Skip to main content

Penasihat Komunikasi Politik


Melihat sosok SBY sekarang rasanya tak segagah dulu. Benci sih tidak, tapi kasihan sedikit saja bolehlah. Saya masih bertanyatanya soal katakata yang dia unggah di Twitter. Tidak, saya tidak akan memaknai banyakbanyak soal cuitan itu. Saya malah masih penasaran kenapa beliau mengetwit di saat yang demikian.

Saat yang seperti apa?

Ya kita tahu sendirilah media sedang menyorot Pilkada DKI dan narasinarasi yang dibangun di sekelilingnya. AHY, anak SBY, ikut pertarungan politik itu. Selalu ada aroma sinis di media sosial soal AHY—paling tidak dilihat dari memememe yang menjadi viral.

Pesan dominan yang saya tangkap adalah Agus tidak menguasai persoalan, minim pengalaman, dan—yang paling penting—beliau tak lebih dari pion catur yang dimainkan ayahnya. Pesan itu menguat semenjak akhirnya Agus tampil dalam debat publik putaran pertama.

Belum ditambah dengan Annisa Pohan, istri Agus, yang juga terlibat perdebatan dengan seorang kawannya di Path. Persoalannya? Politik. Pada akhirnya beliau memang minta maaf, tetapi pemberian maaf tak sama dengan meniadakan yang telah terjadi. Halah.

Nah, di tengah-tengah ramai serbuan informasi dari segala penjuru yang sering merugikan posisi SBY ini, kok bisabisanya beliau menuliskan twit yang sedemikian “kemenyek” (baca: ejek-able; hina-able).

Itu kan rentan sekali dihina, bung !

Semoga SBY punya penasihat komunikasi politik yang lebih handal. Dia yang ikuti arus pembicaraan di media sosial, terutama soal citra SBY. Tak lain, supaya kalau SBY mau ngetwit itu enggak malah mengundang ejekan. Jadi populer sih iya, tapi popularitasnya bikin sedih.

Omongomong, pak, ada daftar kontak saya di bagian atas kanan. FYI, saya mahasiswa Ilmu Komunikasi J

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.