“Tuhanmu tak akan memberi
ular beracun pada yang minta roti..”
Begitu lirik lagu rohani
yang pertama kali saya dengar kala seusia SMP. Berbelas-belas tahun kemudian,
lagu tersebut masih sering saya dengar di perayaan-perayaan ekaristi.
Sekilas, lirik tersebut
menenangkan. Tuhan, yang adalah tempat meminta, dan dengan demikian juga sumber
pemberian, tidak akan salah memberi.
Kalaupun terasa salah,
tentu itu bukan kesalahan Tuhan, tetapi kitanya yang perlu memaknai ulang
pemberian tersebut.
Sampai-sampai, hidup ini
seakan jeda singkat yang diisi dengan jutaan pemaknaan ulang yang dijejalkan
dalam 24 jam sehari tujuh hari seminggu.
Namun berdasarkan
hari-hari yang saya rasakan, lirik itu tak berarti Tuhan akan memberikan roti
pada mereka yang minta roti. Tentu saja, ini perumpamaan.
Pada saya yang minta roti,
Tuhan memberi saya nasi, sayuran pecel, dan tempe bacem yang manis. Pecel itu
lengkap dengan tauge yang tinggi protein dan daun pepaya yang pahit, tak lupa berliter-liter teh manis
hangat digelontorkan—minta untuk disruput pelan.
Lagi-lagi, ini adalah
perumpamaan.
Tahun 2016 yang baru saja
berlalu adalah tahun ketika saya menggenapi dan mengalami
perumpamaan-perumpamaan tersebut. Dia tak selalu memberi apa yang saya minta,
tetapi kalau sudah memberi, waduh, nyaris tenggelam saya dalam kebahagiaan.
Bagaimana tidak. Ibu
dinyatakan sembuh dari sakit kanker. Saya selesai sekolah. Doktor melekat di
depan nama bapak. Serta cinta yang tumbuh dari persahabatan kawan masa sekolah
di Muntilan sejak sepuluh tahun lalu.
Untuk 2016. Atas
kejutan-kejutan yang menyegarkan, terima kasih. Atas tantangan-tantangan yang
bikin keringat dingin, terima kasih. Atas cinta dan pengalaman berharga yang
kubawa sampai nanti, terima kasih.
Kuikhlaskan dirimu berlalu,
2016.
akhir tahun di kota asal,
di antara parangtritis dan kembang api
No comments:
Post a Comment