Skip to main content

“nda..”

via initempatwisata.com

“dab” yang digusur “nda”—sebuah catatan

supra merah itu tak lagi menggilas jalan godean. tidak juga menyayat aspal jakarta seperti tiga tahun lalu denganmu. dia kini ngeden menapaki tanjakan dan turunan licin di karangrejo hingga pawiyatan luhur. “seperti perjalanan ke basecamp pendakian..” katanya.

bagaimanapun jalanan di sana dan di sini masih sama saja. pagi padat, sore tersendat. bersama pekerja yang terpaksa meninggalkan bantal pagi-pagi betul. mereka yang pulang lalu tergesa bercinta meski bau debu-asap.

juga bersama sopir-sopir angkutan yang gemar senggol sana-sini. meninggalkan pisuhan seiring rem yang berhasil menghenti laju.

soal burjoan, dia bukan raja di sini. adalah warteg, yang menancapkan bendera dengan mantap. tak jadi soal. telur dadar-sayur-kering tempe adalah mewah. bolehlah hapus sejenak istilah “nastel” di kamus.

jatingaleh tak pernah seperti besole raya yang bersahabat meski sunyi. kendaraan besar melintas tiap waktu. tapi bisingnya tol tidaklah seberapa dibanding basahnya desahan suaramu di kuping kiriku.

yang jelas, dia juga tak seriuh rapalan-rapalan doa yang kau ucap tiap malam sambil terpejam.

Semarang
2017

Comments

Popular posts from this blog

Mengenang Rama J. B. Hari Kustanto, SJ

Super pakdhe! Sambil berbaring, dia meminta Pakdhe Hari dan saya untuk membantunya duduk di kasur. Setelah duduk di pinggiran, dia menempelkan kedua telapak kakinya di lantai dingin rumah Patangpuluhan. Sambil tetap berpegangan lengan kami, dia menyentakkan kakinya lalu berdiri. Pakdhe Hari bilang ‘Hebat!’ Lalu dia tersenyum sambil menggerak-gerakkan kakinya. Bagi saya, itu adegan terindah yang saya alami bersama Pakdhe Tanto di hari-hari akhirnya. Dia sudah mengidap sakit tumor di organ otak sejak tahun 2007. Pertengahan tahun 2007 itu, Pakdhe Tanto menjalani kemoterapi. Saya, yang masih sekolah di Muntilan, terpaksa ijin barang sehari untuk menemuinya di rumah sakit. Saya tidak begitu ingat bagaimana kondisi Pakdhe Tanto waktu itu. Namun yang saya ingat adalah dukungan semangat dan motivasi dari saudara kandung beliau. “Sesuk natalan bareng ya mas neng nggone mas Hari..” begitulah dukungan mereka. Diam-diam saya mendengar obrolan lirih yang sedih dan singkat....

Obrolan Ringan bareng Pak Manyung

Jarum jam menunjuk angka 9 malam. Seharusnya saya beristirahat, tetapi perut ini berteriak-teriak. Maka meluncurlah saya ke sebuah warung tenda pinggir jalan di Gedawang. Warung itu tak bernama. Penjualnya sih sudah pasti punya nama, tapi saya terlalu malas untuk bertanya. Jadi, istri dan saya beri nama sendiri saja: Pak Manyung. Mengapa kasih nama itu? Begini ceritanya.  

Yamaguchi Kumiko

Benar, itu nama orang Jepang. Siapakah dia sampai saya menulisnya dalam blog? Semacam bintang film dewasa asli Jepang? Atau salah satu personel grup remaja yang bernyanyi sambil berjoget?  Ah, tentu tidak.