kurang lebih sama. Barangkali
keadaan tertentu yang lalu memaksa warga untuk pindah. Keadaan yang bagaimana?
Sampai di sini saya berhenti di tengah perjalanan.
Jatingaleh
26.11.2017
Catatan: judul tulisan ini terinspirasi dari
caption postingan Instagram milik Heni Silalahi
No comments:
Post a Comment