“Saya
sudah bilang ke gadis itu, dia nggak percaya. Datanglah dia ke rumah, istri
saya yang menemui. Nama kebun binatang ramai dilemparkan istri, saya cuma
ketawa aja di luar rumah,” tuturnya sambil menahan geli.
[catatan obrolan
dengan penjual angkringan]
Tak biasanya,
Jalan Magelang sore itu terasa menanjak. Barangkali karena bukan setang sepeda
motor yang kugenggam, tapi sepeda kayuh. Otot paha mulai berteriak meski baru
meluncur lima kilometer.
Jelang maghrib,
langit menggelap. Merdunya azan dari mushola kampung Kutu terasa lirih. Deru
mesin dan knalpot selalu memenangkan pertarungan tak seimbang ini. Celakanya,
awan mendung juga kalah oleh air yang dibawanya. Menyerah. Gerimis jadi pembuka
hujan deras yang menerjang tak lama kemudian.
Berbelok ke
timur menyusur selokan Mataram, sepedaku mencari tempat berhenti. Angkringan di
ujung jembatan kemudian jadi tempat berteduh. “Lumayanlah, habis sepedaan dan
kehujanan, bisa mampir cari teh hangat,” pikirku.
Terpal jingga
masih bersih, gerobak kayu juga tanpa noda. Ceret murahan kas angkringan
hinggap dengan mengkilap di atas tungku arang.
“Saya baru buka
seminggu. Gerobaknya sudah sebulanan, tapi jualannya baru seminggu,” tutur sang
penjual tanpa ditanya.
Aku menduga dia
berumur 20-an akhir atau 30-an awal. Dengan badan kecil dan potongan klimis
khas anak muda, dia terlihat cekatan membuat teh panas yang kupesan. Bagiku,
yang masih tertarik wanita, paras penjual ini tampan.
Kisah demi
kisah kemudian meluncur lancar bak hujan yang kuhindari sore itu. Dia mengeluh
soal harga cabai yang naik gila-gilaan, belum ditambah harga bawang putih dan
daging sapi yang kian tak masuk akal. Kenaikan harga itulah yang membuatnya
meninggalkan dagang bakso lalu menyeberang jadi penjual angkringan.
“Harga
semangkok nggak bisa nutup harga bumbu [dan bahan baku]. Kalau harga dinaikin,
pasti juga enggak laku. Akhirnya baru setahun jualan bakso, saya mundur.
Padahal sewa gerobak dan warung sudah lima tahun bayar di muka,” keluhnya.
Sebelum jualan
bakso, dia sudah menjalani sekian deret pekerjaan. Di Yogyakarta, maupun di
Jakarta. Dari penjual mie ayam, pegawai bengkel, hingga pembantu rumah tangga
pernah dia jalani.
Singkat cerita,
saya lalu penasaran berapa umurnya. Jawabannya cukup mengejutkan. “Maaf ya mas,
tapi saya rasa umur panjenengan masih setengah umur saya,” katanya menggunakan
bahasa Jawa halus. Lanjutnya,”Umur saya empat puluh dua.”
Aku tertawa
setengah tak percaya. Umurnya terlalu senja untuk wajah yang sedemikian
cabe-cabean. Belum selesai mulutku tertawa, aku kembali dibuatnya terperangah.
“Enggak percaya to mas? Saya ini juga sudah jadi simbah, cucu saya tiga belas
bulan.”
Penasaran, lalu
kukorek lagi soal ini. Aku yakin aku bukan orang pertama yang tak percaya
dengan kata-katanya. Hingga dia juga cerita soal permasalahannya dengan sang
istri gara-gara Facebook.
Suatu kali
akunnya di-add oleh seorang gadis. Tampaknya gadis itu naksir hingga
terkintil-kintil. Hahaha! Didorong rasa penasaran, gadis itu ingin menemuinya.
“Padahal saya sudah bilang kalau sudah punya anak istri, tapi dia enggak
percaya dan ngotot datang,” ujarnya geli.
Suatu sore,
datanglah gadis nekat itu ke rumahnya. Sendirian. Celakanya, dia ditemui oleh
sang istri yang tanpa ampun mengumpat dan mengusirnya. Nama penghuni hutan yang
diingat istrinya meluncur deras ke muka si gadis.
Mata penjual
angkringan terlihat geli dan berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Namun
tiba-tiba matanya jadi lebih geli lagi ketika dia bicara soal kemarahan
istrinya yang tak kunjung reda. Segera setelah gadis itu beranjak pergi, dia
merebut handphone android murahan milik suaminya, lalu merendamnya dengan kasar
ke dalam bak mandi.
Suara tawa kami
memenuhi ujung jembatan. Kadang juga terbawa angin yang menyusup di antara
gerobak dan terpal. Sesekali dia menyeka air mata saking gelinya. Kubiarkan
saja kami tertawa lepas meski tak benar-benar tahu alasannya.
Ah, barangkali
itu caranya agar tetap terlihat muda.
No comments:
Post a Comment