Melihat sosok SBY sekarang
rasanya tak segagah dulu. Benci sih tidak, tapi kasihan sedikit saja bolehlah.
Saya masih bertanyatanya soal katakata yang dia unggah di Twitter. Tidak, saya
tidak akan memaknai banyakbanyak soal cuitan itu. Saya malah masih penasaran
kenapa beliau mengetwit di saat yang demikian.
Saat
yang seperti apa?
Ya kita tahu sendirilah
media sedang menyorot Pilkada DKI dan narasinarasi yang dibangun di sekelilingnya.
AHY, anak SBY, ikut pertarungan politik itu. Selalu ada aroma sinis di media
sosial soal AHY—paling tidak dilihat dari memememe yang menjadi viral.
Pesan dominan yang saya
tangkap adalah Agus tidak menguasai persoalan, minim pengalaman, dan—yang paling
penting—beliau tak lebih dari pion catur yang dimainkan ayahnya. Pesan itu
menguat semenjak akhirnya Agus tampil dalam debat publik putaran pertama.
Belum ditambah dengan
Annisa Pohan, istri Agus, yang juga terlibat perdebatan dengan seorang kawannya
di Path. Persoalannya? Politik. Pada akhirnya beliau memang minta maaf, tetapi
pemberian maaf tak sama dengan meniadakan yang telah terjadi. Halah.
Nah, di tengah-tengah
ramai serbuan informasi dari segala penjuru yang sering merugikan posisi SBY
ini, kok bisabisanya beliau menuliskan twit yang sedemikian “kemenyek” (baca:
ejek-able; hina-able).
Itu kan rentan sekali
dihina, bung !
Semoga SBY punya penasihat
komunikasi politik yang lebih handal. Dia yang ikuti arus pembicaraan di media
sosial, terutama soal citra SBY. Tak lain, supaya kalau SBY mau ngetwit itu
enggak malah mengundang ejekan. Jadi populer sih iya, tapi popularitasnya bikin
sedih.
Omongomong, pak, ada
daftar kontak saya di bagian atas kanan. FYI, saya mahasiswa Ilmu Komunikasi J
No comments:
Post a Comment