01 January 2017

Kuikhlaskan Dirimu Berlalu

“Tuhanmu tak akan memberi ular beracun pada yang minta roti..”

Begitu lirik lagu rohani yang pertama kali saya dengar kala seusia SMP. Berbelas-belas tahun kemudian, lagu tersebut masih sering saya dengar di perayaan-perayaan ekaristi.

Sekilas, lirik tersebut menenangkan. Tuhan, yang adalah tempat meminta, dan dengan demikian juga sumber pemberian, tidak akan salah memberi.

Kalaupun terasa salah, tentu itu bukan kesalahan Tuhan, tetapi kitanya yang perlu memaknai ulang pemberian tersebut.

Sampai-sampai, hidup ini seakan jeda singkat yang diisi dengan jutaan pemaknaan ulang yang dijejalkan dalam 24 jam sehari tujuh hari seminggu.

Namun berdasarkan hari-hari yang saya rasakan, lirik itu tak berarti Tuhan akan memberikan roti pada mereka yang minta roti. Tentu saja, ini perumpamaan.

Pada saya yang minta roti, Tuhan memberi saya nasi, sayuran pecel, dan tempe bacem yang manis. Pecel itu lengkap dengan tauge yang tinggi protein dan daun pepaya  yang pahit, tak lupa berliter-liter teh manis hangat digelontorkan—minta untuk disruput pelan.

Lagi-lagi, ini adalah perumpamaan.

Tahun 2016 yang baru saja berlalu adalah tahun ketika saya menggenapi dan mengalami perumpamaan-perumpamaan tersebut. Dia tak selalu memberi apa yang saya minta, tetapi kalau sudah memberi, waduh, nyaris tenggelam saya dalam kebahagiaan.

Bagaimana tidak. Ibu dinyatakan sembuh dari sakit kanker. Saya selesai sekolah. Doktor melekat di depan nama bapak. Serta cinta yang tumbuh dari persahabatan kawan masa sekolah di Muntilan sejak sepuluh tahun lalu.

Untuk 2016. Atas kejutan-kejutan yang menyegarkan, terima kasih. Atas tantangan-tantangan yang bikin keringat dingin, terima kasih. Atas cinta dan pengalaman berharga yang kubawa sampai nanti, terima kasih.

Kuikhlaskan dirimu berlalu, 2016.


akhir tahun di kota asal,
di antara parangtritis dan kembang api


No comments:

Post a Comment

Baca Tulisan Lain