Skip to main content

Ujung Timur Jembatan

"Saya baru sepuluh hari jualan di sini, mas," ujar pedagang angkringan tanpa ditanya.

"Oh pantes.. ini gerobaknya masih kinclong," kataku menimpali seadanya.

Teh manis panas di depanku terlalu berharga untuk diduakan dengan obrolan. Setelah bersepeda sekian kayuhan, jenis minuman ini paling bikin tenang. Tiup-tiup sedikit, sruput tipis-tipis.

"Sebelumnya saya pernah jualan bakso, pecel lele, mie ayam, macem-macem, mas. Tapi saya nyerah. Bahan baku terlalu mahal. Daging sapi, bawang, lombok, semua mahal. Padahal enggak mungkin naikin harga semangkok bakso," ujarnya lagi tanpa ditanya.

Kali ini aku simpatik. Keluhan itu kutanggapi dengan pertanyaan yang lewat di kepala. Usaha dagang terakhir yang dia tutup adalah berjualan bakso dan mie ayam di Jalan Imogiri Barat. Dia sudah menyewa gerobak selama lima tahun untuk keperluan dagang. Namun nasib berkata lain, satu setengah tahun saja kemudian dicukupkan.

Dari jualan angkringan itu dia harus bayar rumah sewa seharga Rp 14 juta/tahun di sekitar Jalan Kaliurang. Kalau tak salah dengar, dia menyebut kata-kata "tiga kali enam meter."

Tiba-tiba di sela-sela obrolan kami datang seorang ibu-ibu berusia 30 tahunan. Dia datang minta dibikinkan jahe panas sambil bawa jaket untuk pedagang angkringan. Hawa malam hari di Jogja memang terkadang dingin.

"Ini istri saya, mas. Kalau siang, dari jam 11 sampai sore, yang jaga dia. Kalau malam saya," katanya menjelaskan.

Angkringan itu berdiri di ujung timur sebuah jembatan. Tepat di atas trotoar, tempat pejalan kaki seharusnya berjalan.

Sebenarnya ada pertanyaan "Kalau pagi gerobak ini ditaruh di mana?"

Namun pertanyaan itu kusimpan ketika kulihat kaki gerobak. Pada keempat kakinya ada semen yang ditumpuk dengan tidak rapi. Dengan kata lain, gerobak itu tidak dipindah, alias semi permanen.

Jembatan itu termasuk baru. Usianya belum ada lima tahun. Tapi di ujung timur jembatan sudah dihinggapi gerobak angkringan yang disemen.

Bagi saya, ini pelanggaran. Bagi dia, ini metode bertahan agar tetap bisa makan.

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.