14 February 2017

Resep Awet Muda a la Penjual Angkringan

“Saya sudah bilang ke gadis itu, dia nggak percaya. Datanglah dia ke rumah, istri saya yang menemui. Nama kebun binatang ramai dilemparkan istri, saya cuma ketawa aja di luar rumah,” tuturnya sambil menahan geli.

[catatan obrolan dengan penjual angkringan]

Tak biasanya, Jalan Magelang sore itu terasa menanjak. Barangkali karena bukan setang sepeda motor yang kugenggam, tapi sepeda kayuh. Otot paha mulai berteriak meski baru meluncur lima kilometer.

Jelang maghrib, langit menggelap. Merdunya azan dari mushola kampung Kutu terasa lirih. Deru mesin dan knalpot selalu memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Celakanya, awan mendung juga kalah oleh air yang dibawanya. Menyerah. Gerimis jadi pembuka hujan deras yang menerjang tak lama kemudian.

Berbelok ke timur menyusur selokan Mataram, sepedaku mencari tempat berhenti. Angkringan di ujung jembatan kemudian jadi tempat berteduh. “Lumayanlah, habis sepedaan dan kehujanan, bisa mampir cari teh hangat,” pikirku.

Terpal jingga masih bersih, gerobak kayu juga tanpa noda. Ceret murahan kas angkringan hinggap dengan mengkilap di atas tungku arang.

“Saya baru buka seminggu. Gerobaknya sudah sebulanan, tapi jualannya baru seminggu,” tutur sang penjual tanpa ditanya.

Aku menduga dia berumur 20-an akhir atau 30-an awal. Dengan badan kecil dan potongan klimis khas anak muda, dia terlihat cekatan membuat teh panas yang kupesan. Bagiku, yang masih tertarik wanita, paras penjual ini tampan.

Kisah demi kisah kemudian meluncur lancar bak hujan yang kuhindari sore itu. Dia mengeluh soal harga cabai yang naik gila-gilaan, belum ditambah harga bawang putih dan daging sapi yang kian tak masuk akal. Kenaikan harga itulah yang membuatnya meninggalkan dagang bakso lalu menyeberang jadi penjual angkringan.

“Harga semangkok nggak bisa nutup harga bumbu [dan bahan baku]. Kalau harga dinaikin, pasti juga enggak laku. Akhirnya baru setahun jualan bakso, saya mundur. Padahal sewa gerobak dan warung sudah lima tahun bayar di muka,” keluhnya.

Sebelum jualan bakso, dia sudah menjalani sekian deret pekerjaan. Di Yogyakarta, maupun di Jakarta. Dari penjual mie ayam, pegawai bengkel, hingga pembantu rumah tangga pernah dia jalani.

Singkat cerita, saya lalu penasaran berapa umurnya. Jawabannya cukup mengejutkan. “Maaf ya mas, tapi saya rasa umur panjenengan masih setengah umur saya,” katanya menggunakan bahasa Jawa halus. Lanjutnya,”Umur saya empat puluh dua.”

Aku tertawa setengah tak percaya. Umurnya terlalu senja untuk wajah yang sedemikian cabe-cabean. Belum selesai mulutku tertawa, aku kembali dibuatnya terperangah. “Enggak percaya to mas? Saya ini juga sudah jadi simbah, cucu saya tiga belas bulan.”

Penasaran, lalu kukorek lagi soal ini. Aku yakin aku bukan orang pertama yang tak percaya dengan kata-katanya. Hingga dia juga cerita soal permasalahannya dengan sang istri gara-gara Facebook.

Suatu kali akunnya di-add oleh seorang gadis. Tampaknya gadis itu naksir hingga terkintil-kintil. Hahaha! Didorong rasa penasaran, gadis itu ingin menemuinya. “Padahal saya sudah bilang kalau sudah punya anak istri, tapi dia enggak percaya dan ngotot datang,” ujarnya geli.

Suatu sore, datanglah gadis nekat itu ke rumahnya. Sendirian. Celakanya, dia ditemui oleh sang istri yang tanpa ampun mengumpat dan mengusirnya. Nama penghuni hutan yang diingat istrinya meluncur deras ke muka si gadis.

Mata penjual angkringan terlihat geli dan berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Namun tiba-tiba matanya jadi lebih geli lagi ketika dia bicara soal kemarahan istrinya yang tak kunjung reda. Segera setelah gadis itu beranjak pergi, dia merebut handphone android murahan milik suaminya, lalu merendamnya dengan kasar ke dalam bak mandi.

Suara tawa kami memenuhi ujung jembatan. Kadang juga terbawa angin yang menyusup di antara gerobak dan terpal. Sesekali dia menyeka air mata saking gelinya. Kubiarkan saja kami tertawa lepas meski tak benar-benar tahu alasannya.

Ah, barangkali itu caranya agar tetap terlihat muda.

No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain