“I wish my God you’d stay, kanca kenthelku..”
seperti kucing putih yang selalu diusir bapak di teras depan rumah tiap
pagi. tak peduli betapa kotor dan berdebunya teras rumah kami, kursi paling
timur selalu jadi tempat tidurnya. dia hanya pergi sebentar tapi pasti kembali
lagi. tiap kali dia pergi selalu ada jejak tapak kaki kucing yang aku tak tahu
bagaimana caranya meninggalkan jejak menjemukan itu
gagang sapu
semprotan air
guyuran gayung
bentakan serak kasar
kurang satu yang belum kami lakukan: meracuninya
sebangsat.bangsatnya kucing itu, kami tak mungkin membunuhnya. perlahan
atau secepat kilat, kejam atau penuh kasih, pokoknya tak mungkin. di leher
kucing putih ngantukan itu ada kalung merah dengan lonceng kecil, tanda kalau
dia dimiliki oleh suatu kampret yang lebih pantas mengakhiri hidupnya
“Just enjoy your life, kanca kenthelku..”
seperti kucing putih yang egois dan tak pernah tak terlihat mengantuk
di teras depan rumah. dia bangun hanya untuk mengolet dan mengubah posisi
tidur. dari telungkup menjadi miring, dari miring menjadi telentang
“aku berangkat kerja, kamu tidur.
aku pulang kerja, kamu tidur juga.
kok penak banget uripmu cing?”
tanya ibu suatu sore.
apa jawab kucing?
dia buka mata sebentar dengan sayu, memastikan bahwa ibu bukan sosok
berbahaya untuknya, lalu kembali melanjutkan mimpinya yang tertunda tadi. ah,
di mana ikan yang di meja tadi? oh bukan, itu bukan mimpinya, dia sedang mimpi
bercinta dengan kucing cantik yang adalah putri kerajaan di barat laut sana.
“dekat danau toba,” katanya
“Just relax like always, kanca kenthelku..”
seperti kucing putih yang birahi pada bulan.bulan yang biasa bagi kami.
kala musim bercinta dia mengeong keras tanpa peduli kami bahagia atau meringkuk
sedih ditemani mendung.
suaranya sama
lapar
terangsang
marah
memohon kawin
suaranya seperti bayi menangis, padahal dia ingin kawin. barangkali
seperti desahan.desahan kita waktu dewa cinta sedang memahat nikmat di tubuh
yang sebentar ini
aku ingin
ingin
kekancan sing luwih kenthel
No comments:
Post a Comment