Tak
henti-hentinya para kritikus menyebut iklim media Indonesia ini dipenuhi oleh
televisi Jakarta bersiaran nasional. Bukan
televisi nasional.
Dulunya
saya tidaklah sadar, baru sadar setelah baca satu tulisan di Remotivi. Sudah pernah
baca kan? Itu salah satu situs yang padat bergizi untuk disantap kapanpun juga.
Anda
boleh saja setuju, boleh pula tidak. Namun tatkala melihat acara debat Calon
Gubernur DKI 2017 kemarin, sulit bagi saya untuk tidak setuju. Malam ada acara
debat tersebut, dalam hitungan jam video sudah disebar di Youtube, paginya
masih dibahas di TV One.
Sementara
warga Yogyakarta barangkali secara umum belumlah mengerti bahwa Walikota dan
Wakil Walikota mereka akan bertarung di Pilkada mendatang. Sekalipun tahu, saya
yakin bisa dihitung dengan jari mereka yang tahu nama pasangannya. Soal nama
dan pasangan calon Gubernur DKI mendatang? Jangan ditanya.
Tentu
saja kritik di awal tulisan ini mengkritik hal yang memang sulit. Pasalnya, DKI
adalah ibukota, pusat pemerintahan di Indonesia—yang juga adalah pusat perekonomian.
Barangkali betul, memang banyak yang perlu diberitakan dari kejadian-kejadian
yang berlangsung di Jakarta.
Namun
kritik tetaplah kritik, dia selalu ada dalam setiap segala. Ibaratnya, bergerak
rentan dikritik, diam saja pun pasti dikritik.
Dari
sekian kritik, satu yang menggelitik dituliskan oleh salah satu idola saya
Goenawan Mohamad. Melalui akun twitter @gm_gm dia menuliskan:
Menariknya,
twit ini juga mengundang banyak kritik. Tak sedikit kritik itu bernada kasar
dan hina, seakan dia tidak tahu sebesar apa sosok yang dikritiknya. Baiklah,
katakan mereka tidak mengkritik sosok secara pribadi, tapi mengkritik
tulisan/pemikirannya. Hadeh. Bahkan saya menduga, si pengkritik itu belumlah
membaca, menulis, dan berpikir sebanyak GM ini.
Tapi,
ya, itulah realitanya. Kadang ungkapan “jangan lihat orangnya, lihatlah isi
omongannya” bisa jadi untuk membela
diri, tapi kadang justru menusuk diri sendiri.
No comments:
Post a Comment